15 February 2021 4197
Reasuransi Jiwa

Proses Pengelolaan Masker Medis Bekas Pakai

Saat pandemi COVID-19 baru dimulai di Indonesia pada awal tahun 2020 lalu, kekhawatiran masyarakat berada pada cukup atau tidaknya ketersediaan alat pelindung diri (APD) seperti masker medis dan baju APD, yang mana, memang saat itu ternyata ketersediaannya masih sangat terbatas akibat dari perilaku binge buying pada sebagian masyarakat. Bahkan, saat itu tenaga kesehatan selaku garda depan dari pandemi ini sendiri kesulitan untuk bisa memperoleh APD. Saat ini, di mana ketersediaan APD sudah dapat dikatakan lebih dari cukup, muncullah kekhawatiran tambahan akan adanya penumpukan limbah akibat dari penggunaan masker medis yang memang hanya dapat digunakan sekali pakai.

Pemerintah dan asosiasi kesehatan yang berwenang sebenarnya sudah ‘mengkampanyekan’ penggunaan masker kain bagi masyarakat umum dan populasi yang tidak termasuk golongan rentan. Namun demikian, hingga saat ini, masker medis masih menjadi ‘idola’ di masyarakat. Mungkin karena kepraktisannya, dan mungkin juga karena harganya yang saat ini sudah sangat terjangkau. Selain itu, masker kain yang saat ini beredar di masyarakat juga tidak semuanya memiliki standar perlindungan yang baik. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang memang masih memilih untuk menggunakan masker medis.

Semangat dan kepatuhan atas anjuran penggunaan masker yang terstandarisasi memang merupakan hal yang baik. Namun, tentunya kita berharap bahwa kepatuhan atas protokol kesehatan –yang mana bertujuan untuk memutus rantai transmisi infeksi- tidak memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan kita. Ya, bayangkan saja berapa banyak jumlah penduduk di Indonesia ini. Jika 30% saja dari mereka memilih untuk mengenakan masker medis, berapa jumlah limbah masker medis setiap harinya? Apalagi, pandemi ini sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun. Asia Development Bank (ADB) memprediksi Jakarta saja dapat menghasilkan tambahan 12,720 ton limbah medis berupa sarung tangan, baju APD, masker medis, dan kantong infus hanya dalam waktu 60 hari. Sungguh tidak terbayang berapa jumlah limbah APD di Indonesia saat ini.

Saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan Pedoman Pengelolaan Limbah Masker dari Masyarakat. Pedoman ini ditujukan bagi proses pengelolaan masker yang digunakan oleh masyarakat umum, bukan masker yang digunakan oleh tenaga medis. Dengan demikian, masker yang digunakan oleh maskarakat ini diperlakukan sebagaimana limbah domestik, dan bukan termasuk ke dalam kategori limbah medis yang mana harus diperlakukan seperti limbah medis lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan.

Adapun untuk perlakuan pengelolaan limbah domestik dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, untuk meminimalisir potensi risiko kesehatan dan penularan penyakit, masker medis bekas pakai dapat diperlakukan sebagai berikut:

  • Dilakukan pengumpulan masker bekas pakai dalam suatu wadah/plastik khusus

  • Dilakukan perobekan atau pemotongan masker, sehingga masker tidak dapat digunakan kembali atau dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (misalnya, didaur ulang dan dijual kembali)

  • Dilakukan disinfeksi dengan cara perendaman masker bekas pakai ke dalam wadah yang berisi larutan disinfektan/klorin/pemutih

  • Setelah direndam, limbah tersebut dapat dibuang ke tempat sampah domestik

  • Jangan lupa untuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah melakukan prosedur ini

Selain Kemenkes, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun telah mengeluarkan pedoman serupa bagi masker medis bekas pakai sebagai berikut:

klkh

Bagaimana dengan proses pengelolaan limbah medis yang berlaku di luar negeri?

World Health Organization (WHO) dan Public Health England (PHE) telah mengeluarkan rekomendasi untuk memasukkan limbah APD –termasuk masker medis- ke dalam kantung plastik kuning dua lapis, dan setelah itu disimpan selama 72 jam di tempat penyimpanan/penampungan sementara sebelum dibuang ke fasilitas pengolahan limbah tahap akhir. Dengan perlakukan seperti itu, diharapkan virus yang mungkin ada pada APD telah mati sebelum dibawa ke fasilitas pengolahan limbah tahap akhir.

Jauh sebelum pandemi COVID-19 ini dimulai, pada tahun 2003, WHO dan United Nation Environment Programme (UNEP) –yang merupakan lembaga PBB yang berfokus pada isu lingkungan hidup- telah meresmikan metode pengelolaan limbah medis dengan metode penguapan atau autoklaf. Metode ini berfungsi sebagai pengganti pembakaran limbah, dan bertugas untuk mencegah terjadinya pelepasan Persistent Organic Pollutants (POPs) yang merupakan senyawa organik yang mengandung racun dan dapat bertahan lama di lingkungan. Metode autoklaf ini seolah membuat limbah medis menjadi ‘steril’ dengan memanfaatkan teknologi uap panas dan pencacahan, sebelum akhirnya dilakukan pembuangan ke fasilitas pengolahan limbah tahap akhir.

Untuk limbah medis sendiri sebaiknya jangan diproses dengan cara dibakar karena dikhawatirkan akan menjadi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mana dapat mencemari air, tanah, dan udara. Jika harus dibakar pun, KLHK merekomendasikan untuk melakukan proses pembakaran limbah dengan tungku bakar dengan suhu di atas 800°C, untuk memastikan kalau seluruh virus tidak akan mencemari lingkungan. Walaupun demikian, hal tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan karena pada dasarnya SARS-CoV-2 dapat mati pada suhu 100°C dan setelah dapat mati otomatis setelah 72 jam pada permukaan plastik atau kertas.

Nah, jadi sedikit dilema, ya? Ingin melindungi diri dan mematuhi protokol kesehatan, tapi jadi mengkhawatirkan lingkungan. Untuk menyeimbangkan kedua hal tersebut, WHO sebenarnya juga telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengoptimalkan ketersediaan APD, meminimalisir kebutuhan APD, serta penggunaan APD secara rasional dan sesuai kebutuhan. Selain itu, masyarakat juga sebenarnya dapat berperan serta dalam upaya penekanan limbah masker medis sekaligus dalam upaya untuk memutus rantai transmisi infeksi, dengan cara meminimalisir kegiatan yang harus dilakukan di luar rumah. Kalau tidak perlu ke luar rumah, di dalam rumah saja, ya! 
 

 
***

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id