23 July 2021
7680
7680
Reasuransi Jiwa
Nah, apakah benar bahwa Vitamin D dapat melindungi kita dari infeksi COVID-19?
Vitamin D merupakan vitamin yang banyak berperan dalam kesehatan tulang dan homeostasis kalsium. Selain itu, Vitamin D juga disebut memiliki peranan penting dalam proteksi tubuh kita dari berbagai penyakit infeksi saluran pernafasan, seperti influenza dan tuberculosis paru.
Sebuah studi meta analisis yang dilakukan oleh Nnoaham et al. mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kadar Vitamin D3 rendah, memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit tuberculosis. Serta, apabila orang tersebut terinfeksi penyakit tuberculosis, kemungkinan orang tersebut untuk mengalami gejala/gangguan kesehatan yang berat atau bahkan fatalitas juga meningkat, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar Vitamin D3 cukup.
Sebuah studi meta analisis serupa dari Zhou et al. juga menunjukkan adanya keterkaitan antara defisiensi Vitamin D dengan risiko seseorang terinfeksi community-acquired-pneumonia (CAP). Studi tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami defisiensi Vitamin D berpotensi 1.65 kali lebih tinggi untuk terinfeksi CAP.
Masih senada dengan dua studi di atas, sebuah studi meta analisis dari Bergman et al. juga menunjukkan potensi Vitamin D sebagai profilaksis dari infeksi paru dan saluran pernafasan. Walaupun demikian, studi ini menunjukkan bahwa fungsi protektif Vitamin D lebih signifikan jika pemberian Vitamin D dilakukan secara rutin dengan dosis harian, ketimbang dilakukan secara insidental dengan dosis bolus besar di sekali pemberian.
Beberapa studi telah dilakukan di berbagai belahan dunia untuk membuktikan hubungan antara kadar Vitamin D dengan potensi infeksi dan mortalitas COVID-19, di antaranya adalah di Perancis, Italia, dan Spanyol. Hasil dari studi-studi tersebut menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada kelompok studi yang mengalami defisiensi vitamin D. Hipotesis sementara dari studi-studi tersebut mengarah kepada potensi peranan Vitamin D dalam proses penghambatan ekspresi dan pengurangan transkripsi dari beberapa cytokine pro-inflamasi. Selain itu, disebutkan pula adanya potensi peranan Vitamin D dalam peningkatan cytokine T-helper yang memiliki fungsi anti-inflamasi.
Selain sebagai regulator imun, Vitamin D3 juga diduga dapat berperan sebagai anti-virus dan anti-inflamasi. Untuk potensi anti-virus sendiri dilakukan melalui peningkatan regulasi peptide anti-mikrobial, sementara, untuk potensi anti-inflamasi dilakukan melalui interaksi Vitamin D dengan protein angiotensin-converting-enzyme-2 (ACE2) selaku reseptor masuknya SARS-CoV-2 (Virus Covid).
Fungsi protektif Vitamin D juga turut menjadi tema dari tema studi yang dilakukan oleh Alipio et al. Studi ini dilakukan kepada 212 pasien COVID-19 yang dirawat di RS, dengan tujuan melihat korelasi antara kadar kecukupan Vitamin D dalam tubuhnya dengan derajat keparahan penyakit yang dideritanya. Berdasarkan data yang ada, rerata kadar Vitamin D pada pasien bergejala ringan adalah 31.2 µg/ml, pada pasien bergejala sedang adalah 27,4 µg/ml, dan pada pasien bergejala berat adalah 21,2 µg/ml.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa 55 pasien memiliki kadar Vitamin D normal dalam tubuhnya, dan mayoritas di antara mereka (85.5%) mengalami COVID-19 dengan gejala ringan. Pada 80 pasien ditemukan adanya insufisiensi Vitamin D dan sebagian dari mereka (43.8%) mengalami COVID-19 dengan gejala sedang. Sementara itu, pada 77 pasien ditemukan adanya defisiensi Vitamin D dan sebagian dari mereka (40.3%) mengalami COVID-19 dengan gejala berat. Dengan temuan-temuan tersebut, studi ini menyimpulkan bahwa memang terdapat keterkaitan antara kadar Vitamin D yang ada dengan derajat keparahan/klinis seseorang saat terinfeksi COVID-19. Walaupun demikian, tim peneliti sendiri mengungkapkan bahwa studi ini memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah terbatasnya jumlah pasien yang diteliti, sehingga, studi ini selayaknya dikonfirmasi kembali melalui studi klinis dengan sampel yang lebih besar dan bersifat randomized.
Senada dengan studi yang dilakukan oleh Alipio et al., sebuah studi kohort retrospektif yang dilakukan di Indonesia terhadap 780 pasien COVID-19 menunjukkan adanya keterkaitan antara kadar Vitamin D dengan mortalitas pasien COVID-19. Berdasarkan kesimpulan studi, pasien dengan defisiensi Vitamin D berisiko 10.12 kali lipat mengalami risiko kematian, jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar Vitamin D normal.
Jika memang Vitamin D dianggap memiliki efek protektif, seberapa banyakkah keperluan kita akan Vitamin D?
Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan tubuh kita untuk memproduksi Vitamin D3 akan semakin berkurang. Terlebih, jika kita tinggal di negara yang memiliki musim dingin, di mana sangat sedikit sinar matahari yang dapat kita terima. Penurunan eksposur sinar matahari memang dapat meningkatkan potensi kita untuk mengalami insufisiensi dan defisiensi Vitamin D. Oleh karena itu, kita sangat disarankan untuk memastikan kecukupan harian Vitamin D kita melalui mengkonsumsi makanan yang kaya akan Vitamin D, seperti daging sapi, hati sapi, ikan, telur, dan susu.
Permasalahannya, bagaimana jika makanan dan minuman yang kita konsumsi belum dapat mencukupi kebutuhan harian kita akan Vitamin D?
Berdasarkan tinjauan naratif yang dipublikasikan oleh Grant et al., suplementasi Vitamin D3 dapat diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi Vitamin D dalam tubuh. Pada studi tersebut, diberikan suplementasi Vitamin D3 dengan dosis 10,000 IU per-harinya selama satu bulan, dan selanjutnya diberikan dengan dosis 5,000 IU per-harinya. Studi tersebut menunjukkan bahwa pemberian Vitamin D3 dalam dosis tersebut berhasil meningkatkan konsentrasi Vitamin D hingga menjadi 40 – 60 µg/ml.
Jika menilik fenomena yang ada di masyarakat, nampaknya masyarakat banyak mengacu pada studi ini, di mana, pemberian Vitamin D3 dengan dosis tinggi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi Vitamin D dalam tubuh, yang mana, diharapkan bisa meningkatkan imunitas dirinya. Walaupun demikian, studi randomized-controlled-trial (RCT) yang dilakukan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute (NHBLI) menunjukkan bahwa dalam tujuan penurunan mortalitas pasien, pemberian Vitamin D3 dalam dosis tinggi tidak memberikan dampak yang signifikan, jika dibandingkan dengan pemberian placebo. Terlebih lagi, pemberian Vitamin D3 dalam dosis tinggi yang disertai dengan pemberian suplemen kalsium ternyata malahan dapat meningkatkan risiko terjadinya hyperkalemia pada pasien, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan jantung. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian Vitamin D3 memang baik untuk dilakukan, sepanjang pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan harian personal, sesuai dengan rekomendasi dokter, dan tidak melebihi batas toxicity-nya.
Bagaimana dengan fenomena konsumsi suplemen Vitamin D dosis tinggi yang saat ini merebak di masyarakat?
Walaupun beberapa studi menunjukkan adanya potensi efek protektif dari Vitamin D, suplementasi Vitamin D dalam dosis tinggi pada dasarnya masih menunjukkan hasil yang inkonklusif. Sehingga, dalam hal ini pemberian Vitamin D dalam dosis tinggi hanya direkomendasikan untuk diberikan pada orang-orang dengan kondisi khusus –misalnya, ibu hamil dan penderita autoimmune-, serta harus diberikan atas rekomendasi dan di bawah pengawasan dokter yang meresepkannya.
Para dokter serta asosiasi kesehatan sangat tidak menyarankan untuk mengkonsumsi Vitamin D dalam dosis tinggi, apalagi jika dilakukan dengan dosis lebih dari 4,000 IU per-harinya. Over-consumption dari Vitamin D berpotensi untuk menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti nyeri kepala, nyeri perut, telinga berdenging, melemahnya otot tubuh, hingga gangguan dan gagal fungsi ginjal. Belum lagi, jika Vitamin D dosis tinggi tersebut dikonsumsi oleh orang dengan penyakit komorbid atau orang yang kebetulan sedang mengkonsumsi obat atau suplemen lain, yang mana, Vitamin D dosis tinggi justru bisa memberikan dampak yang merugikan pada dua kondisi tersebut.
Selain itu, berdasarkan beberapa studi yang ada bahkan menunjukkan bahwa konsumsi Vitamin D dosis tinggi dalam jangka panjang malahan dapat menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menyebabkan gangguan tulang, jantung, serta ginjal. Oleh karena itu, sangat tidak disarankan untuk mengkonsumsi Vitamin D dosis tinggi, apabila anda belum berkonsultasi dengan dokter.
Pun dalam hal pencegahan infeksi COVID-19, pemberian suplemen Vitamin D dosis tinggi masih perlu ditelaah kembali dalam studi dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan durasi pengamatan yang lebih lama, sebelum kita bisa menarik kesimpulan pasti bahwa memang pemberian Vitamin D dosis tinggi benar-benar bisa memberikan manfaat bagi kesehatan kita. Karena, dalam konsumsi dan tindakan apapun, kita harus selalu mempertimbangkan aspek risk and benefit-nya. Jangan sampai, ‘hanya’ karena ingin menghindarkan diri dari infeksi COVID-19, kita malahan abai terhadap kesehatan organ tubuh kita ya. Ingatlah, upaya yang telah terbukti untuk menghindarkan kita dari infeksi COVID-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan konsisten.
Sebagai tambahan, tingkatkanlah imunmu dengan menerapkan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi makanan yang kaya akan nutrisi, vitamin, dan mineral, memperhatikan kecukupan air, beristirahat dengan cukup, serta rutin berolah raga sesuai dengan kapasitas tubuh kita masing-masing. Bila memang dinilai perlu, kita dapat mengkonsumsi suplemen atau vitamin sesuai dosis harian dan sesuai anjuran dokter.
Always stay safe and healthy.
***
Peranan Vitamin D dalam Imunitas
Pandemi COVID-19 yang masih terus melonjak di setiap harinya membuat kekhawatiran mendalam pada benak masyarakat. Berbagai cara dan upaya pun dilakukan masyarakat untuk bisa memperkuat ‘bentengnya’ agar dapat terhindar dari infeksi COVID-19. Salah satu upaya yang akhir-akhir ini merebak di tengah masyarakat adalah mengkonsumsi Vitamin D dalam dosis tinggi, yang mana ditujukan untuk meningkatkan imunitas mereka, sehingga mereka dapat terhindar dari infeksi COVID-19.Nah, apakah benar bahwa Vitamin D dapat melindungi kita dari infeksi COVID-19?
Vitamin D merupakan vitamin yang banyak berperan dalam kesehatan tulang dan homeostasis kalsium. Selain itu, Vitamin D juga disebut memiliki peranan penting dalam proteksi tubuh kita dari berbagai penyakit infeksi saluran pernafasan, seperti influenza dan tuberculosis paru.
Sebuah studi meta analisis yang dilakukan oleh Nnoaham et al. mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kadar Vitamin D3 rendah, memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit tuberculosis. Serta, apabila orang tersebut terinfeksi penyakit tuberculosis, kemungkinan orang tersebut untuk mengalami gejala/gangguan kesehatan yang berat atau bahkan fatalitas juga meningkat, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar Vitamin D3 cukup.
Sebuah studi meta analisis serupa dari Zhou et al. juga menunjukkan adanya keterkaitan antara defisiensi Vitamin D dengan risiko seseorang terinfeksi community-acquired-pneumonia (CAP). Studi tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami defisiensi Vitamin D berpotensi 1.65 kali lebih tinggi untuk terinfeksi CAP.
Masih senada dengan dua studi di atas, sebuah studi meta analisis dari Bergman et al. juga menunjukkan potensi Vitamin D sebagai profilaksis dari infeksi paru dan saluran pernafasan. Walaupun demikian, studi ini menunjukkan bahwa fungsi protektif Vitamin D lebih signifikan jika pemberian Vitamin D dilakukan secara rutin dengan dosis harian, ketimbang dilakukan secara insidental dengan dosis bolus besar di sekali pemberian.
Beberapa studi telah dilakukan di berbagai belahan dunia untuk membuktikan hubungan antara kadar Vitamin D dengan potensi infeksi dan mortalitas COVID-19, di antaranya adalah di Perancis, Italia, dan Spanyol. Hasil dari studi-studi tersebut menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada kelompok studi yang mengalami defisiensi vitamin D. Hipotesis sementara dari studi-studi tersebut mengarah kepada potensi peranan Vitamin D dalam proses penghambatan ekspresi dan pengurangan transkripsi dari beberapa cytokine pro-inflamasi. Selain itu, disebutkan pula adanya potensi peranan Vitamin D dalam peningkatan cytokine T-helper yang memiliki fungsi anti-inflamasi.
Selain sebagai regulator imun, Vitamin D3 juga diduga dapat berperan sebagai anti-virus dan anti-inflamasi. Untuk potensi anti-virus sendiri dilakukan melalui peningkatan regulasi peptide anti-mikrobial, sementara, untuk potensi anti-inflamasi dilakukan melalui interaksi Vitamin D dengan protein angiotensin-converting-enzyme-2 (ACE2) selaku reseptor masuknya SARS-CoV-2 (Virus Covid).
Fungsi protektif Vitamin D juga turut menjadi tema dari tema studi yang dilakukan oleh Alipio et al. Studi ini dilakukan kepada 212 pasien COVID-19 yang dirawat di RS, dengan tujuan melihat korelasi antara kadar kecukupan Vitamin D dalam tubuhnya dengan derajat keparahan penyakit yang dideritanya. Berdasarkan data yang ada, rerata kadar Vitamin D pada pasien bergejala ringan adalah 31.2 µg/ml, pada pasien bergejala sedang adalah 27,4 µg/ml, dan pada pasien bergejala berat adalah 21,2 µg/ml.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa 55 pasien memiliki kadar Vitamin D normal dalam tubuhnya, dan mayoritas di antara mereka (85.5%) mengalami COVID-19 dengan gejala ringan. Pada 80 pasien ditemukan adanya insufisiensi Vitamin D dan sebagian dari mereka (43.8%) mengalami COVID-19 dengan gejala sedang. Sementara itu, pada 77 pasien ditemukan adanya defisiensi Vitamin D dan sebagian dari mereka (40.3%) mengalami COVID-19 dengan gejala berat. Dengan temuan-temuan tersebut, studi ini menyimpulkan bahwa memang terdapat keterkaitan antara kadar Vitamin D yang ada dengan derajat keparahan/klinis seseorang saat terinfeksi COVID-19. Walaupun demikian, tim peneliti sendiri mengungkapkan bahwa studi ini memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah terbatasnya jumlah pasien yang diteliti, sehingga, studi ini selayaknya dikonfirmasi kembali melalui studi klinis dengan sampel yang lebih besar dan bersifat randomized.
Senada dengan studi yang dilakukan oleh Alipio et al., sebuah studi kohort retrospektif yang dilakukan di Indonesia terhadap 780 pasien COVID-19 menunjukkan adanya keterkaitan antara kadar Vitamin D dengan mortalitas pasien COVID-19. Berdasarkan kesimpulan studi, pasien dengan defisiensi Vitamin D berisiko 10.12 kali lipat mengalami risiko kematian, jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar Vitamin D normal.
Jika memang Vitamin D dianggap memiliki efek protektif, seberapa banyakkah keperluan kita akan Vitamin D?
Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan tubuh kita untuk memproduksi Vitamin D3 akan semakin berkurang. Terlebih, jika kita tinggal di negara yang memiliki musim dingin, di mana sangat sedikit sinar matahari yang dapat kita terima. Penurunan eksposur sinar matahari memang dapat meningkatkan potensi kita untuk mengalami insufisiensi dan defisiensi Vitamin D. Oleh karena itu, kita sangat disarankan untuk memastikan kecukupan harian Vitamin D kita melalui mengkonsumsi makanan yang kaya akan Vitamin D, seperti daging sapi, hati sapi, ikan, telur, dan susu.
Permasalahannya, bagaimana jika makanan dan minuman yang kita konsumsi belum dapat mencukupi kebutuhan harian kita akan Vitamin D?
Berdasarkan tinjauan naratif yang dipublikasikan oleh Grant et al., suplementasi Vitamin D3 dapat diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi Vitamin D dalam tubuh. Pada studi tersebut, diberikan suplementasi Vitamin D3 dengan dosis 10,000 IU per-harinya selama satu bulan, dan selanjutnya diberikan dengan dosis 5,000 IU per-harinya. Studi tersebut menunjukkan bahwa pemberian Vitamin D3 dalam dosis tersebut berhasil meningkatkan konsentrasi Vitamin D hingga menjadi 40 – 60 µg/ml.
Jika menilik fenomena yang ada di masyarakat, nampaknya masyarakat banyak mengacu pada studi ini, di mana, pemberian Vitamin D3 dengan dosis tinggi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi Vitamin D dalam tubuh, yang mana, diharapkan bisa meningkatkan imunitas dirinya. Walaupun demikian, studi randomized-controlled-trial (RCT) yang dilakukan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute (NHBLI) menunjukkan bahwa dalam tujuan penurunan mortalitas pasien, pemberian Vitamin D3 dalam dosis tinggi tidak memberikan dampak yang signifikan, jika dibandingkan dengan pemberian placebo. Terlebih lagi, pemberian Vitamin D3 dalam dosis tinggi yang disertai dengan pemberian suplemen kalsium ternyata malahan dapat meningkatkan risiko terjadinya hyperkalemia pada pasien, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan jantung. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian Vitamin D3 memang baik untuk dilakukan, sepanjang pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan harian personal, sesuai dengan rekomendasi dokter, dan tidak melebihi batas toxicity-nya.
Bagaimana dengan fenomena konsumsi suplemen Vitamin D dosis tinggi yang saat ini merebak di masyarakat?
Walaupun beberapa studi menunjukkan adanya potensi efek protektif dari Vitamin D, suplementasi Vitamin D dalam dosis tinggi pada dasarnya masih menunjukkan hasil yang inkonklusif. Sehingga, dalam hal ini pemberian Vitamin D dalam dosis tinggi hanya direkomendasikan untuk diberikan pada orang-orang dengan kondisi khusus –misalnya, ibu hamil dan penderita autoimmune-, serta harus diberikan atas rekomendasi dan di bawah pengawasan dokter yang meresepkannya.
Para dokter serta asosiasi kesehatan sangat tidak menyarankan untuk mengkonsumsi Vitamin D dalam dosis tinggi, apalagi jika dilakukan dengan dosis lebih dari 4,000 IU per-harinya. Over-consumption dari Vitamin D berpotensi untuk menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti nyeri kepala, nyeri perut, telinga berdenging, melemahnya otot tubuh, hingga gangguan dan gagal fungsi ginjal. Belum lagi, jika Vitamin D dosis tinggi tersebut dikonsumsi oleh orang dengan penyakit komorbid atau orang yang kebetulan sedang mengkonsumsi obat atau suplemen lain, yang mana, Vitamin D dosis tinggi justru bisa memberikan dampak yang merugikan pada dua kondisi tersebut.
Selain itu, berdasarkan beberapa studi yang ada bahkan menunjukkan bahwa konsumsi Vitamin D dosis tinggi dalam jangka panjang malahan dapat menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menyebabkan gangguan tulang, jantung, serta ginjal. Oleh karena itu, sangat tidak disarankan untuk mengkonsumsi Vitamin D dosis tinggi, apabila anda belum berkonsultasi dengan dokter.
Pun dalam hal pencegahan infeksi COVID-19, pemberian suplemen Vitamin D dosis tinggi masih perlu ditelaah kembali dalam studi dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan durasi pengamatan yang lebih lama, sebelum kita bisa menarik kesimpulan pasti bahwa memang pemberian Vitamin D dosis tinggi benar-benar bisa memberikan manfaat bagi kesehatan kita. Karena, dalam konsumsi dan tindakan apapun, kita harus selalu mempertimbangkan aspek risk and benefit-nya. Jangan sampai, ‘hanya’ karena ingin menghindarkan diri dari infeksi COVID-19, kita malahan abai terhadap kesehatan organ tubuh kita ya. Ingatlah, upaya yang telah terbukti untuk menghindarkan kita dari infeksi COVID-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan konsisten.
Sebagai tambahan, tingkatkanlah imunmu dengan menerapkan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi makanan yang kaya akan nutrisi, vitamin, dan mineral, memperhatikan kecukupan air, beristirahat dengan cukup, serta rutin berolah raga sesuai dengan kapasitas tubuh kita masing-masing. Bila memang dinilai perlu, kita dapat mengkonsumsi suplemen atau vitamin sesuai dosis harian dan sesuai anjuran dokter.
Always stay safe and healthy.
***
Penulis
dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ
Email: laras@indonesiare.co.id
Artikel
- InsurTech: A Growing Synergy Between Insurance, Technology, and Healthcare
13 Sep 2024
1744 kali - Sepak Terjang Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS)09 Jul 20241664 kali
- Pengaruh Penggunaan Proton Pump Inhibitor terhadap Gangguan Kandung Empedu27 Jun 20242099 kali
- Mengenal ‘Disease X’, The Future Next Pandemic?06 May 20242387 kali
- Vertigo dan Meniere’s Disease02 Apr 20242141 kali
- Potensi dan Langkah Mitigasi Bahaya Rokok Elektrik07 Feb 20242080 kali
- Kebangkitan Infeksi Polio di Indonesia23 Jan 20242111 kali
- Mengenal COVID-19 Varian JN.122 Dec 20234565 kali
- Lonjakan Kasus COVID-19 di Akhir Tahun 202320 Dec 20234515 kali
- Potret Wabah ‘Pneumonia Misterius’ di Indonesia dan Dunia07 Dec 20234872 kali
- Infeksi HPV, Kanker Cervix, dan Metode Pencegahannya04 Dec 20234903 kali
- Perspektif Kepemilikan Asuransi Penyakit Kritis bagi Kelompok Usia Muda21 Nov 20234784 kali
- Kemunculan Kasus Mpox Kedua: Apakah Berpotensi Menjadi Epidemi Baru di Indonesia?30 Oct 20234266 kali
- Underweight dan Bahaya Kesehatan di Baliknya10 Oct 20234114 kali
- Penggunaan Air Purifier: Apakah Merupakan Solusi Efektif untuk Mengatasi Gangguan Pernapasan akibat Kualitas Udara Buruk?03 Oct 20233949 kali
- Fenomena Peningkatan Insidensi HIV/AIDS pada Ibu Rumah Tangga12 Jun 202310352 kali
- Marburg Virus Disease24 May 20236842 kali
- Sudden Sensorineural Hearing Loss26 Apr 20239415 kali
- Tuberculosis pada Anak10 Apr 202310159 kali
- Flu Burung Clade 2.3.4.4b28 Mar 202311631 kali
- Penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam Operasional Industri Perasuransian Nasional20 Feb 202316525 kali
- Memahami Fenomena Bonus Demografi dan Pengaruhnya pada Industri Asuransi Jiwa26 Jan 202320813 kali
- Vaksin Inavac12 Jan 202316508 kali
- Stroke Batang Otak06 Jan 202319911 kali
- Ada Apa dengan China?28 Dec 202212373 kali
- Gonorrhea Superbug21 Dec 202212229 kali
- Crimean-Congo Hemorrhagic Fever14 Dec 20227302 kali
- Vaksin IndoVac29 Nov 20226074 kali
- Cedera Sambaran Petir24 Nov 20225472 kali
- Emboli Paru dan Tragedi Perayaan Halloween di Itaewon11 Nov 20225253 kali
- Covid Subvarian XBB dan XBC03 Nov 20224544 kali
- Fenomena Resistensi Antibiotik dan Infeksi Superbug26 Oct 20225397 kali
- Telaah Fenomena Gagal Ginjal Akut pada Anak18 Oct 20226049 kali
- Penggunaan Kendaraan Listrik dari Perspektif Kesehatan dan Lingkungan04 Oct 20229768 kali
- Zero Covid Policy22 Sep 20225577 kali
- Fenomena Antibody Dependent Enhancement (ADE) pada Sistem Imun31 Aug 20226482 kali
- Mengenal Batuk Berdarah22 Aug 20229650 kali
- Mengenal Virus Langya dan Potensi Emerging Disease12 Aug 20223133 kali
- Long Covid dalam Perspektif Asuransi Jiwa dan Kesehatan05 Aug 20223437 kali
- Covid Centaurus26 Jul 20223437 kali
- Menyikapi Penghapusan Ketentuan Waiting Period pada SEOJK PAYDI11 Jul 20225250 kali
- Telaah Ganja Medis sebagai Alternatif Pengobatan07 Jul 20224385 kali
- Ada Apa dengan BA.4 dan BA.5?24 Jun 20222931 kali
- Ramsay-Hunt Syndrome20 Jun 20223122 kali
- Keterkaitan Asma dengan GERD10 Jun 20225407 kali
- Penyakit Virus Hendra03 Jun 20223523 kali
- Mengenal Cacar Monyet26 May 20222990 kali
- Keterkaitan Infeksi Covid dengan Hepatitis Misterius19 May 20223133 kali
- Hepatitis Misterius19 May 20223196 kali
- Serba-Serbi Sakit Pinggang11 May 20225106 kali
- Evidence Based Medicine22 Apr 202218619 kali
- Mewaspadai Potensi Penyakit Ginjal pada Penyintas Covid07 Apr 20223653 kali
- Penyakit Tipes, Penyakit Masyarakat Indonesia31 Mar 20225760 kali
- Menilik Kesiapan Indonesia vs Negara Tetangga Dalam Melangkah Ke Status Endemi29 Mar 20223216 kali
- Riwayat Pandemi Flu Spanyol 191816 Mar 20228003 kali
- Son of Omicron09 Mar 20222652 kali
- Vaksin Zifivax22 Feb 20226893 kali
- Bahaya Strobo Bagi Kesehatan15 Feb 20224997 kali
- Flurona, Infeksi Apakah Itu?02 Feb 20222953 kali
- Pentingnya Warna Urine Sebagai Indikator Kesehatan25 Jan 202235368 kali
- Spinal Cord Injury17 Jan 202212480 kali
- Mengenal Gerd03 Jan 20226527 kali
- Tentang Varian Omicron10 Dec 20213279 kali
- Mengenal Nyeri Dada06 Dec 20215177 kali
- Mengenal Insomnia dan Sleep Deprivation29 Nov 202114299 kali
- Mental Health Awareness Di Lingkungan Kerja23 Nov 20218698 kali
- Dampak Kemunculan Virus Covid Subvarian Delta Plus12 Nov 20213590 kali
- Pemberian Vaksin Pfizer Pada Anak29 Oct 20214305 kali
- Risiko Myokarditis Pada Penerima Vaksin MRNA19 Oct 20217550 kali
- Pengajuan Asuransi Jiwa dan Kesehatan Bagi Penyintas Covid06 Oct 20213305 kali
- Tentang Varian Mu28 Sep 20213211 kali
- Tentang Vaksin Sputnik-V15 Sep 20214258 kali
- Badai Sitokin pada Penderita Covid01 Sep 202110288 kali
- Vaksin Moderna Di Indonesia25 Aug 20216080 kali
- Amunisi Pandemi Anak Bangsa09 Aug 20213933 kali
- Pemberian Dosis Booster pada Program Vaksinasi Covid di Indonesia05 Aug 20214404 kali
- Telaah Penggunaan Azithromycin dalam Pengobatan COVID-1928 Jul 202110772 kali
- Polemik Ivermectin dalam Pengobatan COVID-1914 Jul 20214733 kali
- Peningkatan Kasus COVID-19 pada Anak di Indonesia28 Jun 20213867 kali
- Peranan Varian Mutasi dalam Lonjakan Kasus COVID-19 di Indonesia18 Jun 20213896 kali
- Wacana Sekolah Tatap Muka di Tengah Pandemi COVID-1914 Jun 20218437 kali
- Infeksi Jamur Hitam pada Penderita COVID-1910 Jun 20215123 kali
- Program Vaksinasi Gotong Royong09 Jun 20214131 kali
- Faedah Pemberian Terapi Plasma Konvalesen bagi Penderita COVID-1904 Jun 20215007 kali
- Fenomena Long Covid pada Penyintas18 May 20216547 kali
- Mengenal Varian P1 dari SARS-CoV-230 Apr 20214324 kali
- Vaksin COVID-19 untuk Ibu Hamil19 Apr 20214007 kali
- Mengenal Varian Trégor16 Apr 20213521 kali
- Multisystem Inflammatory Syndrome In Children (Mis-C)24 Mar 202114057 kali
- Polemik Vaksin Astrazeneca19 Mar 20216251 kali
- Tentang Varian Mutasi B 117 Yang hadir di Indonesia15 Mar 20213113 kali
- Pengembangan Vaksin Covid-19 Di Indonesia26 Feb 20215496 kali
- Rekomendasi Terbaru Kemenkes Untuk Vaksinasi Covid-1918 Feb 20215673 kali
- Proses Pengelolaan Masker Medis Bekas Pakai15 Feb 20214538 kali
- Pandemic Fatigue11 Feb 20213720 kali
- Telaah Imunitas Dalam Disiplin Ilmu Psikoneuroimunologi01 Feb 20217031 kali
- Fakta-Fakta Terkait Kejadian Kematian Penerima Vaksin Pfizer22 Jan 20214895 kali
- Kesiapan Edar Vaksin Sinovac di Indonesia15 Jan 20214720 kali
- ISOLASI MANDIRI PADA COVID-1908 Jan 20214790 kali
- Mengenal Mutasi VUI-202012/0104 Jan 20213691 kali
- Delirium pada Penderita COVID-1923 Dec 20206657 kali
- Wacana Dimulainya Penyelenggaraan Sekolah Tatap Muka Kembali23 Dec 20203413 kali
- Gangguan Pencernaan Pada Kasus Covid-1922 Dec 20207083 kali
- Potensi Terjadinya Cross-Reactive-Immunity Terhadap Individu Yang Belum Terekspos Sars-Cov-221 Dec 20204552 kali
- Mengenal Vaksin Pfizer27 Nov 20208337 kali
- Klorokuin Dalam Pengobatan Covid-1920 Nov 20205016 kali
- Dominasi Klaster Perkantoran Pada Pandemi COVID-1920 Nov 20204079 kali
- Risiko Transmisi Covid-19 Dalam Penerbangan17 Nov 20203859 kali
- Antibody Dependent Enhancement02 Nov 202010920 kali
- Mengenal Herd Immunity24 Jul 20204841 kali
- Mungkinkah COVID-19 terjadi pada hewan?20 Jul 20204273 kali
- Virus Flu Babi G4 EA H1N1, Akankan Menjadi Pandemi Baru Di Tahun Ini ?03 Jul 20204739 kali
- Penggunaan Masker Dalam Kehidupan ‘Normal Baru’26 Jun 20204402 kali
- Kilas Balik Penanganan COVID-19 di Indonesia28 May 20203748 kali
- COVID-19 dan Penyakit Kardiovaskular11 May 20204279 kali
- Proses Pembuatan Vaksin05 May 202079855 kali
- COVID-19 dan Demam Dengue28 Apr 20204521 kali
- Mitos dan Fakta tentang COVID-1923 Mar 20204481 kali
- Menangani Gigitan Ular02 Mar 20208106 kali
- Mengenal GERD24 Feb 20208229 kali
- Serba-Serbi Jamu17 Feb 20204250 kali
- Mengoptimalkan Kekebalan Tubuh10 Feb 20203615 kali
- 2019 - Novel Coronavirus28 Jan 20204567 kali
- Vegan vs Vegetarian20 Jan 20204730 kali
- Banjir, Penyakit Pes, dan Leptospirosis13 Jan 202010889 kali
- Serba-Serbi Vitamin D06 Jan 20203464 kali
- Hyperventilation Syndrome30 Dec 201924805 kali
- Pentingnya Kalsium untuk Tubuh26 Dec 20198477 kali
- Serba-Serbi Keluarga Berencana17 Dec 20197136 kali
- Chronic Fatigue Syndrome09 Dec 20199064 kali
- Hipnosis dan Diet Hipnoterapi03 Dec 20197824 kali
- Manfaat Ikan Salmon25 Nov 20198696 kali
- Ulkus Lambung18 Nov 201916651 kali
- Sifilis12 Nov 201921448 kali
- Mengkonsumsi Vitamin C05 Nov 20197448 kali
- Skizofrenia28 Oct 20198506 kali
- Overdosis Kafein21 Oct 20193981 kali
- Bahaya Mengkonsumsi Makanan dan Minuman Panas16 Oct 201917054 kali
- Peran Kolesterol bagi Kesehatan Tubuh27 Aug 20198947 kali
- Penyebab Bau Badan14 Aug 20195805 kali
- Social Drinker05 Aug 201917877 kali
- Mengenal Kandung Empedu30 Jul 201960212 kali
- Nutrisi untuk Rambut15 Jul 20193619 kali
- Mengenal Rambut08 Jul 201948710 kali
- Apakah Menguap Itu Selalu Pertanda Mengantuk01 Jul 20199122 kali
- Serba Serbi Warna Ingus28 Jun 201923926 kali
- Mengenal Cacar Monyet21 May 20195541 kali
- Manfaat Berpuasa bagi Kesehatan06 May 20193765 kali
- Mengapa Garam Dapat Menyebabkan Tekanan Darah Meningkat?29 Apr 201929508 kali
- Mengapa Kita Mengalami Cegukan?22 Apr 201912662 kali
- Manfaat Bawang Putih15 Apr 20199555 kali
- Mau tidur siang? Ternyata ada aturannya, lho!26 Mar 20199413 kali
- Extrapulmonary Tuberculosis18 Mar 201912432 kali
- Manfaat Zat Besi untuk Tubuh14 Mar 20198562 kali
- Hipertensi pada Anak06 Mar 201928614 kali
- Gangguan Psikosomatis04 Mar 201912228 kali
- Pentingnya Tidur Untuk Kesehatan18 Feb 20198945 kali
- Waspada Demam Berdarah Dengue (DBD)!12 Feb 20199557 kali
- Fungsi Usus Buntu04 Feb 201917789 kali
- Serba-serbi Tonsil28 Jan 201934849 kali
- Protein dan Asam Amino21 Jan 201984117 kali
- Mengenal IQOS14 Jan 201938131 kali
- Mengenal Diet Keto07 Jan 20199927 kali
- Serba-Serbi Kurang Tidur31 Dec 20185332 kali
- Kolesterol yang Terlalu Rendah26 Dec 20184518 kali
- Ada Apa dengan Nasi?26 Dec 20185639 kali
- Benarkah Vape Tidak Berbahaya?11 Dec 20187546 kali
- Efusi Pleura12 Nov 201821286 kali
- Pneumonia06 Nov 20189336 kali
- Encephalitis29 Oct 20187780 kali
- Meningitis22 Oct 201810039 kali
- Imunisasi Rotavirus15 Oct 201816306 kali
- Prostatitis11 Jul 20188689 kali
- Cystitis02 Jul 201816079 kali
- Tahan Banting Selama Puasa04 Jun 20184261 kali
- Vaksin untuk anak : Iya atau Tidak?21 May 20184152 kali
- Vaksin Cacar Air, Penting atau Tidak ?30 Apr 201816267 kali
- Eclampsia23 Apr 20185418 kali
- Chikungunya12 Mar 201813777 kali
- Rubeola05 Mar 201813206 kali
- Benign Prostatic Hyperplasia05 Feb 20189795 kali
- Transplantasi Liver06 Mar 20178104 kali
- Diet sehat itu seperti apa?06 Mar 20175955 kali
- Sirosis Hati06 Mar 201718746 kali
- Pre-Diabetes, akankah menjadi Diabetes?06 Mar 201710911 kali
- Kanker Pankreas03 Mar 20178704 kali
- Kanker Lambung03 Mar 201712014 kali
- HFMD02 Mar 201710572 kali
- Cholelithiasis02 Mar 201764600 kali
- Alcohol-Related Liver Disease02 Mar 20177321 kali
- Rokok Elektronik: Penolong dari Ketergantungan atau Alternatif Baru Merokok?10 Dec 20167004 kali
Follow Us
