18 October 2024 370
Reasuransi Umum

Peran Asuransi dalam Menjaga Kepercayaan Konsumen: Tanggung Jawab Produsen dalam Setiap Produk

Baru-baru ini, diberitakan bahwa salah satu produsen mobil di Indonesia melakukan penarikan kembali (recall) terhadap lima model kendaraan mereka akibat temuan internal. Meskipun temuan ini masih berupa dugaan dan belum menimbulkan kerugian bagi konsumen, total unit yang terdampak diperkirakan mencapai sekitar 300.000 unit (Kompas, 2024).
 
Berdasarkan berita tersebut, tanggung jawab produsen terhadap produk yang dihasilkan sangat krusial. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), prinsip kehati-hatian sangat diperlukan untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab serta sejauh mana tanggung jawab tersebut dibebankan.
 
Dalam banyak kasus, konsumen sering menjadi pihak yang dirugikan oleh produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Beberapa sumber formal hukum, seperti perundang-undangan dan perjanjian dalam hukum keperdataan, sering membatasi tanggung jawab yang dipikul oleh pelaku usaha yang melanggar hak konsumen.
 
Di sisi lain, meskipun konsumen sering dirugikan oleh produk dari pelaku usaha, mereka tetap menggunakan produk tersebut karena kebutuhan yang mendesak, terutama kebutuhan ekonomi yang terus berkembang di era globalisasi. Ada hubungan saling ketergantungan antara pelaku usaha dan konsumen yaitu pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk mendapatkan keuntungan, sementara konsumen memerlukan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
 
Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk yang merugikan konsumen diatur oleh beberapa prinsip hukum berikut:
 
  1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Konsep ini berarti bahwa orang baru dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum jika mereka melakukan kesalahan yang memiliki unsur-unsurnya. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang biasanya disebut sebagai pasal tentang perbuatan melanggar hukum, empat unsur utama harus terpenuhi: adanya perbuatan, adanya elemen kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Kesalahan di sini mengacu pada pelanggaran terhadap hukum, baik yang tertulis dalam undang-undang maupun yang bertentangan dengan norma sosial. Prinsip ini dinilai adil karena hanya pihak yang melakukan kesalahan yang harus bertanggung jawab mengganti kerugian.
 
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Menurut prinsip presumption of liability, tergugat dianggap selalu bertanggung jawab sampai dia dapat membuktikan ketidakbersalahannya. Dengan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) masih dapat diterima. Prinsip ini berbeda dengan asas praduga tidak bersalah yang umum berlaku dalam hukum pidana, di mana seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya.
 
Namun, dalam konteks hukum perlindungan konsumen, prinsip ini dianggap lebih tepat, karena lebih melindungi konsumen yang umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan pelaku usaha. Jika pelaku usaha tidak dapat membuktikan ketidakbersalahannya dalam suatu sengketa, konsumen memiliki hak untuk menuntut ganti rugi, dan pelaku usaha dapat dikenai sanksi hukum. Prinsip ini memberikan dorongan bagi pelaku usaha untuk lebih berhati-hati dalam memproduksi dan memasarkan barang atau jasa mereka, karena tanggung jawab hukum akan selalu berada di pihak mereka sampai mereka dapat membuktikan sebaliknya. Ini juga mendorong terciptanya keseimbangan yang lebih adil antara konsumen dan pelaku usaha dalam konteks perlindungan hak konsumen.      
 
Pelaku usaha biasanya baru mengambil tindakan setelah konsumen mengalami kerugian akibat produk yang bermasalah. Untuk menentukan tanggung jawab, proses pembuktian, dan kompensasi yang perlu diberikan, konsumen harus menunjukkan bahwa produk yang mereka terima cacat, rusak, atau merugikan. Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha memiliki dua jenis tanggung jawab yakni tanggung jawab publik dan tanggung jawab privat.
 
Tanggung jawab publik mengacu pada kewajiban pelaku usaha, khususnya produsen, untuk tidak hanya mematuhi hukum yang berlaku tetapi juga membangun lingkungan bisnis yang sehat yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, produsen bertanggung jawab untuk beroperasi dengan etika bisnis yang baik, mengikuti norma hukum dan moral, serta menjalankan bisnisnya dengan tujuan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan bangsa.
 
Hal ini menuntut pelaku usaha untuk menjalankan bisnis dengan niat baik, yang pada akhirnya membantu menciptakan iklim usaha yang sehat demi kemajuan negara. Prinsip ini tercermin dalam berbagai ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang bertujuan mendorong pelaku usaha agar mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
 
Tanggung jawab privat diatur dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut, pelaku usaha diwajibkan memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen akibat kerusakan, pencemaran, atau kerugian lain yang timbul dari penggunaan barang dan/atau jasa yang mereka produksi atau jual.
 
Bentuk kompensasi bisa berupa pengembalian uang, penggantian barang/jasa dengan nilai yang setara, perawatan kesehatan, atau pemberian santunan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Ganti rugi ini harus diberikan dalam jangka waktu maksimal tujuh hari setelah transaksi. Namun, tanggung jawab ini tidak menghilangkan kemungkinan adanya tuntutan pidana jika ditemukan unsur kesalahan. Selain itu, pelaku usaha dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan konsumen sendiri.
 
Saat ini, masih banyak pelaku usaha yang belum memahami kewajiban hukum mereka untuk bertanggung jawab kepada konsumen yang dirugikan. Jika mereka bersedia memberikan ganti rugi, proses yang harus dilalui sering kali rumit, seperti investigasi dan pembuktian yang melibatkan pelaku usaha serta ahli hukum yang berpengalaman. Proses ini bertujuan memastikan adanya kelalaian dari pihak pelaku usaha dalam memproduksi barang yang merugikan konsumen.
 
Di sinilah peran asuransi, khususnya asuransi tanggung jawab produk atau Product Liability Insurance, menjadi penting. Asuransi ini dirancang untuk melindungi pelaku usaha dari risiko hukum yang timbul akibat produk yang dijual atau diproduksi. Tujuan utama asuransi ini adalah memberikan kompensasi kepada pihak tertanggung (pelaku usaha) atas kewajiban hukum mereka terhadap pembeli atau pengguna produk yang mengalami kerugian.
 
Fokus dari tanggung jawab produk mencakup kewajiban hukum pelaku usaha atas kematian, cedera, atau kerusakan pada properti akibat penggunaan produk. Namun, asuransi ini tidak mencakup kerugian ekonomi murni, seperti hilangnya keuntungan, jika tidak ada kerusakan fisik atau kerugian yang nyata.
 
Asuransi tanggung gugat produk adalah mekanisme penting dalam perlindungan konsumen, sekaligus membantu meringankan beban pelaku usaha ketika harus bertanggung jawab atas produk yang menyebabkan kerugian bagi konsumen, karena risiko tersebut dialihkan ke perusahaan asuransi.
 
Selain itu, pelaku usaha akan berusaha meningkatkan kualitas produknya karena adanya pengawasan tambahan dari perusahaan asuransi, yang memastikan bahwa standar produk benar-benar dipenuhi agar perusahaan asuransi bersedia menanggung tanggung jawab atas kerugian yang terjadi.

Penulis

Clara Krisnanda Laksita, S.H., CRMO

Email: clara@indonesiare.co.id