Sejak pandemi COVID-19 menunjukkan kemampuannya untuk meluluhlantakkan kehidupan masyarakat di seluruh dunia, vaksin dan obat COVID-19 merupakan dua hal yang paling dinanti kemunculannya. Saat ini, berbagai pengembang vaksin dari seluruh belahan dunia telah berhasil mengembangkan vaksin COVID-19 melalui berbagai metode pengembangan. Nah, bagaimana dengan pengobatan COVID-19? Apakah para ahli telah menemukan metode dan formulasi yang tepat untuk pengobatan dan terapi yang dapat diberikan kepada penderita COVID-19?
Salah satu metode pengobatan COVID-19 yang saat ini sedang ‘populer’ di masyarakat adalah Terapi Plasma Konvalesen (TPK). Metode pengobatan tersebut memanfaatkan plasma darah yang diambil dari penyintas COVID-19, yang mana telah mengandung antibodi terhadap SARS-CoV-2, yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh penderita COVID-19 untuk memerangi COVID-19.
Mungkin sebagian besar masyarakat baru mengetahui ada metode pengobatan yang bernama TPK saat pandemi COVID-19 ini berlangsung. Namun sebenarnya, TPK ini bukanlah metode pengobatan yang baru, melainkan merupakan metode pengobatan yang sudah digunakan sejak abad ke-18, untuk mengobati berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri, seperti Difteri, Scarlet’s Fever, SARS, MERS, Flu Burung (H5N1), Flu Babi (H1N1), dan Ebola.
Berhubung TPK merupakan metode pengobatan yang akan menggunakan komponen darah, tentunya ada persyaratan yang harus dipenuhi, baik dari sisi pemberi maupun penerima donor plasma. Tidak semua penyintas COVID-19 ‘eligible’ untuk menjadi pendonor plasma konvalesen, dan tidak semua penderita COVID-19 ‘eligible’ untuk menjadi penerima plasma konvalesen.
Beberapa persyaratan dan rekomendasi yang harus dipenuhi oleh penyintas selaku pendonor plasma konvalesen di antaranya adalah pendonor harus berusia 18 – 60 tahun, memiliki berat badan setidaknya 55 kg, memiliki hasil normal untuk pemeriksaan tanda vitalnya (tekanan darah, denyut nadi, laju pernafasan, dan suhu tubuh), memiliki kadar hemoglobin yang cukup, memiliki profil darah rutin yang normal, tidak memiliki penyakit menular, telah bebas dari gejala COVID-19 (jika ada) selama setidaknya dua minggu, telah memiliki hasil PCR negatif yang ditunjukkan pada dua kali pemeriksaan, dan memiliki kadar antibodi IgG SARS-CoV-2 yang cukup tinggi. Sementara untuk penderita yang akan menjadi penerima plasma konvalesen, keputusan pemberian TPK akan bergantung kepada penilaian serta rekomendasi dari dokter yang merawatnya.
Penyintas COVID-19 yang berminat dan bersedia untuk menjadi donor plasma konvalesen akan diarahkan untuk datang ke PMI untuk menjalani pemeriksaan, untuk memastikan bahwa dirinya ‘eligible’ untuk menjadi donor plasma konvalesen. Setelah ‘kelayakan’ tersebut dipastikan, barulah penyintas akan mendonorkan darahnya sebanyak 400 – 600 ml, yang nantinya akan diproses sedemikian rupa, sehingga pada saat proses transfusi, bagian yang diberikan kepada penderita hanyalah komponen plasma darah yang mengandung antibodi SARS-CoV-2 saja.
Hingga saat ini, TPK masih menjadi ‘research based treatment’, yang berarti bahwa TPK masih menjadi metode pengobatan yang bersifat ‘pendamping’ dan belum merupakan terapi utama, ataupun terapi pengganti atas pengobatan yang selama ini telah diberikan bagi penderita COVID-19. TPK pun hingga saat ini masih berstatus Emergency Use Authorization (EUA)/izin penggunaan darurat, yang berarti bahwa pertimbangan pemberian TPK pada penderita COVID-19, harus didasari atas pertimbangan ‘manfaat lebih besar dari pada risiko’.
Nah, bagaimana dengan efektivitas TPK di masyarakat umum?
Sebuah uji klinis perawatan terbesar dunia, yang dikenal sebagai ‘RECOVERY’, telah melakukan evaluasi atas beberapa metode pengobatan bagi penderita COVID-19. Evaluasi tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi metode pengobatan apakah yang paling efektif bagi penderita COVID-19. Salah satu metode pengobatan yang dievaluasi adalah TPK.
Studi ‘RECOVERY’ ini dilakukan dengan melibatkan sekitar 11,558 penderita COVID-19, yang dirawat inap di 177 RS di Inggris, pada rentang waktu Mei 2020 hingga Januari 2021. Studi ini melakukan komparasi atas pasien yang menerima TPK (sebanyak 5,795 pasien) dan yang tidak menerima TPK (sebanyak 5,763 pasien).
Hasil dari studi tersebut menunjukkan tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan secara statistik antara kedua kelompok tersebut, baik dari sisi angka kematian, lama waktu rawat inap di RS, dan perbaikan gejala penyakit pada penderita COVID-19 yang menggunakan ventilator. Walaupun demikian, studi tersebut memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah studi tersebut hanya dilakukan pada penderita yang dirawat inap di RS, sehingga tidak ada komparasi dengan penderita yang hanya melakukan isolasi mandiri, yang diasumsikan memiliki gejala ringan atau bahkan tanpa gejala. Selain itu, studi ini juga hanya dilakukan di satu negara saja, dan tidak menganalisa hubungan pemberian TPK dengan varian mutasi SARS-CoV-2 yang saat ini sudah sangat banyak kita temukan.
Walaupun demikian, studi tersebut secara jelas membuktikan beberapa asumsi berikut:
Pemberian plasma konvalesen dengan titer antibodi yang tinggi terbukti tidak memiliki manfaat secara signifikan bagi penderita COVID-19
Pemberian plasma konvalesen yang diberikan bahkan sejak awal gejala muncul tidak memiliki manfaat secara signifikan, jika dibandingkan dengan pemberian yang dilakukan di fase tengah atau akhir infeksi
Pemberian plasma konvalesen pada kelompok lansia tidak memiliki manfaat secara signifikan, jika dibandingkan dengan pemberian plasma konvalesen pada kelompok non-lansia
Pemberian plasma konvalesen tidak memberikan dampak yang signifikan, baik jika diberikan kepada orang yang sudah atau belum memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2
Berdasarkan hasil studi ‘RECOVERY’ tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hingga saat ini, kemanjuran dari TPK masih bersifat ‘testimoni’ dan belum ada uji klinis yang menunjukkan hasil bahwa pemberian TPK dapat memberikan manfaat yang signifikan pada penderita COVID-19 yang menerimanya. Selain itu, kita juga mesti mengingat kembali bahwa TPK merupakan salah satu metode pengobatan, dan bukan pencegahan atas COVID-19. Satu-satunya hal yang dapat mencegah kita terinfeksi COVID-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan konsisten pada setiap kesempatan.
Stay safe and healthy, semuanya!
*******