Pada situasi pandemik COVID-19 ini, selain obat untuk menyembuhkan COVID-19, vaksin untuk mencegah kejadian COVID-19 di masa mendatang juga merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu keberadaannya. Sebagaimana yang telah kita ketahui, vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit. Vaksin terdiri dari banyak jenis dan kandungan, masing-masing vaksin tersebut dapat memberikan kita perlindungan spesifik terhadap suatu penyakit. Vaksin sendiri mengandung bakteri, racun, atau virus yang merupakan agen penyebab penyakit yang telah dilemahkan atau sudah dimatikan. Nah, pada saat dimasukkan ke dalam tubuh seseorang, vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi. Proses pembentukan antibodi inilah yang disebut imunisasi.
Sumber foto: https://www.citynews1130.com/2019/04/24/support-bc-vaccination-uptake-policies-study/
Sepanjang sejarah umat manusia, penemuan vaksin atau imunisasi merupakan salah satu pencapaian yang gemilang dalam rangka promotif dan preventif kesehatan masyarakat. Vaksin yang selama ini telah diberikan kepada masyarakat umum, telah menjalani berbagai proses yang menjamin keamanan pemberiannya, selama dilakukan sesuai dengan SOP yang ada. Walaupun demikian, tetap saja, pemberian vaksin tidak 100% menjamin bahwa si penerima vaksin tidak akan terjangkit suatu penyakit. Pun, pada proses dan setelah pemberian vaksin sendiri, penerima vaksin mungkin akan mengalami beberapa efek samping, seperti misalnya demam yang timbul beberapa hari setelah pemberian vaksin. Oleh karena itu, pembuatan vaksin biasanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dapat bertahun-tahun, bahkan belasan atau puluhan tahun, karena memang tidak hanya efektivitasnya saja yang diuji, namun juga keamanan serta efek samping jangka pendek dan jangka panjang yang mungkin terjadi dengan pemberian vaksin tersebut.
Proses pembuatan vaksin dimulai dengan pemilihan antigen. Antigen adalah zat atau senyawa yang dapat merangsang sistem imun kita untuk menghasilkan antibodi yang berfungsi sebagai perlawanan dan perlindungan tubuh kita dari infeksi atau penyakit. Dalam hal ini, virus, bakteri, racun, dan zat berbahaya lain seperti bahan kimia juga dapat digolongkan sebagai antigen bagi tubuh manusia. Dalam proses pembuatan vaksin, pemilihan antigen tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Pemilihan dan pengujian antigen harus dilakukan dengan teliti, dan melalui pengujian yang berulang-ulang agar proses pembuatan vaksin berikutnya dapat berjalan dengan baik.
Setelah melalui proses pemilihan antigen, proses selanjutnya adalah melakukan isolasi antigen yang bertujuan untuk memisahkan dan menghilangkan zat atau senyawa yang tidak diperlukan dalam proses pembuatan vaksin. Umumnya, proses ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama karena antigen untuk pembuatan vaksin harus benar-benar murni dan tidak terkontaminasi dengan zat lain. Setelah proses pemurnian, pada antigen akan dilakukan proses non-aktivasi, yang mana, dapat dilakukan dengan jalan mematikan antigen atau hanya melemahkan antigen, tergantung dengan tipe vaksin yang akan kita buat.
Berikut adalah beberapa tipe vaksin berdasarkan kondisi antigennya:
Sumber foto: https://in.vaccine-safety-training.org/
Selanjutnya, kita akan masuk ke proses formulasi vaksin, di mana proses ini adalah proses yang paling rumit dan membutuhkan kehati-hatian tingkat tinggi. Salah sedikiiit saja, proses pembuatan vaksin harus diulang dari awal. Antigen yang telah melalui proses-proses sebelumnya, akan ditambahkan dengan bahan adjuvant yang berfungsi untuk memperkuat respon imun, namun di sisi lain juga tetap melindungi sistem imun.
Setelah penambahan adjuvant, pembuatan vaksin akan masuk ke dalam tahap pengujian. Tahap pengujian ini tentunya tidak akan langsung diujikan ke manusia. Tahap pengujian pertama adalah tahap pengujian di laboratorium, tanpa partisipasi dari inang (makhluk hidup). Setelah mendapatkan hasil yang memuaskan, tahap pengujian dapat dinaikkan ke pengujian pada hewan. Pengujian pada hewan sendiri umumnya dapat memakan waktu hingga bertahun-tahun, karena semua efek dan perkembangan, sekecil apapun, harus dicatat.
Sumber foto: http://www.animalresearch.info/en/medical-advances/diseases-research/sars-cov-2/
Setelah kandidat lulus tahap pengujian pada hewan, vaksin baru akan diujicobakan pada manusia. Tahap ini disebut sebagai uji klinis, dan akan melalui beberapa fase. Pada uji klinis fase I, akan dilakukan uji keamanan dan imunogenitas vaksin pada beberapa orang yang memiliki risiko rendah, yang umumnya, adalah orang dewasa muda yang tidak memiliki penyakit apapun. Uji klinis fase I ini bertujuan untuk menguji tolerabilitas manusia terhadap vaksin. Selanjutnya akan dilakukan uji klinis fase II yang bertujuan untuk memantau keamanan vaksin, potensi munculnya efek simpang, respon imun, menentukan dosis optimal, serta jadwal dan jeda (jika vaksin harus diberikan lebih dari satu kali) pemberian vaksin.
Selanjutnya, vaksin akan masuk ke uji klinis fase III yang bertujuan untuk melihat efikasi vaksin dalam mencegah penyakit yang ditargetkan. Efikasi vaksin adalah kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang diberi imunisasi. Pada fase ini juga akan diamati lebih jauh tentang keamanan vaksin yang melibatkan tipe populasi yang lebih beragam, tidak hanya individu yang masih muda dan dalam kondisi sehat.
Setelah kandidat vaksin lolos uji klinis fase III, barulah akan dibuat Surat permohonan Izin Edar Vaksin yang diajukan kepada otoritas yang berwenang, kalau di Indonesia, surat ini akan diajukan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada proses pengajuan izin vaksin ini, BPOM akan melakukan analisa yang membandingkan antara efikasi dan efek samping yang berpotensi ditimbulkan oleh si vaksin. Setelah mendapatkan izin dari BPOM, barulah vaksin dapat masuk ke tahap pengenalan untuk dapat diedarkan dan digunakan ke masyarakat umum.
Apakah semuanya selesai setelah vaksin mendapat izin dan beredar di masyarakat?
Sayangnya tidak. Setelah vaksin mendapat lisensi dan diedarkan pun, pemantauan akan terus menerus dilakukan untuk mengidentifikasi dan mencatat reaksi vaksin yang jarang atau lambat terjadi. Pemantauan ini masuk sebagai uji klinis fase IV dan disebut sebagai surveilans pasca lisensi, yang mana bertujuan untuk memantau seluruh efek samping dari vaksin yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah pemberian imunisasi, dan belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. KIPI sendiri merupakan reaksi yang dapat terjadi akibat komponen vaksin, cacat mutu vaksin, kesalahan prosedur saat vaksinasi, kecemasan pasien saat pemberian vaksinasi –misal, takut disuntik-, atau kejadian koinsiden. Gejala KIPI bisa berupa gejala ringan yang berupa ketidaknyamanan –misal, rasa nyeri atau demam ringan setelah disuntik- hingga gejala berat dan serius yang dapat menyebabkan kecacatan atau kematian. Pemantauan KIPI ini sangat penting, mengingat kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi yang masih relatif rendah dan belum merata. Jika ada satu saja KIPI yang tersorot –terutama yang sifatnya berat dan serius-, tentunya kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi akan semakin rendah. Walaupun demikian, sudah sepatutnya pemerintah dan tenaga kesehatan tidak bosan memberikan edukasi terkait pentingnya vaksinasi untuk melindungi diri, keluarga, dan masyarakat luas dari penyakit yang dapat membahayakan.
Saat ini, peneliti dari seluruh dunia tengah berjibaku untuk mengebut proses pembuatan vaksin COVID-19. Jika semua prosesnya lancar, vaksin terhadap COVID-19 diperkirakan akan hadir dan siap diberikan ke masyarakat luas pada tahun 2021. Jika memang hal tersebut dapat terjadi, tentunya ini merupakan suatu ‘rekor dunia’ karena umumnya proses pembuatan vaksin membutuhkan waktu belasan hingga puluhan tahun. Kita doakan saja semoga proses pembuatan vaksinnya lancar, dan yang penting, semoga pandemik ini dapat segera berlalu, ya!
***