20 February 2023 14408
Reasuransi Jiwa

Penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam Operasional Industri Perasuransian Nasional

Kehadiran Pandemi COVID-19 yang telah secara meluas menimbulkan krisis dan ketidakpastian, menyadarkan dunia akan pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di setiap aspek kehidupan. Selama setidaknya dua dekade terakhir ini, pembangunan di seluruh dunia telah berlangsung dengan sangat masif, di mana, pembangunan tersebut dalam prosesnya disinyalir telah kurang memperhatikan prinsip-prinsip yang mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Untuk menyikapi dan mengantisipasi perburukan kondisi yang ada, dunia mulai melakukan re-campaign untuk membangkitkan komitmen dan upaya negara-negara di seluruh dunia dalam pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs).

Sustainable Development Goals (SDGs) alias Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan kesepakatan pembangunan berkelanjutan, yang dilakukan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan, dengan tujuan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. SDGs terdiri dari 17 tujuan, dan memiliki empat pilar utama, yaitu, pilar pembangunan sosial, pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan lingkungan, serta pilar pembangunan hukum dan tata kelola.

Industri Jasa Keuangan memiliki peranan penting dalam upaya pencapaian SDGs, di mana, Industri Jasa Keuangan diharapkan untuk menggunakan prinsip ekonomi berkelanjutan alias Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam operasionalnya. ESG sendiri dikenal sebagai salah satu parameter pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yang dapat menjadi pedoman dalam proses transisi menuju ekosistem perekonomian yang lebih hijau. Hal tersebut berarti, dalam setiap proses pengelolaan dan aktivitas, termasuk di antaranya proses pengambilan keputusan pada perusahaan yang merupakan bagian dari Industri Jasa Keuangan, hendaknya dapat secara penuh menerapkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola yang baik.

Aspek ‘Environmental’ dalam ESG diartikan sebagai keharusan perusahaan untuk mempertimbangkan dampak operasional bisnis terhadap lingkungan, serta peranan perusahaan sebagai pengelola lingkungan. Aspek tersebut dapat meliputi pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan dalam operasional perusahaan, pengelolaan limbah hasil produksi perusahaan, partisipasi perusahaan dalam konservasi sumber daya alam yang tak tergantikan, perlakuan wajar dan tidak semena-mena terhadap fauna, serta penerapan sistem manajemen risiko yang efektif dalam pengelolaan risiko lingkungan.
Aspek ‘Social’ dalam ESG diartikan sebagai keharusan perusahaan untuk mempertimbangkan hubungan dan reputasi perusahaan terhadap stakeholder-nya, serta bagaimana perusahaan dapat melakukan pembinaan terhadap stakeholder-nya, yang terdiri dari masyarakat, komunitas, supplier, vendor, konsumen, serta pihak-pihak terkait lainnya. Aspek tersebut dapat meliputi pemilihan supplier yang juga menerapkan kebijakan dan praktik ESG dalam operasional perusahaannya, keterlibatan perusahaan dalam pembangunan komunitas, baik dalam bentuk persentase laba maupun kegiatan yang berbasis Corporate Social Responsibility (CSR), serta memastikan karyawan perusahaan bisa mendapatkan lingkungan kerja yang sehat dan aman.

Aspek ‘Governance’ dalam ESG diartikan sebagai keharusan perusahaan untuk mempertimbangkan aspek tata kelola yang baik dalam operasional perusahaan.  Aspek tersebut dapat meliputi penggunaan metode akuntansi yang sesuai dengan standar yang ditetapkan, kepastian bahwa perusahaan tidak terlibat dalam kegiatan illegal, serta kepastian bahwa seluruh karyawan perusahaan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan perusahaan.

Selain dalam operasional perusahaan, prinsip ESG juga selayaknya dapat diterapkan dalam penempatan investasi perusahaan, di mana, prinsip investasi berkelanjutan tidak hanya dilakukan dalam kapasitas kelancaran bisnis semata, namun juga dalam kapasitas mitigasi potensi disrupsi pada aspek sosial dan lingkungan hidup. Saat ini, trend investasi berbasis ESG di dunia sudah semakin menanjak. Di Asia sendiri, bahkan setidaknya terdapat lebih dari 5,000 investor yang memiliki minat untuk menempatkan dana investasinya ke perusahaan-perusahaan yang mengedepankan prinsis ESG. Nilai investasi ESG secara global pun semakin meningkat dengan signifikan dalam delapan tahun terakhir. Tercatat, dari tahun 2012 sampai tahun 2018, nilai investasi ESG secara global mengalami peningkatan hingga mencapai 170.48%, atau secara nominal mengalami peningkatan dari USD 11.35 Triliun menjadi USD 30.7 Triliun.

Meskipun tidak dipungkiri bahwa peningkatan nilai investasi tersebut adalah trigger besar dalam peningkatan minat investor, konsep investasi berbasis ESG selayaknya tidak hanya mengutamakan aspek keuntungan semata, namun, harus tetap memperhatikan aspek kebermanfaatan bagi lingkungan, masyarakat, dan Pemerintah, untuk memastikan bahwa peningkatan nilai investasi ESG tersebut dapat tetap terjadi secara jangka panjang.

Bagaimana kondisi terkini implementasi ESG di Indonesia?

Implementasi prinsip ESG di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih belum terlalu menggembirakan. Berdasarkan pemeringkatan implementasi ESG yang dilakukan oleh Corporate Knights terhadap perusahaan publik dan penyelenggara pasar modal di seluruh dunia, Bursa Efek Indonesia (BEI) masih menempati peringkat ke-36 pada tahun 2019. Posisi Indonesia tersebut masih berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina yang menempati peringkat ke-30, Malaysia yang menempati peringkat ke-22, dan Thailand yang menempati peringkat ke-9. Sementara itu, perusahaan publik dan penyelenggara pasar modal yang menduduki peringkat pertama adalah Nasdaq (Helsinki), di mana, Nasdaq mendapat penilaian tertinggi berdasarkan beberapa pertimbangan seperti energi terbarukan, investasi hijau, kualitas air, pembuangan limbah, cedera pada pekerja, dan turn over karyawan. Menyikapi fakta tersebut, Deni Daruri selaku Founder Bumi Global Karbon Foundation menyampaikan bahwa pelaksanaan ESG di beberapa negara tetangga lebih baik ketimbang di Indonesia, lantaran adanya dukungan yang konkret dari Pemerintah dan regulator, serta tersedianya berbagai insentif, termasuk di antaranya adalah insentif pajak.

Indonesia selaku negara berkembang yang saat ini masih mencoba untuk keluar dari middle income trap diharapkan dapat memanfaatkan situasi Pandemi COVID-19 dan era transisi ‘new normal’ sebagai momentum untuk mengakselerasi penerapan ESG dalam berbagai aspek pembangunan, termasuk di antaranya pembangunan infrastruktur atau proyek fisik. Implementasi ESG dalam pembangunan infrastruktur tidak hanya diharapkan dapat mendukung upaya sustainable development, namun, diharapkan juga dapat dijadikan upaya untuk mempercepat proses pelaksanaan proyek, lantaran unsur ESG merupakan risk mitigation tools dari proyek infrastruktur itu sendiri. Selain itu, implementasi ESG dalam pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menarik lebih banyak socially responsible investor (SRI) agar dapat menutup financial gap dalam proyek pembangunan infrastruktur nasional yang nominalnya berkisar pada Rp 2.7 Triliun.

Selain dengan menggenjot proyek infrastruktur berbasis ESG, penempatan investasi dalam instrumen yang berbasis ESG juga harus lebih digiatkan. Penggiatan tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk menggenjot perekonomian, namun juga agar sektor perekonomian nasional dapat lebih berkontribusi dalam memberikan dampak positif terhadap sosial dan lingkungan, yang pada akhirnya dapat mendorong pencapaian Indonesia dalam SDGs. Selain itu, dari perspektif masyarakat, penempatan investasi pada instrumen investasi berbasis ESG selain dapat memberikan imbal hasil yang kompetitif, juga dapat membuat diversifikasi instrumen investasi.

Meskipun memiliki banyak keuntungan dari berbagai perspektif, penempatan investasi pada instrumen investasi berbasis ESG harus dilakukan dengan cermat dan melalui beberapa strategi yang tepat. Strategi pertama adalah dengan menerapkan prinsip ‘exclusionary’, di mana, masyarakat sebagai calon investor diharapkan memiliki ‘blacklist’ perusahaan-perusahaan yang memiliki ‘reputasi negatif’ dalam aspek pemeliharaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Beberapa perusahaan yang seharusnya dapat tereliminasi melalui prinsip ‘exclusionary’ di antaranya adalah perusahaan penggeruk sumber daya alam atau perusahaan yang mengarah pada perjudian.

Strategi kedua adalah dengan melakukan ‘ESG Integration’ alias pelaksanaan analisa atas aspek-aspek ESG dari sebuah perusahaan, yang dilakukan oleh manajer investasi. Dalam mengintegrasikan aspek-aspek ESG pada sebuah perusahaan, manajer investasi umumnya akan melakukan penyesuaian taksiran penjualan maupun biaya, untuk mengetahui apakah valuasi yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut sesuai dan cukup menjanjikan.

Strategi ketiga adalah dengan mempertimbangkan ‘sustainability theme investment’, di mana, investor dapat menargetkan penempatan investasi pada perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi positif dalam aspek pemeliharaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui strategi ini, investor akan membeli saham perusahaan yang telah terdaftar di bursa efek, di mana, dana investasi tersebut akan dimanfaatkan untuk operasional perusahaan secara keseluruhan. Dalam hal ini, investor telah turut terlibat dalam keberlanjutan lingkungan, yang nantinya dapat memberi dampak positif pada iklim perinvestasian secara menyeluruh.

Strategi keempat adalah dengan menerapkan prinsip ‘green bond’, di mana, investor dapat membeli surat utang atau obligasi perusahaan terkait proyek berbasis sosial atau lingkungan yang tengah mereka kerjakan. Pembeda antara strategi ini dengan strategi ‘sustainability theme investment’ adalah dalam hal ini, investor hanya berinvestasi pada suatu proyek spesifik saja, alih-alih membeli saham perusahaan.

Strategi kelima adalah dengan menerapkan prinsip ‘stewardship and engagement’, di mana, investor memiliki hak untuk melakukan pengarahan dan pengawasan terhadap perusahaan tempatnya berinvestasi. Strategi ini dimaksudkan untuk memastikan kebenaran penerapan prinsip ESG pada operasional perusahaan, melalui interaksi antara investor dengan manajemen perusahaan yang berfokus pada aspek ESG.

Strategi keenam dan terakhir adalah dengan mewaspadai tindakan ‘greenwashing’ alias pembuatan klaim tanpa dasar yang jelas terkait produk bisnis tertentu, di mana, klaim tersebut dimaksudkan untuk menggiring opini masyarakat terkait bagaimana produk bisnis tersebut merupakan produk yang unggul dan ramah lingkungan. Strategi ini umumnya dilakukan dengan menyematkan klaim bahwa produk tertentu terbuat dari material yang ramah lingkungan, atau telah melalui proses produksi yang hemat energi.

Hal yang penting untuk diingat adalah keberhasilan investasi berkelanjutan tentu tak lepas dari sistem tata kelola perusahaan yang efektif. Oleh karena itu, selain dengan penerapan keenam strategi tersebut, perusahaan selayaknya juga menyematkan strategi ESG dalam budaya, manajemen risiko, dan pengendalian operasional perusahaan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalikan fungsi compliance alias kepatuhan sebagai pengawas dari penerapan prinsip ESG dalam operasional dan investasi perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus merumuskan peraturan dan praktik ESG yang rinci, untuk memastikan identifikasi dan penilaian terkait penerapan ESG dapat dilakukan dengan efektif. Pada akhirnya, perusahaan diharapkan mampu memberlakukan sistem tata kelola yang baik dan mampu melakukan pendekatan sosial dan lingkungan yang berorientasi terhadap hajat hidup masyarakat.

Bagaimana kondisi terkini implementasi ESG di Industri Perasuransian Nasional?

Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagai bagian dari Lembaga Jasa Keuangan dihimbau untuk turut serta dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi, dengan mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Penerapan Ekonomi Berkelanjutan diestimasikan akan mempengaruhi strategi underwriting, product development, dan pemilihan instrumen investasi pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi di tahun-tahun mendatang. Dari aspek underwriting, Industri Perasuransian memiliki peranan penting sebagai penjamin dan pengelola risiko, termasuk risiko yang terkait dengan isu Environmental, Social, and Governance (ESG). Sebagai contoh, selama beberapa waktu ke belakang, Industri Perasuransian telah mencatat dan menyoroti kerugian signifikan pada lini bisnis Property and Casualty (P&C) yang disebabkan oleh cuaca dan perubahan iklim. Dengan mempertimbangkan historis tersebut, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi direkomendasikan untuk mempertimbangkan peningkatan tarif premi dan penerapan underwriting yang lebih prudent dalam melakukan penjaminan terhadap lini bisnis tersebut.

Dari aspek product development, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat mempertimbangkan faktor climate change yang berimbas pada kemunculan fenomena alam yang anomali dan ekstrim, yang dapat menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat dalam pengembangan produk yang dilakukan oleh perusahaan. Conference of the Parties (CoP) yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dilakukan untuk mendorong optimalisasi peranan negara-negara di seluruh dunia, dalam upaya pencegahan global warming dan climate change melalui transisi energi. Melalui transisi energi dari sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan, emisi karbon selaku penyebab utama dari global warming dapat diminimalisir. Peranan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam hal ini adalah mengembangkan produk asuransi yang menjamin segala aktivitas yang terkait dengan energi terbarukan, termasuk di antaranya adalah pekerjaan konstruksi proyek energi terbarukan dan asuransi kendaraan listrik.

Dari Industri Perasuransian Umum, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memastikan bahwa Industri Perasuransian Umum telah mempersiapkan diri untuk mendukung Pemerintah dan regulator dalam penerapan ESG dan pencapaian tujuan SDGs. Dalam aspek pengembangan produk, sektor perasuransian umum saat ini telah mengembangkan Asuransi Tani Padi melalui kerja sama dengan Kementerian Pertanian, dan Asuransi Perikanan melalui kerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, Industri Perasuransian Umum juga tengah mempersiapkan produk Asuransi Terumbu Karang yang konsepnya tengah didiskusikan bersama United Nations Development Programme (UNDP), produk Asuransi Rumah Tinggal yang konsepnya tengah didiskusikan bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, serta Asuransi Soil Moisture Index dari Tanaman Cocoa yang akan digarap melalui kerja sama dengan International Finance Corporation IFC) dari World Bank Group.

Dari Industri Perasuransian Jiwa, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sejauh ini juga tengah mempersiapkan beberapa produk asuransi yang menerapkan prinsip ESG, guna mendukung pencapaian Indonesia dalam SDGs. AAJI juga menyampaikan bahwa salah satu kendala yang dialami oleh Industri Perasuransian Jiwa dalam penerapan ESG adalah implementasi investasi berbasis ESG secara penuh, dengan mempertimbangkan masih terbatasnya pilihan investasi berbasis ESG yang ada. Investasi berbasis ESG harus dilakukan dengan cermat dan matang, mengingat penempatan investasi dapat menimbulkan tanggung jawab tersendiri apabila aset bernilai besar tiba-tiba terkonversi ke aset lainnya. Dalam hal ini, manajemen perusahaan harus mempertimbangkan adanya potensi peningkatan risiko hukum dalam perumusan mitigasi risiko pelaksanaan ESG di perusahaan.

Penerapan ESG dalam Industri Perasuransian Nasional sebagai bagian dari Industri Jasa Keuangan Nasional harus dilakukan dengan menyeimbangkan tujuan dari penerapan ESG sebagai bagian dari pencapaian SDGs, dengan akuntabilitas dan strategi mitigasi risiko perusahaan untuk aspek-aspek yang terkait dengan ESG. Manajemen perusahaan memiliki kewajiban untuk memastikan pengenalan dan transisi budaya ramah ESG dapat terlaksana dengan baik. Pada akhirnya, perusahaan diharapkan dapat membuat kebijakan dan strategi yang dapat mencerminkan dukungan perusahaan terhadap isu-isu ESG, mulai dari rantai pasok, proses produksi, penyajian pelayanan, hingga margin keuntungan.

Stay safe and healthy, semuanya!

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id