19 October 2021 6407
Reasuransi Jiwa

Risiko Myokarditis Pada Penerima Vaksin MRNA

Pemberitaan terkait kejadian myokarditis sebagai salah satu efek samping dari pemberian Vaksin Covid berbasis mRNA telah terdengar selama beberapa waktu ke belakang. Nah, apakah sebenarnya myokarditis itu, dan apakah memang pemberian Vaksin Covid berbasis mRNA memang bisa mencetuskan kejadian myokarditis?
 

myo-1

Sumber foto: www.freepik.com

Myokardium alias otot jantung adalah salah satu dari beberapa struktur yang membentuk jantung kita. Myokardium merupakan lapisan tertebal dari jantung kita, dan memiliki peranan untuk memompa jantung agar dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Myokarditis merupakan infeksi pada sel otot jantung yang menyebabkan terjadinya peradangan pada myokardium. Myokarditis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah infeksi virus –termasuk infeksi SARS-CoV-2-, infeksi bakteri, infeksi parasit, infeksi jamur, radiasi, paparan obat/zat kimia, serta kondisi autoimun. Myokarditis yang bersifat ringan umumnya dapat sembuh dalam waktu singkat dengan pengobatan yang tepat. Namun, myokarditis yang bersifat berat atau tidak tertangani dengan tepat dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti serangan jantung atau stroke.

Myokarditis telah dilaporkan sebagai salah satu efek samping dari pemberian Vaksin Covid berbasis mRNA, baik itu Vaksin Pfizer maupun Vaksin Moderna. Terdapat laporan terkait adanya peningkatan kasus myokarditis pada penerima Vaksin Covid mRNA berusia muda di Amerika Serikat, sejak Vaksin Covid mRNA mulai diberikan pada April 2021 lalu. Di Indonesia sendiri, Vaksin Covid mRNA diberikan sebagai vaksin primer (dosis pertama dan kedua) bagi masyarakat yang sama sekali belum pernah menerima Vaksin Covid, serta diberikan sebagai dosis ketiga/booster bagi tenaga kesehatan yang sebelumnya telah menerima Vaksin Covid merek lain dengan dosis lengkap.

Selain laporan peningkatan kasus myokarditis di Amerika Serikat, beberapa studi juga telah membuktikan adanya potensi keterkaitan antara pemberian Vaksin Covid mRNA dengan kejadian myokarditis. Sebuah studi di California menyebutkan bahwa myokarditis terjadi pada 5.8 dari 1 juta orang yang menerima Vaksin Pfizer atau Vaksin Moderna. Seluruh penderita myokarditis tersebut disebutkan adalah laki-laki berusia kurang dari 40 tahun, serta tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau kondisi komorbid lain sebelumnya. Sebanyak 93% penderita disebutkan mengalami nyeri dada dalam waktu 1 – 5 hari setelah menerima vaksin dosis kedua.

 

myo-2

Sumber foto: www.freepik.com

Sebuah studi lain di Israel menunjukkan bahwa orang yang menerima Vaksin Pfizer berisiko 2.35 kali lebih tinggi untuk mengalami myokarditis dalam 30 hari setelah pemberian vaksin dosis kedua. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa insidensi myokarditis paling sering terjadi pada laki-laki berusia 16 – 29 tahun (usia muda). Insidensi myokarditis tersebut disebutkan terjadi pada 2 dari 100,000 orang yang menerima Vaksin Pfizer, dengan insidensi terbanyak terjadi pada hari ke 3 – 5 setelah pemberian vaksin dosis kedua. Sebagian besar penerima vaksin mengalami gejala khas myokarditis seperti nyeri dada, sesak, dada berdebar, rasa lelah berlebih, flu-like-symptoms, serta kaki bengkak, di mana gejala yang paling umum dirasakan adalah nyeri dada (82% penderita). Studi tersebut juga menyampaikan bahwa 95% penderita hanya menderita myokarditis bergejala ringan, dan 83% penderita diinformasikan tidak memiliki penyakit komorbid sebelumnya.

Sebenarnya, kejadian myokarditis pada penerima Vaksin Covid mRNA ini bukanlah hal yang tidak terprediksi. Pada 25 Juni 2021, US Food and Drug Administration (FDA) telah memberikan peringatan pada fact sheet Vaksin Covid mRNA (Pfizer dan Moderna) terkait adanya potensi efek samping jarang berupa myokarditis. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) juga turut memberikan pernyataan senada, bahwa myokarditis pada dasarnya merupakan efek samping pemberian Vaksin Covid mRNA yang sangat jarang, di mana kejadian myokarditis dapat terjadi pada 12.6 dari 1 juta penerima vaksin. Sebagai informasi tambahan, kejadian myokarditis pada penerima Vaksin Moderna disebut 2.5 kali lebih tinggi jika dibandingkan kejadian pada penerima Vaksin Pfizer. Hal tersebut mungkin terkait dengan fakta bahwa Vaksin Moderna mengandung mRNA lebih tinggi (100 mikrogram) jika dibandingkan dengan mRNA yang dikandung oleh Vaksin Pfizer (30 mikrogram).

Sampai saat ini, penyebab pasti dari myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA masih belum dapat ditentukan, namun, telah terdapat beberapa teori dan hipotesis yang sedang ditelusuri lebih lanjut. Hipotesis yang pertama adalah myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA diperkirakan terjadi akibat adanya reaksi imun tubuh dari penerima vaksin terhadap vaksin yang diberikan. Vaksin Covid mRNA mengandung nucleoside-modified mRNA yang mengkode glikoprotein dari spike virus. Vaksin mRNA dalam sel inang akan membentuk protein spike yang nantinya akan merangsang munculnya respon imun adaptif untuk mengidentifikasi dan mengancurkan virus.

 

myo3

Sumber foto: www.freepik.com

Berdasarkan satu laporan kasus myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA, terdapat peningkatan kadar antagonis reseptor IL-1, IL-5, dan IL-6 pada tubuh penderita tersebut. Penderita tersebut juga mengalami peningkatan antibodi yang lebih tinggi terhadap self-antigen, termasuk di antaranya aquaporin 4, endothelial cell antigen, dan protein proteolipid. Penderita tersebut terbukti memiliki auto-antibodi reaktif jantung yang lebih tinggi. Oleh karena itu, muncullah hipotesis bahwa salah satu potensi penyebab terjadinya myokarditis adalah akibat mekanisme pembentukan antibodi setelah pemberian vaksinasi.

Hipotesis yang kedua adalah adanya mekanisme mimikri molekuler. Di mana, antibodi terhadap glycoprotein spike SARS-CoV-2 telah terbukti secara eksperimental memiliki reaksi silang dengan sequence protein peptide manusia yang serupa secara selular, termasuk di antaranya myosin. Meskipun pemberian vaksin tidak memprovokasi efek samping yang dimediasi oleh immune de novo, namun, masih ada kemungkinan pemberian vaksin dapat memicu jalur disregulasi yang sudah ada sebelumnya pada individu tertentu. Sehingga, kondisi ini akan menghasilkan ekspansi sel B polyclonal, membentuk kompleks imun, dan menyebabkan terjadinya peradangan.

Berdasarkan data laporan kasus, myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA lebih banyak terjadi pada laki-laki berusia muda (kurang dari 40 tahun). Oleh karena itu, lahirlah hipotesis berikutnya bahwa myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA terjadi karena keterlibatan hormon testosteron. Hormon testosteron diketahui memang memiliki mekanisme penghambatan sel anti-inflamasi. Sebaliknya, hormon estrogen diketahui memiliki efek penghambatan sel T pro-inflamasi. Inilah yang mungkin menyebabkan kejadian myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA lebih banyak terjadi pada laki-laki ketimbang perempuan.

Potensi munculnya efek samping merupakan hal yang tidak dapat kita hindari dari pemberian vaksinasi maupun pemberian obat-obatan. Hal yang terpenting adalah melakukan pencegahan pada faktor yang dapat kita cegah, serta melakukan deteksi dan penanganan dengan cepat dan tepat. Sebagai salah satu upaya pencegahan, kandidat penerima Vaksin Covid mRNA yang memiliki kondisi komorbid tertentu hendaknya melakukan konsultasi dokter terlebih dahulu sebelum menerima Vaksin Covid mRNA. Selain itu, apabila setelah pemberian dosis pertama dirinya telah mengalami efek samping yang mengarah ke myokarditis, maka hendaknya pemberian dosis kedua dapat ditunda hingga kondisinya dinyatakan aman oleh dokter.

Penerima Vaksin Covid mRNA juga hendaknya membatasi olahraga atau aktivitas fisik yang terlalu berat setidaknya selama 7 hari setelah menerima vaksin. Aktivitas fisik yang diperbolehkan untuk dilakukan dalam kurun waktu tersebut di antaranya adalah stretching ringan, jalan santai, atau aktivitas/pekerjaan rumah tangga ringan (i.e. menyapu dan mengepel).

myo4
Sumber foto:
www.freepik.com


Penerima Vaksin Covid mRNA yang mengalami gangguan kesehatan yang mengarah ke gejala myokarditis juga sangat direkomendasikan untuk langsung memeriksakan dirinya ke dokter, RS, atau fasilitas kesehatan lainnya. Myokarditis yang terdeteksi dan tertangani dengan cepat dan tepat tentunya akan memberikan prognosis yang lebih baik kepada penderitanya.
Dalam hal penanganan, evaluasi dan manajemen myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA dilakukan dengan melibatkan dokter spesialis jantung. Penanganan dilakukan dengan memperhatikan profil pasien, presentasi dan perjalanan klinis, stabilitas hemodinamik, serta adanya riwayat penyakit atau kondisi komorbid lainnya.

Berdasarkan hasil pemantauan CDC pada 484 penderita myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA, 86% penderita datang dengan keluhan nyeri dada. Penderita-penderita tersebut umumnya juga melaporkan gejala demam dan myalgia pada hari ke-1 setelah pemberian vaksin. Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan, 61% penderita mengalami perubahan gelombang T, elevasi segmen ST, atau gambaran aritmia pada pemeriksaan EKG; 64% penderita mengalami peningkatan enzim troponin pada hari ke-3 setelah vaksin; dan 17% penderita mengalami gambaran abnormal pada pemeriksaan echocardiogram (i.e. penurunan fungsi ventrikel kiri jantung).

Masih dari hasil pemantauan CDC, 96% dari 323 penderita myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA disebutkan membutuhkan perawatan di RS. Untuk pengobatan medikamentosa, para penderita rawat inap tersebut diberikan obat anti-inflamasi non-steroid (i.e. ibuprofen, aspirin, dan indomethacin), methylprednisolone, dan colchicine. Beberapa pasien juga memerlukan terapi intravenous immunoglobulin. Perawatan para penderita tersebut meliputi pemantauan kondisi jantungnya dengan melakukan pemeriksaan EKG dan kadar troponin serial. Meskipun membutuhkan perawatan di RS, sebagian besar penderita tersebut dilaporkan dapat dipulangkan dalam kondisi yang baik dan tidak mengalami gejala sisa berarti yang dapat menghambat aktivitas hariannya.

Terlepas dari Vaksin Covid mRNA, myokarditis pada dasarnya juga bukan merupakan penyakit yang sering terjadi. Kejadian myokarditis yang bukan disebabkan oleh vaksinasi dilaporkan terjadi pada 10 – 200 dari 100,000 orang per-tahunnya. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut apakah memang ada keterkaitan antara kejadian myokarditis dengan pemberian Vaksin Covid mRNA.

Fakta yang sebenarnya tak kalah penting adalah myokarditis juga merupakan salah satu dari komplikasi infeksi Covid. Bahkan, kejadian myokarditis post-infeksi Covid disebutkan 6 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA. Selain itu, myokarditis juga sebenarnya bukan merupakan ‘efek samping vaksin’ yang baru, karena, pemberian Vaksin Hepatitis B, Vaksin Varicella, serta Vaksin Influenza disebut juga bisa mencetuskan efek samping myokarditis.

Nah, bagaimana kita harus menyikapi potensi efek samping myokarditis post-Vaksinasi Covid mRNA ini?
Kita harus mengingat bahwa pada dasarnya vaksinasi memiliki tujuan untuk mencegah fatalitas serta gejala berat apabila kita terinfeksi suatu penyakit. Pemberian vaksinasi pun harus mempertimbangkan aspek risk and benefit, dengan mempertimbangkan potensi efek sampingnya. Sehingga, apabila potensi efek samping dari pemberian vaksin dinilai lebih ringan jika dibandingkan dengan risiko apabila kita terinfeksi penyakit, kita akan sangat direkomendasikan untuk menerima vaksin tersebut. Sama halnya dengan pemberian Vaksin Covid mRNA ini, apabila memang pemberian vaksin ini bisa melindungi kita dari kematian, gejala berat, atau komplikasi akibat infeksi Covid, mungkin kita harus mempertimbangkan untuk menerima vaksin ini demi kemashlahatan diri dan lingkungan.


 
Stay safe and healthy, semuanya!

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id