Konferensi tingkat tinggi mengenai pencegahan perubahan iklim kembali dilaksanakan di tahun 2021. Setelah tertunda selama satu tahun akibat pandemi COVID19 yang melanda dunia, konferensi yang juga dikenal dengan nama COP26 (Conferences of Parties ke 26) ini diselenggarakan di Glasgow, Britania Raya, dan berlangsung selama 14 hari, dari tanggal 31 Oktober hingga 13 November 2021. Alok Sharma, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Bisnis, Energi dan Strategi Industrial di Britania Raya, bertindak sebagai presiden dari COP26 yang berperan dalam memimpin negosiasi dalam konferensi.
Britania Raya bekerja sama dengan Italia dalam penyelenggaraan COP26 ini. Sebuah pre-event dari COP26 diselenggarakan di Milan, Italia pada tanggal 30 September hingga 2 Oktober 2021. Pre-event tersebut terbagi ke dalam dua acara. Acara pertama dikenal dengan nama Milan –The PreCOP26 yang dihadiri oleh perwakilan dari 50 negara. Tujuan dari pre-event tersebut adalah untuk mempersiapkan hal-hal esensial sebelum dilaksanakannya COP26. Salah satunya adalah mengerecutkan pokok pembahasan pada COP26 pada hal-hal sebagai berikut[1]:
Acara kedua dikenal dengan nama Youth4Climate yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan generasi muda dalam penyusunan kebijakan terkait perubahan iklim. Youth4Climate dihadiri oleh sekitar 400 anak muda dengan rentang usia 15 hingga 29 tahun yang berasal dari 189 negara yang berbeda.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah sebuah pernyataan sikap, Youth4Climate Manifesto, yang salah satunya isinya menghimbau para pemimpin dunia untuk segera melakukan transisi energi dengan menghentikan penggunaan batubara dan mengembangkan sumber energi terbarukan[2].
COP26 dihadiri oleh kurang lebih 2500 delegasi dari 200 negara. Delegasi tersebut termasuk 120 kepala negara yang diantaranya adalah Joe Biden dari Amerika Serikat, Narendra Modi dari India, Emmanuel Macron dari Perancis dan juga Presiden Indonesia, Joko Widodo. Delegasi tersebut melakukan negosiasi yang sangat intens untuk mencapai konsensus dalam mempercepat aksi pencegahan perubahan iklim dan penurunan emisi karbon. Sayangnya, COP26 tidak dihadiri oleh China dan Russia yang mana keduanya memiliki peranan besar dalam tingginya emisi karbon.
COP26 dianggap sebagai salah satu konferensi terpenting setelah COP21 di Paris. Hal ini disebabkan karena setiap negara diminta untuk melakukan pembaharuan NDC setiap lima tahun sekali, terhitung dari tahun 2015 saat COP21 berlangsung. Hasil negosiasi pada COP26 ini menjadi sangat kritikal demi menjaga ketercapaian tujuan dalam Paris Agreement mengingat dalam lima tahun ke belakang, apa yang terjadi tidak sejalan dengan tujuan. Tanpa adanya kebijakan yang agresif dan mengikat, kenaikan temperatur global akan terus terjadi[3].
Keberlangsungan COP26 turut diwarnai dengan demonstrasi yang besar di Glasgow. Sekitar 100 ribu orang berkumpul dan bergerak bersama. Di antara demonstran yang hadir adalah seorang aktivis iklim, Greta Thumberg, dan perwakilan dari penduduk asli dari berbagai belahan dunia yang terimbas oleh perubahan iklim. Salah satu dari penduduk asli tersebut adalah seorang aktifis Uganda, Vanessa Nakate, yang menyatakan bahwa Afrika hanya menyumbangkan 3% emisi karbon tetapi imbas dari perubahan iklim terbesar justru terjadi di Afrika[5]. Motif demonstrasi didorong oleh kekecewaan para demonstran terhadap para pemimpin dunia yang dianggap tidak melakukan aksi yang nyata dalam mencegah perubahan iklim[4]. Aksi di Glasgow tersebut merupakan 1 dari 250 demonstrasi lainnya yang dilakukan secara simultan di berbagai belahan dunia. Di Britania Raya sendiri, demonstrasi juga berlangsung di London, massa bergerak bersama dari Bank of England sampai Trafalgar Square[6].
COP26 menghasilkan Glasgow Climate Pact yang merupakan perjanjian yang dicapai oleh seluruh negara peserta. Cukup banyak pihak yang menyatakan kekecewaannya terhadap perjanjian dalam Glasgow Climate Pact. Salah satunya adalah Direktur Inisiatif Iklim Internasional World Resources Institute (WRI), David Waskow[7]. Kekecewaan tersebut terutama disebabkan karena penggunaan batubara tidak secara tegas dihentikan sesegera mungkin di dalam Glasgow Climate Pact. Sebagai gantinya, batubara diatur untuk dihentikan penggunaannya secara bertahap. Namun, adanya Glasgow Climate Pact juga perlu diapresiasi sebagai sebuah bentuk keterjagaan komitmen seluruh negara-negara dalam mencegah kenaikan temperature global hingga 2oC.