Harta Benda
Donggala 2018 : Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi
Menolak lupa, tahun 2018 lalu Indonesia telah diterpa oleh banyak kejadian katastropik, salah satunya ialah Gempa Bumi Donggala (28 September 2018). Gempa ini merupakan gempa berskala besar (M 7.4) dan menyebabkan tsunami. Berdasarkan Willis Re eVENTTM Update tentang Natural Catastrophe Events 2018, Gempa Donggala tercatat memiliki economic loss sebesar 966 juta USD dan fatality terbanyak yaitu sebanyak 2256 jiwa.
Gambar 1. Lokasi Gempa Donggala
Gempa bumi tersebut dihasilkan oleh akibat aktivitas Sesar Palu Koro. Sesar ini merupakan sesar strike slip (sesar geser), yang berarti arah pergerakan sesarnya adalah secara lateral. Sesar Palu Koro ini merupakan salah satu sesar yang aktif di Indonesia. Pergerakan sesar ini sekitar 7cm per tahun. Secara historis sesar ini sering menimbulkan gempa, baik skala kecil maupun besar, antara lain gempa Bora (2005), gempa Rano (1998), dan gempa Tonggolobibi (1996).
Meskipun memiliki sumber gempa di darat, namun peristiwa gempabumi ini juga menimbulkan tsunami di Palu setinggi ± 3m. Tercatat hingga tanggal 1 Oktober 2018, gempa susulan masih berlangsung dengan kekuatan terbesar yaitu M6.3. Pada umumnya tipe sesar ini tidak menyebabkan tsunami, namun dikarenakan pergerakan sesar menyebabkan adanya longsoran lereng bawah laut maka tsunami dapat terjadi. Walaupun tsunami akibat longsoran bawah laut ini umumnya tidak memberikan dampak yang sebesar tsunami akibat pergerakan sesar, namun akibat kondisi geografis kota Palu yang berada di teluk, amplitudo gelombang tsunami diperkirakan dapat teramplifikasi hingga akhirnya menerjang daratan.
Gambar 2. Kondisi tanah yang memiliki groundwater yang banyak sebelum Likuifaksi
Gambar 3. Kondisi tanah setelah Likuifaksi
Tidak hanya tsunami, Gempa Donggala juga menyebabkan terjadinya liquifaksi. Bencana ini disebabkan oleh kondisi geologi regional Kota Palu yang berada pada kondisi tanah aluvial. Perlu diketahui bahwa tanah aluvial memiliki sifat unconsolidated (tidak kompak)dan mudah menyimpan air di dalamnya. Gambar 2 dan Gambar 3 menjelaskan bagaimana suatu daerah dapat terkena fenomena likuifaksi. Pada kondisi normal, tanah di daerah Palu masih kompak dan mampu menopang bangunan di atasnya. Ketika terjadi suplai air yang cukup besar (tsunami), maka tanah tersebut akan terisi oleh air (groundwater) yang memiliki volume cukup besar. Hal ini menyebabkan tanah menjadi kehilangan kompaksinya meskipun masih dapat menyangga bangunan diatasnya (Gambar 2). Puncaknya terjadi ketika gempa menggoncang daerah tersebut, hal ini mengakibatkan butiran-butiran tanah menjadi lepas satu sama lain, daya rekat antar butir hilang, dan menimbulkan “lumpur” yang hampir menggenang satu desa (Gambar 3).
Hasil survei sementara yang dilakukan oleh BMKG dapat menggambarkan bagaimana tingkat kerusakan yang dialami pada daerah-daerah berikut:
- Donggala = VII-VIII MMI
- Palu = VI-VII MMI
- Poso = III-IV MMI
- Soroako = III MMI
- Kolaka = II-III MMI
- Makassar = II MMI
- Toraja = II MMI
Perlu diketahui skala MMI adalah skala kerusakan yang diakibatkan gempa bumi.
Tabel 1. Skala intensitas MMI Gempa Bumi
Apa yang dapat dipelajari dari peristiwa ini tentu jarang terjadi di Indonesia. Tiga peristiwa tersebut terjadi hanya hitungan jam antara satu peristiwa satu dengan yang lainnya. Sebagai pelaku asuransi sudah seharusnya menyiapkan cover katastropik yang cukup untuk bencana-bencana seperti ini. Karena bencana seperti ini, likuifaksi khususnya sangat mungkin terjadi di daerah yang memiliki exposure tinggi, seperti di DKI Jakarta.
***