07 July 2022 3397
Reasuransi Jiwa

Telaah Ganja Medis sebagai Alternatif Pengobatan

Isu legalisasi ganja dalam kapasitasnya sebagai pengobatan medis kembali menyeruak saat Ibu Santi Warastuti membentangkan papan bertuliskan “TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS” dalam kegiatan car free day di Bundaran HI, Jakarta Pusat, pada hari Minggu 26 Juni 2022 lalu. Foto Santi dan anaknya yang bernama Pika tersebut menjadi viral, dan tentunya kembali mengingatkan kita akan keputusan PBB untuk melegalkan penggunaan ganja dalam kapasitas pengobatan medis pada akhir tahun 2021 lalu.
 
Pada tanggal 2 Desember 2020 lalu, UN Commission on Narcotic Drugs (CND) melalui pernyataan pers “CND votes on recommendations for cannabis and cannabis-related substances” telah memberikan restu sekaligus merekomendasikan kepada World Health Organization (WHO) untuk dapat meratifikasi ganja dalam kapasitas medis. Dalam hal ini, PBB telah memutuskan untuk mereklasifikasikan ganja (cannabis) dari daftar narkotika golongan IV menjadi golongan I. Reklasifikasi ganja ini bukan berarti ganja dapat dimanfaatkan secara bebas oleh masyarakat dengan tujuan rekreasi, melainkan, pemanfaatan ganja dapat dilakukan dalam kapasitas penelitian khasiatnya sebagai obat medis, yang tentunya akan dilakukan dalam monitoring yang sangat ketat dari Pemerintah serta otoritas berwenang lainnya.
 
Keputusan PBB terkait ganja tersebut didasari oleh hasil voting yang dilakukan oleh Commission on Narcotic Drug (CND) yang terdiri dari 53 negara di seluruh dunia. Berdasarkan voting yang dilakukan, 27 negara menyatakan setuju –termasuk di antaranya negara-negara di US dan Eropa-, sementara 25 negara lainnya menyatakan tidak setuju –termasuk di antaranya China, Pakistan, dan Rusia-.
 
Meskipun demikian, PBB telah memberikan pernyataan dan anjuran bahwa keputusan ini harus disikapi dengan bijak. Keputusan ini diharapkan akan mendorong penelitian ilmiah lebih mendalam terkait pemanfaatan ganja dalam dunia medis dan kepentingan kesehatan, serta, tidak serta merta langsung membuat konsumsi ganja menjadi legal karena hal tersebut bergantung pada yurisdiksi dari masing-masing negara.
 
Sebelum menilik keputusan PBB, mari kita terlebih dahulu mempelajari lebih lanjut terkait ganja sebagai alternatif pengobatan medis.
 
Ganja medis atau marijuana medis merupakan istilah untuk turunan dari tanaman ganja atau Cannabis sativa. Ganja medis merupakan produk derivatif dari tanaman ganja. Ganja medis digunakan khusus untuk kepentingan pengobatan dan tidak untuk penggunaan rekreasi. Ganja medis ini berupa ekstrak dari tanaman ganja atau berupa isolaso dari senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja. Tanaman ini secara medis dimanfaatkan untuk meredakan gejala atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu. Ganja mengandung lebih dari 600 senyawa kimia dan lebih dari 100 senyawa cannabinoids, dengan dua senyawa utamanya yaitu Tetrahydrocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD).
THC merupakan senyawa yang dikenal karena efek psikotropikanya, yaitu mampu memicu halusinasi dan sensasi ‘fly’. Senyawa THC ini juga menyebabkan ketergantungan pada orang yang mengkonsumsinya. Meskipun demikian, memang dalam beberapa penelitian terbatas, THC dikatakan mampu untuk meredakan nyeri, kejang, dan pusing.
 
Sementara itu, senyawa CBD tidak menyebabkan ketergantungan ataupun sensasi ‘fly’, dan sebaliknya, CBD akan memicu perasaan tenang pada penggunanya. CBD inilah yang lebih banyak dimanfaatkan sebagai obat karena memiliki sifat anti-inflamasi, anti-epilepsi, anti-psikotik, dan anti-anxiety. Karena CBD lebih bermanfaat sebagai obat, kini terdapat varietas tanaman ganja yang direkayasa supaya kandungan CBD-nya lebih tinggi dibanding kandungan THC-nya. Pun demikian, dalam produk ganja medis dan minyak CBD, produk-produk tersebut umumnya mengandung konsentrasi CBD yang tinggi dan THC yang sangat rendah sehingga tidak menyebabkan ‘fly’.
 
Bukan hanya baru-baru ini saja, ternyata, ganja telah digunakan selama ribuan tahun untuk mengobati berbagai jenis penyakit atau kelainan medis. Beberapa praktisi medis seperti Ibnu Sina dan Al-Razi juga pernah menyampaikan dan menuliskan penggunaan ganja dalam lingkup medis. Ibnu Sina (980 – 1047) dalam bukunya yang bertajuk Qanun fi al-Tibb (Ensiklopedia Kedokteran) menuliskan tentang penggunaan ganja untuk pengobatan radang mata, luka infeksi, asam urat, dan radang kandung kemih. Sementara itu, Al-Razi (865–925) juga telah memanfaatkan ganja untuk mengobati masalah telinga, gangguan pencernaan, dan epilepsi.
 
Penggunaan ganja dalam kapasitas pengobatan medis memang merupakan fakta yang telah terjadi di berbagai negara lainnya. Di USA, Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui obat ganja nabati yang bernama Epidiolex, yang mengandung senyawa CBD murni dari tanaman ganja. Obat ini diperuntukkan sebagai pengobatan kejang dan kelainan genetik langka. FDA bahkan juga telah menyetujui penggunaan obat yang mengandung senyawa sintetis THC sebagai salah satu metode pengobatan mual pada penderita kanker yang menjalani kemoterapi, dan peningkat nafsu makan pada pasien HIV-AIDS.
 
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 8 dari UU Nomor 39 tahun 2009 tentang Narkotika,sebagaimana tercantum di dalam ayat 1 Narkotika Golongan 1 dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan namun dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
 
Ganja masuk ke dalam Narkotika Golongan I yang berarti penggunaan ganja juga dilarang, bahkan dalam kapasitasnya sebagai pengobatan medis. Meskipun demikian, ayat kedua dari pasal tersebut juga menyebutkan bahwa Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah terbatas setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahkan pernah mengeluarkan izin penelitian ganja pada tahun 2015, melalui surat yang ditandatangani oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis. Sayangnya, penelitian tersebut sampai saat ini masih belum terlaksana lantaran biaya penelitian yang sangat besar dan masih banyaknya penelitian lainnya yang lebih menjadi prioritas.
 
Seruan dari Ibu Santi, tentu bukan seruan pertama dari masyarakat yang membutuhkan ganja sebagai pengobatan medis. Masih lekat dalam ingatan publik terkait kisah sepasang suami istri yang berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sepasang suami istri tersebut bernama Fidelis Arie Sudewarto dan Yeni Irawati. Pada awal tahun 2017, kisah keduanya menjadi viral lantaran perjuangan Fidelis untuk menyembuhkan Yeni yang menderita penyakit langka bernama Syringomelia.
 
Penyakit yang dideritanya membuat pertumbuhan kista pada sumsum tulang belakang Yeni, yang pada akhirnya menimbulkan perlukaan yang tampak dari luar. Perlukaan pada tulang belakang juga membuat Yeni sering mengalami kram dan sensasi kebas pada kakinya, serta tak jarang juga menyebabkan sakit yang amat sangat dan tak tertahankan. Yeni juga tidak dapat berkemih, sehingga area sekitar alat kelamin dan perutnya menjadi membengkak. Semua kondisi ini membuat nafsu makan Yeni menjadi sangat menurun, tidur menjadi terganggu, dan kualitas hidup Yeni menjadi sangat rendah.
 
Berbagai upaya pengobatan telah dilakukan Fidelis untuk dapat menyembuhkan istrinya. Fidelis pun membaca dari beberapa literatur luar negeri, bahwa ekstrak ganja dapat membantu meredakan kondisi dan penderitaan istrinya. Oleh karena itu, Fidelis pun menanam ganja di pekarangan rumahnya. Keluarga menyatakan bahwa kondisi Yeni sempat membaik saat mendapatkan pengobatan ganja. Nafsu makan, fungsi pencernaan, buang air kecil, buang air besar, perlukaan pada tubuh, serta kualitas tidur Yeni dikatakan membaik dan Yeni pun mulai pulih.
 
Sayangnya, pada tanggal 19 Februari 2017, petugas dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Fidelis di rumahnya. Fidelis kemudian ditahan, dan dijatuhi hukuman bui selama 8 bulan serta denda sebesar IDR 1 M. Tanaman ganja di perkarangan rumahnya pun dimusnahkan. Setelah tidak menerima pengobatan ganja, kondisi Yeni berangsur-angsur kembali memburuk, hingga pada akhirnya Yeni meninggal dunia pada tanggal 25 Maret 2017, pada saat Fidelis masih menjalani hukumannya.
 
Kembali kepada kisah Ibu Santi Warastuti…
 
Ibu Santi menginginkan agar anaknya, Pika, bisa mendapatkan minyak CBD untuk dapat membantu pengobatan Cerebral Palsy yang telah diderita Pika selama beberapa tahun ke belakang. Santi menyeru agar Mahkamah Konstitusi dapat segera memberikan putusan dalam upaya uji materi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang telah dilayangkan oleh dirinya beserta sejumlah orang tua lainnya yang anaknya menderita Cerebral Palsy.
 
Uji materi yang diajukan pada bulan November 2020 tersebut bertujuan agar ganja dan Narkotika Golongan I lainnya dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan medis dan penelitian kesehatan. Santi sangat berharap agar legalitas ganja sebagai pengobatan medis nantinya dapat membantu Pika untuk dapat memiliki hidup yang lebih berkualitas. Uji materi UU Narkotika ini bermaksud membuka ruang reformasi kebijakan narkotika, bahwa narkotika harus dilekatkan dengan prinsip kesehatan dan bukan hanya penegakkan hukum.
 
Pengetahuan mengenai efek ganja medis pada anak-anak dan remaja dengan kondisi kronis memang masih sangat terbatas. Meskipun demikian, telah terdapat bukti ilmiah yang mendukung efektivitas ganja medis pada anak-anak dengan gangguan kejang yang langka. Sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2021 menganalisa data dari 90 pengasuh anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun dan menggunakan ganja medis di Swiss. Sekitar 66% partisipan studi melaporkan perbaikan kesehatan pada anak yang diasuhnya. Meskipun demikian, 43% partisipan juga melaporkan bahwa mereka menghentikan pengobatan dengan ganja medis karena kurang tampaknya perbaikan yang berarti, atau bahkan munculnya efek samping setelah penggunaan ganja medis. Hasil studi tersebut tentunya masih harus divalidasi kembali dengan studi lanjutan berbasis randomized controlled trial (RCT) untuk menilai potensi keamanan, kemanjuran, dan efek samping jangka panjang pada penerima ganja medis.
 
Bapak Tubagus Erif Faturahman selaku Kabag Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan bahwa mereka akan mempelajari legalitas ganja dalam kapasitas medis. Pemerintah akan melihat pro dan kontra dari penggunaan ganja, dengan turut mempertimbangkan pendapat dan pandangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, seperti kesehatan, sosial, dan agama. Tidak dipungkiri bahwa terdapat kemungkinan Pemerintah akan melegalkan ganja medis apabila memang pro-nya dalam kapasitas medis lebih banyak, namun tentu saja, hal tersebut akan diatur dalam mekanisme yang sangat ketat untuk menghindari penyalahgunaan.
 
Bapak Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden Republik Indonesia sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar MUI dapat membuat fatwa terkait wacana penggunaan ganja untuk kebutuhan medis. Ma’ruf menjelaskan bahwa fatwa itu nantinya dapat dijadikan sebagai pedoman bagi DPR dalam menyikapi wacana ganja untuk kebutuhan medis. Ma’ruf menjelaskan bahwa MUI memang sebelumnya telah mengeluarkan keputusan bahwa penyalahgunaan ganja dilarang bagi umat Islam. Meskipun demikian, Ma’ruf berharap MUI dapat mengeluarkan fatwa baru terkait dengan keputusan PBB dan wacana ganja dalam kapasitas medisnya sebagai pengobatan.
 
Bapak Sufmi Dasco Ahman selaku Wakil Ketua DPR menyampaikan bahwa pihaknya akan membuat kajian legalisasi ganja untuk kepentingan medis. Dasco menyampaikan bahwa pihaknya juga mengetahui legalitas penggunaan ganja dalam kapasitas medis di beberapa negara lainnya. Meskipun demikian, untuk saat ini memang masih belum ada undang-undang terkait kesehatan atau undang-undang terkait narkotika di Indonesia yang dapat mengakomodir penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan medis di Indonesia.
 
Hingga saat ini, penggunaan ganja medis memang masih memiliki berbagai keterbatasan. Secara medis, masih harus sangat dipertimbangkan apakah penggunaan ganja medis aman diberikan dan memiliki kemanjuran yang lebih baik ketimbang obat lainnya (non-ganja). Masih perlu diteliti terkait potensi interaksi obat dan efek samping penggunaan ganja medis, baik efek samping jangka pendek maupun jangka panjangnya. Ketepatan dosis juga sangat krusial untuk diteliti agar kondisi pasien dapat terjaga dan efek obat yang diinginkan dapat diperoleh. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah perumusan mekanisme pengawasannya agar ganja medis tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan rekreasi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
 
Stay safe and healthy, semuanya!

Penulis

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id