22 November 2024 745
Life Reinsurance

Jaminan Sosial Ketenagakerjaan: Implementasi, Manfaat, dan Tanggung Jawab Perusahaan terhadap Keselamatan Kerja

Kecelakaan adalah peristiwa tak terduga atau tidak direncanakan yang dapat menyebabkan gangguan pada proses produksi/operasi, merusak properti/aset, melukai manusia, atau merusak lingkungan (Waluyo dan Gunawan, 2015).

Hingga saat ini, kecelakaan kerja masih menjadi masalah besar di tempat kerja. Laporan gabungan yang dirilis oleh World Health Organization (WHO) dan International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa secara global, ada 1,88 juta kematian dan 89,72  juta kecacatan yang disebabkan oleh kecelakaan kerja pada tahun 2016.

Asia Tenggara menunjukkan angka yang tinggi, jauh di atas rata-rata global. Data menunjukkan bahwa ada 10.7 kematian akibat kecelakaan kerja per 100.000 penduduk usia kerja (2021).

Picture1

Gambar 1. Tingkat Kematian Akibat Kecelakaan Kerja Berdasarkan Wilayah Tahun 2016
Sumber: WHO (2021)


Kecelakaan kerja adalah semua peristiwa yang tidak diinginkan dan tak terduga ketika seorang pekerja sedang melakukan pekerjaannya, di mana pekerja tersebut dapat mengalami kerugian harta benda, cacat, atau bahkan kematian.

Kecelakaan kerja dapat terjadi karena dua hal. Pertama, karena kondisi berbahaya yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam lingkungan kerja itu sendiri, seperti pemeriksaan mesin yang tidak dilakukan, pencahayaan yang redup, penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak sesuai dengan aturan, atau lantai yang licin. Kedua, karena tindakan berbahaya yang disebabkan oleh perilaku atau tindakan pekerja itu sendiri (Pulserimia, 2022).

Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, ada peningkatan kecelakaan kerja di Indonesia. Hal ini dilihat dari naiknya jumlah klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).

Picture2

Gambar 2. Jumlah Klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) per Tahun
Sumber: BPJS Ketenagakerjaan (2024)


Menurut data dari BPKS Ketenagakerjaan (2024), jumlah klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) pada tahun 2019 tercatat sebanyak 182.835 kasus. Jumlah klaim ini terus meningkat setiap tahunnya, dengan 221.740 klaim pada tahun 2020 dan 234.370 klaim pada tahun 2021. Pada tahun 2022, klaim kembali naik menjadi 297.725 kasus. Sepanjang periode Januari hingga November 2023, jumlah klaim JKK akibat kecelakaan kerja telah mencapai 360.635 kasus.

Picture3

Gambar 3. Persentase Kecelakaan Kerja Berdasarkan Sektor Usaha
Sumber: Alfiansah et al., (2020)


Sektor yang menjadi penyumbang terbesar atas terjadinya kecelakaan kerja adalah sektor konstruksi. Menurut Alfiansah et al., (2020), sektor konstruksi menyumbang 32% kecelakaan kerja. Diikuti dengan sektor transportasi (9%), kehutanan (4%), pertambangan (2%), dan 53% dari sektor lainnya.

Menurut Madya dan Nurwahyuni (2019), pada sektor konstruksi, penyebab utama kecelakaan kerja adalah kurangnya edukasi baik pada pihak perusahaan maupun tenaga kerja. Sehingga, perusahaan maupun tenaga kerja memiliki kesadaran rendah akan pentingnya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di industri dan masyarakat.

Lebih lanjut pihak BPJS (2017) menyatakan perusahaan cenderung melihat penerapan K3 biaya atau beban kerja, bukan sebagai investasi untuk menjaga tenaga kerjanya.  Padahal, tenaga kerja adalah komponen penting untuk mewujudkan kesuksesan pembangunan. Selama masa kerja, tenaga kerja harus dijaga dan dihormati hak-haknya, baik hak yang melekat sejak lahir, yaitu hak asasi manusia, maupun hak-hak yang dimiliki selama bekerja.

Oleh karena itu, setiap perusahaan bertanggung jawab atas setiap kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaan tersebut. Keselamatan kerja semua karyawan adalah tanggung jawab perusahaan untuk mengatur dan menjaga ruang kerja serta peralatan yang digunakan oleh karyawan dalam bekerja.

Tanggung jawab perusahaan untuk memastikan produksi yang aman adalah mencegah setiap karyawan dari kecelakaan serta kerugian terhadap tubuh, kehormatan, dan harta benda mereka. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Tentang Ketenagakerjaan), Pasal 86 ayat 1 (a), setiap karyawan berhak mendapatkan perlindungan keselamatan kerja.

Setiap pekerja memiliki hak atas perlindungan keselamatan dalam menjalankan pekerjaannya, yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan bahwa setiap orang yang berhak atas jaminan sosial harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabat mereka menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur (Pemerintah Republik Indonesia, 2004).

Pemerintah Indonesia telah berupaya memberikan jaminan, terutama dalam pengembangan ketenagakerjaan melalui program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Namun, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pelaksanaan jaminan sosial bagi pekerja dilakukan oleh BPJS.

Dengan dikeluarkannya program layanan kesehatan dalam BPJS Ketenagakerjaan, hal ini dianggap sebagai langkah baru agar program asuransi kesehatan dapat dikelola secara terpisah dengan tujuan agar partisipasi dalam program asuransi kesehatan dapat mencakup seluruh masyarakat Indonesia.

Khusus untuk program asuransi kesehatan, pekerja dapat berpartisipasi dengan mendaftar ulang pada program BPJS Kesehatan. Tujuan pendaftaran ini adalah agar pekerja dapat mengakses layanan kesehatan dan diwajibkan membayar iuran bulanan untuk program BPJS Kesehatan (Pulserimia, 2022).

BPJS Ketenagakerjaan merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada Presiden. BPJS Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja Indonesia, baik sektor formal maupun informal, serta orang asing yang bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan (Zulfita & Syarvina, 2022). Dijelaskan bahwa partisipasi dalam BPJS ini bersifat wajib, namun pada kenyataannya tidak seluruh pekerja terdaftar (Hapsari, Natassia, dan Riniasih, 2019).

BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi penuh pada Juli 2015 dengan empat program, yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Pensiun (JP).

Masing-masing program memiliki manfaat, antara lain JHT berupa uang tunai dengan nilai akumulasi iuran dan hasil pengembangannya. Manfaat JK berupa uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika pekerja meninggal bukan karena kecelakaan kerja.

Selanjutnya, manfaat JKK memberikan perlindungan terhadap risiko kecelakaan yang terjadi di lingkungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi saat perjalanan dari rumah ke tempat kerja.

Terakhir, manfaat pensiun diberikan untuk mempertahankan standar hidup yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah pekerja memasuki usia pensiun atau mengalami disabilitas (BPJS Ketenagakerjaan, 2015).

Laporan kecelakaan kerja harus diselesaikan dalam waktu 2 x 24 jam setelah kecelakaan sebagai tahap pertama laporan. Untuk tahap kedua laporan, perusahaan harus melaporkan kecelakaan kerja atau penyakit yang dialami sejak pekerja dinyatakan sembuh tetapi menyebabkan disabilitas atau kematian kepada BPJS Ketenagakerjaan dan kantornya, dalam waktu yang tidak lebih dari 2 x 24 jam. Laporan tahap kedua ini harus didasarkan pada pernyataan dokter yang menjelaskan:
  1. Masa tidak mampu bekerja sementara (STMB) pekerja yang bersangkutan telah berakhir.
  2. Pekerja menderita disabilitas total permanen, beberapa disabilitas anatomis, atau disabilitas fungsional.
  3. Pekerja yang bersangkutan telah meninggal dunia (Pulserimia, 2022).

Author

Donafeby Widyani S.Psi., MBA., M.Mktg

Email: donafeby@indonesiare.co.id