12 November 2021 3590
Reasuransi Jiwa

Dampak Kemunculan Virus Covid Subvarian Delta Plus

Di saat dunia perlahan mulai bangkit dari pandemi berkepanjangan ini, peningkatan kasus Covid ternyata kembali mulai terjadi. Dalam beberapa minggu ke terakhir, peningkatan kasus Covid dilaporkan mulai terjadi di beberapa negara seperti Rusia, Inggris, China, Ukraina, Thailand, dan Singapura. Peningkatan kasus di negara-negara yang tadinya sudah mulai ‘hidup normal’ pun kembali mengingatkan kita akan potensi terjadinya ‘Covid Gelombang Ketiga’.
 

sub1

Sumber foto: www.freepik.com

Untuk pertama kalinya sejak 17 Juli 2021, Inggris kembali mencatatkan kasus harian Covid sebanyak 50,000 kasus. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh UK Health Security Agency, Varian Delta memang tercatat masih menjadi varian yang dominan di Inggris. Meskipun demikian, terdapat laporan akan peningkatan keberadaan subvarian dari Virus Covid Varian Delta, yang dinamakan Subvarian AY.4.2 atau juga dikenal sebagai Subvarian Delta Plus.

Apakah yang dimaksud dengan subvarian, dan apakah perbedaannya dengan varian biasa?
Kita tentunya masih mengingat bahwa mutasi pada dasarnya adalah suatu hal alami yang dapat terjadi tidak hanya pada Virus Covid, melainkan, mutasi dapat terjadi pada semua virus. Perubahan yang cukup signifikan pada sebuah strain virus dapat melahirkan sebuah varian baru. Selain itu, ada pula varian yang muncul dari sebuah varian virus yang disebut sebagai subvarian.

Subvarian AY.4.2 merupakan subvarian dari Varian Delta yang memunculkan tiga mutasi tambahan, di mana dua di antaranya (A222V dan Y145H) terjadi pada spike protein yang berperan penting dalam proses pelekatan kepada host dan invasi sel host. Meskipun banyak orang yang menyebut Subvarian AY.4.2 sebagai Subvarian Delta Plus, pada kenyataannya, Varian Delta memiliki beberapa subvarian lain yang juga disebut sebagai ‘Subvarian Delta Plus’. Namun memang, kiprah dari ‘Delta Plus-Delta Plus’ lainnya itu tidak ‘semenonjol’ kiprah dari AY.4.2
Subvarian Delta Plus ini pada dasarnya merupakan evolusi dari Virus Covid Varian Delta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pada Subvarian Delta Plus terdapat tiga mutasi di mana dua mutasi di antaranya terjadi pada spike protein, yang memegang peranan penting dalam pengikatan kepada host dan invasi kepada sel-sel host. Evolusi inilah yang disinyalir berpotensi membuat Subvarian Delta Plus lebih menular jika dibandingkan dengan Varian Delta.

Pertanyaan yang penting dari kehadiran AY.4.2 ini tentunya adalah apakah subvarian ini lebih menular, berbahaya, atau mematikan jika dibandingkan dengan Varian Delta?

sub-2
Sumber foto: www.freepik.com

Setiap terjadi penularan infeksi di mana virus bertransmisi dari satu host ke host lainnya, virus perlu beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan sistem imun dari host yang baru ditempatinya. Setelah virus berada dalam tubuh suatu host, virus juga perlu bereplikasi untuk benar-benar bisa menginfeksi host tersebut. Dalam proses adaptasi dan replikasi tersebut, terkadang terjadi kesalahan sehingga ‘copy’ dari kode genetik virus tersebut berbeda dari ‘virus aslinya’. Kondisi inilah yang disebut sebagai mutasi.

Walaupun terdengar ‘mengerikan’, pada dasarnya virus yang bermutasi tidak selalu menjadi lebih ‘kuat’. Seringkali, mutasi virus justru menyebabkan kemampuan virus tersebut menjadi ‘berkurang’. Meskipun demikian, dalam setiap mutasi virus, kita harus tetap mewaspadai potensi di mana mutasi yang terbentuk dapat menyebabkan virus menjadi lebih mudah menular, lebih menimbulkan gejala yang berat, lebih kebal terhadap vaksin atau pengobatan, serta lebih mungkin menyebabkan terjadinya fatalitas.

Berdasarkan data yang saat ini ada, memang belum ada bukti kuat terkait peningkatan kemampuan dari AY.4.2, jika dibandingkan dengan Varian Delta. Meskipun demikian, berdasarkan data pada negara-negara di mana AY.4.2 telah ditemukan, peningkatan kasus Covid pada negara-negara tersebut meningkat sebesar 10 – 15% sejak AY.4.2 ditemukan di negara mereka. Selain itu, kematian akibat Covid juga mulai kembali terjadi, walaupun cakupan vaksinasi di negara-negara tersebut sudah mencapai 40 – 50% dari target vaksinasi. Selain itu, data yang ada juga menyebutkan bahwa penderita AY.4.2 juga mengalami gejala yang ‘lebih nyata’ dan dalam durasi yang lebih panjang jika dibandingkan dengan gejala yang disebabkan oleh Varian Delta, terutama untuk gejala demam, batuk, dan pilek.

Lalu, bagaimana status penularan dari AY.4.2 saat ini?


sub3
Sumber foto: www.freepik.com

Tidak hanya di Inggris, AY.4.2 pun ternyata telah ditemukan di Rusia. Berdasarkan data yang ada, pada beberapa minggu terakhir Rusia mengalami peningkatan kasus Covid yang sangat signifikan. Bahkan, peningkatan kasus Covid pada minggu ini disebut menjadi peningkatan kasus tertinggi di Rusia sejak awal pandemi Covid. Sebagai upaya cepat tanggap dalam menyikapi situasi ini, Presiden Vladimir Putin mengumumkan diberlakukannya cuti berbayar di Rusia selama seminggu, yang dimulai sejak tanggal 30 Oktober – 7 November 2021. Pemberlakuan cuti berbayar itu diharapkan dapat membantu pembatasan mobilitas masyarakat, yang pada akhirnya ditujukan untuk menurunkan angka penularan Covid.

AY.4.2 ternyata juga telah ditemukan di Singapura. Negara yang selama ini terkenal akan kepiawaiannya dalam pengendalian pandemi Covid pun harus menghadapi peningkatan kasus yang cukup signifikan dalam beberapa minggu terakhir. Terhitung sejak awal pandemi, Singapura telah melaporkan total kasus Covid sebanyak 200,000 kasus, di mana hampir setengah di antaranya dilaporkan pada bulan Oktober 2021.

Singapore Ministry of Health (MOH) tengah melakukan investigasi terkait lonjakan kasus yang luar biasa ini. Hasil investigasi sementara menunjukkan bahwa lonjakan kasus disebabkan oleh adanya pelonggaran protokol kesehatan serta pembatasan mobilitas dan pendatang yang sebelumnya diberlakukan secara ketat oleh Singapura. Pelonggaran-pelonggaran tersebut pada akhirnya menyebabkan munculnya kasus-kasus Covid kembali di Singapura.

Tidak hanya lonjakan kasus, di waktu yang bersamaan, Singapura juga masih harus menghadapi ancaman krisis kesehatan lantaran ribuan tenaga kesehatan mereka dikabarkan mengundurkan diri. Pengunduran diri para tenaga kesehatan tersebut disinyalir diakibatkan oleh tidak kuatnya mereka menghadapi tekanan akibat lonjakan kasus pada beberapa minggu terakhir. Fasilitas kesehatan Singapura memang sudah mulai hampir kehabisan kapasitasnya. Tercatat pada hari Rabu kemarin, sebanyak 1,777 penderita Covid menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara itu, 20,895 penderita menjalani isolasi mandiri di tempat tinggalnya masing-masing, 4,589 penderita menjalani perawatan di fasilitas perawatan masyarakat, dan 849 penderita lainnya menjalani perawatan di fasilitas perawatan lainnya. Peningkatan jumlah penderita tersebut cukup ironis mengingat cakupan Vaksinasi Covid di Singapura telah mencapai 80%.

Profesor Dale Fisher dari National University of Singapore’s (NUS) Yong Loo Lin of Medicine yang sekaligus merupakan Chairman of WHO’s Global Outbreak Alert and Response Network menyatakan bahwa lonjakan kasus Covid yang terjadi pada beberapa minggu terakhir ini seharusnya telah dapat diprediksikan. Hal tersebut lantaran pemberian Vaksin Covid hanya efektif untuk mencegah penerimanya mengalami gejala Covid yang berat, namun, pemberian Vaksin Covid tidak akan membuat penerimanya menjadi kebal akan infeksi Covid. Dengan mengingat longgarnya pembatasan yang diberlakukan pada beberapa minggu terakhir, kita seharusnya tidak kaget dengan hadirnya lonjakan kasus Covid kembali.

sub-4
Sumber foto: www.freepik.com

Senada dengan pernyataan Profesor Fisher, Alex Cook selaku Associate Professor dari NUS Saw Swee Hock School of Public Health juga menyebutkan bahwa relaksasi contact tracing, karantina traveller, serta isolasi penderita yang terinfeksi berkontribusi besar dalam peningkatan kasus Covid kembali. Bahkan, WHO menyatakan bahwa AY.4.2 ini sudah mulai terdeteksi kemunculannya pada bulan Juli 2021 lalu, meskipun baru akhir-akhir ini keberadaannya mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan tersebut disinyalir tidak semata diakibatkan oleh evolusi dari Varian Delta, melainkan juga karena perilaku masyarakat yang mulai abai karena euforia atas penurunan kasus selama beberapa minggu kemarin.
Untuk saat ini, AY.4.2 dan Subvarian-subvarian Delta Plus lainnya memang masih dipelajari untuk dapat menilai karakteristik serta potensinya dalam lingkup infeksi. Dicky Budiman selaku Epidemiolog dari Griffith University Australia menyampaikan bahwa penderita Covid dengan Subvarian Delta Plus pada dasarnya mengalami gejala penyakit yang serupa dengan yang ditimbulkan oleh virus varian lainnya. Meskipun demikian, berdasarkan data yang ada, penderita dari Subvarian Delta Plus cenderung mengalami gejala penyakit yang lebih intens dan panjang jika dibandingkan dengan virus varian lainnya. Seperti misalnya, penderita Subvarian Delta Plus cenderung mengalami demam, batuk, serta pilek yang lebih ‘nyata’ dan lama.
 
Untuk saat ini memang Subvarian Delta Plus masih belum masuk ke dalam Variant of Concern (VoC). Bahkan, sejauh ini baru UK Health Security Agency (UKHSA) sajalah yang mengklasifikasikan Subvarian Delta Plus sebagai Variant of Interest (VoI). Hal tersebut lantaran 93% dari kasus Subvarian Delta Plus yang ditemukan di Inggris, meskipun memang, Varian Delta masih jauh lebih mendominasi sequencing Virus Covid di Inggris dan negara-negara lainnya.

Meskipun untuk saat ini Subvarian Delta Plus belum ditemukan di Indonesia, sudah selayaknya kita tidak lengah menghadapi pemberitaan ini. Mengingat bahwa Subvarian Delta Plus menyebar ke 42 negara dalam kurun waktu satu bulan saja, sudah seharusnya Indonesia kembali mencanangkan program preventif dan mengaktifkan kembali ‘disaster mode’ seperti beberapa bulan sebelumnya.

Pencegahan tersebut dapat dilakukan di antaranya dengan melakukan evaluasi pembatasan mobilitas masyarakat, terutama untuk pendatang yang berasal dari luar negeri. Saat ini, Indonesia memberlakukan masa karantina pendatang dari luar negeri hanya selama tiga hari, bagi pendatang yang telah menerima dua dosis Vaksin Covid. Apabila melihat masa inkubasi Covid yang dapat mencapai 14 hari, masa karantina tersebut tentunya terlalu singkat. Pemberlakuan peraturan masa karantina yang tepat sesuai dengan masa inkubasi dapat menjadi harapan kita untuk mencegah terjadinya imported case.

Yang tak kalah penting dari pembatasan mobilitas adalah pengencangan Program Vaksinasi Covid kembali. Kita tidak bisa hanya melihat angka cakupan vaksinasi dari Jabodetabek atau kota-kota besar lainnya saja. Melainkan, kita harus melihat bahwa angka cakupan Vaksinasi Covid dosis lengkap (dua dosis) di seluruh Indonesia baru mencapai angka 35%. Ingatlah Singapura, dengan angka cakupan vaksinasinya yang mencapai 80% saja Singapura dapat kewalahan dalam menghadapi lonjakan kasus saat ini. Lalu, bagaimana dengan kita?

Jangan lengah, jangan terlalu euforia, dan tetap waspada, yaa, semuanya!
 
 

***

 
 

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id