04 February 2022 81664
Pengetahuan Umum

Asas-asas Hukum Acara Pidana

Dalam sistem hukum Indonesia, hukum acara pidana tidak sekadar dipraktekkan berdasarkan undang-undang, melainkan juga didasarkan atas nilai-nilai dan asas-asas serta tujuan, untuk apa hukum itu diterapkan atau dipraktekkan. Tujuannya agar hukum tidak dijalankan atau dipraktekkan secara sewenang-wenang.  Selain itu asas-asas dalam hukum acara pidana yang sangat penting karena merupakan dasar dalam pembentukan hukum acara pidana dan memperlihatkan apakah hukum acara pidana yang dilaksanakan tersebut memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan (criminal justice system).
 
Macam-macam asas-asas hukum acara pidana antara lain sebagai berikut:
 
  1. Asas diferensiasi fungsional: Asas ini menyatakan setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain.
 
  1. Asas legalitas: Asas legalitas dalam hukum pidana dan hukum acara pidana adalah sesuatu yang berbeda. Dalam hukum pidana, asas legalitas dapat diartikan “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine lege poenali). Namun, dalam hukum acara pidana, asas legalitas memiliki makna setiap Penuntut Umum wajib segera mungkin menuntut setiap perkara. Artinya, asas legalitas lebih dimaknai setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya. Sedangkan penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana.
 
  1. Asas lex scripta: Asas ini berarti hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis. Selain itu, asas ini juga mengajarkan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat.
 
Selain ketiga asas tersebut di atas, terdapat asas asas lain yang diatur dalam KUHAP Indonesia sebagai berikut:
 
  1. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Beberapa referensi dalam KUHAP yang mengatur tentang Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan antara lain
Pasal 50 ayat (1):
“Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang menyebutkan
“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.”
 
  1. Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut (remedy and rehabilitation).
Tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan.
Penuntutan kerugian tersebut dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:
  • Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
  • Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
  • Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
  • Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).
 
  1. Asas oportunitas
Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Asas ini hanya berlaku dalam hal kepentingan umum benar-benar dirugikan dan terdapat kriteria tertentu yang dimaksud merugikan kepentingan umum. Ketentuan pengesampingan ini diatur dalam Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyebutkan:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”
 
  1. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya bentuk transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, yaitu:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau Terdakwanya anak-anak.”
Apabila perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap dilakukan persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu :
“tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
 
  1. Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).
Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) adalah bentuk perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP dan Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
Butir 3 a KUHAP
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”
Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
 
  1. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948  juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu :
“Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his defence.” 
 
  1. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap
Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan terdakwa ditentukan oleh suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka awam terhadap ilmu hukum.
 
  1. Asas Akusator
Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata. 
 
  1. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Dasar hukum mengenai asas ini  diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Dari “asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia.
Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan  dapat mencapai kebenaran yang hakiki. Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap dan cara mereka dalam memberikan keterangan.
 
  1. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum
Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara.
Pada dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule” yang kemudian  diakomodir dalam KUHAP.  Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum pada dasarnya menghormati konsep miranda rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule telah dibuktikan dengan mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP :
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.” 
 

Penulis

Arthur Daniel P. Sitorus, SH., AAAIK., CLA

Email: arthur@indonesiare.co.id