17 January 2022 5301
Pengetahuan Umum

Kepailitan Perusahaan Asuransi

Pada Artikel sebelumnya yang berjudul “KEPAILITAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA” telah dijelaskan secara singkat pengaturan kepailitan apabila ditinjau berdasarkan hukum Indonesia, lalu bagaimana ketentuan yang berlaku dan mengatur dalam hal terjadinya kepailitan pada perusahaan Asuransi?
 
Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Perasuransian”) Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan Asuransi dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perusahaan Asuransi yang telah dicabut izin nya sekalipun tidak dapat mengajukan permohonan pailit secara sukarela tanpa persetujuan OJK.
 
Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh OJK. Hal ini dinyatakan kembali secara tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) yang menyebutkan bahwa kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan beralih menjadi kewenangan OJK 
 
Kedudukan OJK dalam perkara kepailitan yaitu mewakili kreditor yang penunjukkannya berdasarkan surat kuasa khusus dari Dewan Komisioner OJK yang kemudian dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga dalam lingkup kedudukan hukum dari debitor berdomisili. Prosedur yang harus ditempuh oleh OJK tetap mengacu pada ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam UU 37/2004.
 
Namun, sebelum menjalani prosedur beracara yang ada di UU 37/2004, ada ketentuan lain yang mengatur mengenai prosedur permohonan pernyataan pailit Perusahaan Asuransi sebagaimana yang terdapat pada Pasal 51 UU Perasuransian, yaitu:

  1. Kreditor menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga.
  2. Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan yang disampaikan oleh Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
  3. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan dari kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa keuangan.”
 
Berdasarkan prosedur diatas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa mekanisme dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, yaitu:
  1. Kreditor dari Perusahaan Asuransi tersebut menyampaikan permohonan kepada OJK untuk kemudian OJK melakukan kajian apakah dimungkinkan diajukannya pengajuan permohonan pernyataan pailit tersebut terhadap Perusahaan Asuransi yang bersangkutan.
  2. OJK melalui Dewan Komisioner OJK dapat langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi yang bersangkutan bilamana terdapat pertimbangan – pertimbangan mengenai stabilitas dan kondisi keuangan dari Perusahaan Asuransi tersebut.
 
Referensi
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian 
  • Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Penulis

Arthur Daniel P. Sitorus, SH., AAAIK., CLA

Email: arthur@indonesiare.co.id