19 May 2022 2593
Life Reinsurance

Keterkaitan Infeksi Covid dengan Hepatitis Misterius

Aloha!
 
Pada artikel sebelumnya kita telah mulai mengenal dan mengupas kasus-kasus ‘Hepatitis Misterius’ yang terjadi pada anak-anak, baik itu yang terjadi di Indonesia maupun negara-negara lainnya. Pada artikel sebelumnya juga telah disampaikan bahwa ‘Hepatitis Misterius’ ini disematkan gelar misterius, karena memang sampai saat ini belum jelas apa penyebab pasti dari kondisi tersebut. Memang, pada beberapa kasus ditemukan adanya bukti infeksi Adenovirus Type 41F. Meskipun demikian, masih perlu banyak data dan studi lanjutan untuk memastikan apakah benar virus tersebut lah penyebab dari ‘Hepatitis Misterius’ ini, lantaran tidak pada semua penderita ditemukan keberadaan virus tersebut, dan sebelumnya belum pernah ada pembuktian bahwa virus tersebut dapat menyebabkan gangguan liver pada anak yang tidak memiliki komorbid.
 
Pada artikel sebelumnya juga telah disampaikan bahwa ada kecurigaan keterkaitan antara ‘Hepatitis Misterius’ dengan infeksi Covid dan Vaksin Covid AstraZeneca. Meskipun kecurigaan keterkaitan dengan Vaksin AstraZeneca dapat ditepis, hasil studi dari berbagai ilmuwan akhir-akhir ini justru membuktikan adanya potensi keterkaitan antara ‘Hepatitis Misterius’ dengan infeksi Covid.
 
Bagaimanakah bentuk keterkaitan yang ditemukan? Yuk, kita coba pelajari bersama!
 
Anak-anak dengan riwayat infeksi Covid berpotensi untuk mengalami beberapa gangguan kesehatan di masa mendatang, salah satunya adalah gangguan fungsi liver dan kandung empedu. Hal ini disampaikan pada publikasi bertajuk Elevated Liver Enzumes and Bilirubin following SARS-CoV-2 Infection in Children under 10 yang ditulis oleh Ellen K. Kendall et al. Studi ini melakukan studi dengan metode kohort pada rekam medis dari 796,369 pasien anak berusia 1 – 10 tahun di USA. Di antara pasien-pasien anak tersebut, 245,675 anak di antaranya terinfeksi Covid pada rentang periode 11 Maret 2020 – 11 Maret 2022. Sementara itu, 550,694 pasien-pasien anak lainnya memiliki riwayat infeksi pernafasan lainnya (non-Covid) selama rentang periode yang sama.
 
Selain mencakup rentang usia anak yang cukup luas, studi ini juga meliputi profil kelompok anak yang cukup luas, seperti ras dan berat badan. Selain itu, studi ini juga memiliki beberapa kriteria eksklusi pada studi ini antara lain adalah adanya kondisi kanker, viral hepatitis, dan alpha-1-antitrypsin deficiency pada kedua kelompok.
 
Data dari studi kohort itu menyebutkan bahwa kelompok anak dengan riwayat infeksi Covid memiliki nilai SGOT, SGPT, dan bilirubin yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Oleh karena itu, muncullah hipotesis akan adanya potensi infeksi liver jangka panjang pada anak yang sebelumnya pernah menderita Covid.
 
Hal yang cukup menarik setelah membaca studi tersebut adalah fakta bahwa hanya sebagian kecil dari ratusan anak yang mengalami ‘Hepatitis Misterius’ itulah yang melaporkan adanya riwayat infeksi Covid. Meskipun demikian, potensi keterkaitan antara riwayat infeksi Covid dengan peningkatan nilai SGOT, SGPT, dan bilirubin ini jelas tidak mungkin diabaikan. Oleh karena itu, lahirlah hipotesis lain bahwa mungkin saja anak-anak tersebut memang pernah terinfeksi Covid, namun, gejalanya sangat ringan atau bahkan asymptomatic, sehingga tidak terdeteksi oleh orang tua atau keluarganya. Hipotesis ini turut disampaikan pada publikasi di The Lancet Gastroenterology & Hepatology yang bertajuk Severe Acute Hepatitis in Children: Investigate SARS-CoV-2 Superantigens yang ditulis oleh Petter Brodin dan Moshe Arditi. Publikasi ini menuliskan bahwa ditemukan keberadaan Adenovirus Type 41F pada 72% pasien anak penderita ‘Hepatitis Misterius’ di UK, dan ditemukan keberadaan SARS-CoV-2 pada 18% pasien anak dari kelompok yang sama.
 
Publikasi tersebut menyampaikan bahwa infeksi SARS-CoV-2 dapat menyebabkan adanya viral reservoir, dan keberadaan SARS-CoV-2 pada saluran pencernaan dapat menyebabkan pelepasan viral proteins sepanjang intestinal epithelium yang menyebabkan aktivasi sistem imun. Terjadinya aktivasi sistem imun secara berulang –yang kemungkinan besar dimediasi oleh superantigen dari SARS-CoV-2 spike protein- dapat mentrigger aktivasi T-cell. Secara singkat, keberadaan SARS-CoV-2 pada saluran pencernaan anak menyebabkan sistem imun anak menjadi lebih ‘over-react’ terhadap infeksi-infeksi mendatang, termasuk di antaranya infeksi Adenovirus Type 41F yang memiliki banyak inflammatory proteins yang dapat merusak liver. Selain itu, mekanisme superantigen-mediated immune-cell activation ini digadang menjadi salah satu mekanisme dasar dari adanya multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C), yang salah satu manifestasinya adalah adanya inflamasi/peradangan pada sel liver anak (hepatitis).
 
Meskipun hipotesis tersebut memiliki landasan yang kuat, masih diperlukan investigasi dan studi lanjutan atas hipotesis tersebut. Salah satu hal yang perlu diinvestigasi lebih lanjut adalah adanya koinfeksi antara SARS-CoV-2 dengan virus lainnya, seperti Adenovirus Type 41F. Publikasi ini memiliki keyakinan kuat bahwa infeksi Adenovirus pada anak dengan riwayat Covid dapat menimbulkan sensitisasi terhadap Staphylococcal-Enterotoxin-B-mediated toxic shock. Keyakinan ini didukung oleh hipotesis kejadian Adenovirus-induced type 1-immune skewing yang menimbulkan produksi IFN-? dan IFN-?-mediated apoptosis pada hepatocytes.
 
Bagaimana kita menyikapi potensi adanya keterkaitan antara ‘Hepatitis Misterius’ dengan Covid?
 
Yang pertama, kita harus mengingat bahwa infeksi Covid tidak hanya dapat berdampak pada paru-paru dan saluran pernafasan saja. Saluran pencernaan justru digadang memiliki reseptor SARS-CoV-2 yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan reseptor pada paru. Oleh karena itu, mungkin teman-teman ingat bahwa sebelumnya pernah disebutkan bahwa penegakkan diagnosis Covid dapat juga dilakukan melalui swab anal. Ya, hal tersebut benar adanya, karena memang RNA dari SARS-CoV-2 dapat melekat pada feses –selaku limbah saluran pencernaan-, dan bahkan dapat ditemukan hingga 7 bulan setelah orang tersebut sembuh dari Covid.
 
Berdasarkan publikasi yang sama pada The Lancet, penulis merekomendasikan bahwa salah satu bentuk investigasi atas penyebab dari ‘Hepatitis Misterius’ dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan SARS-CoV-2 pada sampel feses anak, T-cell receptor skewing, dan IFN-? upregulation, untuk membuktikan keberadaan superantigen SARS-CoV-2 pada Adenovirus-41F-sensitised host. Apabila terbukti adanya keberadaan dari superantigen tersebut, maka dapat dilakukan terapi immunomodulatory pada anak, untuk membantu mencegah terjadinya kerusakan sel liver lebih lanjut dan membantu memperbaiki –atau setidaknya mencegah- kerusakan sel liver pada anak.
 
Yang kedua, dengan melihat adanya potensi keterkaitan antara ‘Hepatitis Misterius’ dengan infeksi Covid, sudah selayaknya kita tidak menjadi lengah walaupun tengah berada di kondisi pandemi Covid yang terkendali. Ingatlah bahwa dampak dari infeksi Covid tidak hanya selesai saat kita dinyatakan sembuh atau pemeriksaan swab kita menunjukkan hasil negatif. The real battle justru dimulai saat kita sembuh, di mana kita berpotensi mengalami Long Covid, dan bahkan anak-anak dengan riwayat infeksi Covid juga berpotensi mengalami MIS-C, yang dampaknya tidak hanya berupa ‘Hepatitis Misterius’, melainkan dapat juga menyebabkan peradangan berat pada organ-organ lainnya seperti otak, pembuluh darah, jantung, paru-paru, ginjal, kulit, mata, dan saluran pencernaan. Oleh karena itu, salah satu metode pencegahan terbaik dari ‘Hepatitis Misterius’ ini adalah dengan menghindarkan anak-anak kita dari risiko terpapar dan terinfeksi Covid.
 
Yang ketiga, kita harus mengingat bahwa pada dasarnya hepatitis –termasuk pada anak- adalah kondisi yang treatable. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan awareness kita terhadap kondisi kesehatan anak kita. Apabila terdapat gangguan kesehatan dalam bentuk apapun, hendaknya tidak lantas diremehkan walaupun bentuknya terbilang ‘ringan atau umum’. Diare, mual, muntah, dan nyeri perut pun dapat menjadi tanda awal dari ‘Hepatitis Misterius’ ini. Apabila anak kita mengalami satu dari gejala-gejala tersebut, hendaknya kita langsung melakukan observasi, atau bahkan dapat membawa anak ke RS/fasilitas kesehatan, apabila gejalanya tidak membaik.
Stay safe and healthy, semuanya!
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id