26 January 2022 1789
Knowledge

DevOps Roket Insurtech

Pada awal 2000-an sektor asuransi adalah salah satu bidang yang tidak mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan sektor keuangan lainnya. Namun, memasuki dekade pertama di tahun 2000, seiring dengan disrupsi industri ke arah digitalisasi, sektor asuransi mulai melirik penggunaan teknologi digital untuk pengembangan bisnis sehingga lahirnya istilah insurtech. Perusahaan asuransi terus menyediakan core service dengan berbagai fitur tambahan seperti layanan web dan mobile application yang memungkinkan pelanggan mengelola produk dan pembayaran premium maupun pencairan klaim - yang harus tersedia sepanjang hari dalam kondisi apapun. Insurtech tidak hanya menghadirkan inovasi produk pada market, namun juga merubah sudut pandang baru dalam mengolah data asuransi menjadi aset yang bisa dianggap sebagai “the new oil”. Kehadiran insurtech di market seolah memberikan pakem bahwa industri asuransi layak menjadi pemimpin terdepan dalam penerapan teknologi termodern. 
 
Dalam pengembangannya, inovasi-inovasi baru yang lahir sebagai label produk insurtech tentu memerlukan kondisi infrastruktur IT yang memadai. Investasi terhadap skalabilitas infrastruktur IT telah menjadi main concern khususnya oleh perusahaan yang telah menerapkan Big Data dan teknologi Cloud sebagai solusi inovasi. Kondisi ini menjadi semakin signifikan setelah terjadinya pandemi Covid –19 pada akhir 2019 dan masih berlangsung hingga waktu yang belum dapat diprediksi. Hambatan yang menghalangi kecepatan dalam berinovasi dalam lingkup infrastruktur dan development IT harus dibuat seminimal mungkin dan seefisien mungkin dalam time frame waktu yang singkat meskipun dalam keadaan pandemi. Prinsip dan metode yang digunakan dalam inovasi menjadi kritikal dan DevOps hadir sebagai salah satu solusi yang dapat menjawab tantangan tersebut.
 
Prinsip DevOps memungkinkan bagian operasional IT melakukan koperasi kompleks dengan satu perintah terminal dan bagian development IT untuk menyediakan testing environment yang sepenuhnya dikonfigurasi tanpa keterlibatan eksternal hanya dengan beberapa klik mouse. Hal yang sama juga berlaku untuk semua tahap siklus pengembangan aplikasi. Setiap tindakan yang bersifat rutinitas dapat dibangun dalam automated pipeline dimana output dari sebuah skrip secara otomatis menjadi input bagi proses skrip selanjutnya. Otomatisasi ini tentunya akan menghemat banyak waktu, cost dan tenaga sehingga para IT engineer dapat lebih fokus pada upaya untuk memberikan nilai kepada end-user dibanding melakukan tugas yang bersifat repetitif. DevOps bagaikan kendaraan super cepat yang dapat menghantarkan inovasi-inovasi dalam insurtech ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya. Tidak berlebihan jika tulisan ini diberi judul DevOps Roket Insurtech.
 
 
DevOps in Nutshell
 
DevOps merupakan singkatan dari dua kata yaitu Development dan Operation, dimana istilah DevOps menunjukan penggabungan kedua makna dari kedua kata tersebut. DevOps adalah prinsip dan pola pikir dari developer IT untuk mengkoordinasikan antar tim development dan operation dengan efektif dan efisien dengan cara yang singkat. Tim operation atau tim development hanya butuh melakukan konfigurasi beberapa komponen melalui sebuah prosedur.
 
Sejarah DevOps dimulai sejak tahun 2007 oleh seorang konsultan IT development yang bernama Patrick Debois merasa ada gap antara cara kerja tim development dan tim operation. Patrick kemudian dipertemukan dengan pakar IT lainnya, yaitu Andrew Shafer, untuk memulai Agile System Administration. Di tahun 2010, pembahasan mengenai DevOps mulai gencar di seluruh dunia dengan tagar #DevOpsDays mulai bermunculan di berbagai sosial media. Di tahun 2014, perusahaan besar seperti Target, Nordstrom, dan LEGO menjadi pioner dalam penerapan DevOps di dalam korporasi.
 
implementasi DevOps memiliki tujuan untuk meningkatkan kolaborasi antara tim development dan tim operation dari mulai perencanaan hingga tahapan delivery kepada end user. Dan semua hal tersebut harus dilakukan secara otomatis agar meningkatkan development frequency, menciptakan time frame yang lebih luang untuk pemasaran, menurunkan tingkat kegagalan pada rilisan terbaru, mempersingkat waktu bug fixing, maintenance dan repairment. Berdasarkan State of DevOps Report[1] tahun 2021 penerapan DevOps pada organisasi menghasilkan peningkatan kualitas terhadap deliverable application sebanyak 78% dan meningkatkan otomatisasi tugas yang bersifat repetitif sebanyak 60%.
 
Dalam penerapannya, DevOps memiliki beberapa key activity yang bersifat continuous dan  sudah mewakili task yang dilakukan oleh tim development dan operation dalam proses pengembangan aplikasi dari perencanaan hingga ke rilis dan maintenance kepada end user, yaitu
  1. Continuous Integration (CI), yaitu layanan yang diberikan DevOps untuk melakukan build dan automation testing. Kegiatan ini dikerjakan dengan bantuan source code manager untuk menemukan error code dan fixed code
  2. Continuous Delivery (CD) yang dilakukan setelah CI berjalan untuk menambah update pada aplikasi yang sedang berjalan
  3. Continuous Deployment yang dilakukan setelah proses CI/CD dinyatakan dalam kondisi baik dimana tim development dapat melihat perubahan yang terjadi pada environment test/environment development/environment production tanpa melakukan cut off pada versi produk yang sudah beredar
  4. Configuration Management yang berkaitan dengan system engineering yang bertujuan untuk maintain konfigurasi dan  otomatisasi terhadap standar konfigurasi produk
  5. Infrastructure as a Code (IaaC) mendefinisikan infrastruktur dari produk ke dalam kode yang dapat diprogram, distandarisasi, dan duplicate-able sehingga tim development atau tim operation dapat menambah mesin melalui satu baris kode
  6. Monitoring yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan yang ada pada kode cukup berdampak pada produk dan end user
  7. Centralized logging agar dapat mengetahui status produk yang sedang berjalan
 
DevOps dan Tantangannya
 
DevOps layak menjadi trend baru dalam IT principals terutama untuk perusahaan yang menjadikan insurtech sebagai produk unggulan. Praktik DevOps dapat diterapkan dalam level enterprise dengan berbagai pendekatan yang mungkin dilakukan seperti membuat tim DevOps internal from scratch atau menggunakan jasa pakar DevOps eksternal. Masing-masing dari pilihan tersebut tentu memiliki tantangannya masing-masing. Untuk membuat tim DevOps internal from scratch memiliki risiko terhadap kelangkaan DevOps engineer yang mumpuni dan kurangnya visi strategis dari sisi manajemen perusahaan. Bisa dikatakan sangat sulit untuk merancang komposisi infrastruktur yang tepat untuk membuat strategi DevOps jika tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Melakukan pelatihan terhadap sumber daya engineer yang ada adalah tantangan berikutnya dimana engineer memerlukan waktu eksklusif untuk mempelajari (bahkan mungkin learning by doing) dimana risiko terjadinya kesalahan sangat mungkin terjadi. Kurva pembelajaran DevOps untuk tools “mewah” tertentu cukup curam. Untuk dapat menguasainya pun dibutuhkan tingkat pengalaman dan pemahaman tertentu terutama terhadap arsitektur jaringan. Sementara pada opsi lainnya juga memiliki risiko yang sama pentingnya, terutama dalam masalah cost issue dan juga data security terhadap keterlibatan pihak eksternal dalam membantu pengelolaan infrastruktur.
 
Adopsi DevOps merupakan bagian dari proses transformasi digital yang lebih besar dengan tujuan akhir untuk meningkatkan semua aspek operasi perusahaan dan proses bisnis, dimana hal ini tidak dapat terjadi dalam semalam dan tidak dapat “dibeli” melalui akuisisi platform DevOps. Dalam hal ini perusahaan harus mengubah struktur organisasi, standar operasional prosedur, bahkan mengubah budaya dalam deliver teknologi kepada end-user dan operasional TI. Proses panjang ini hanya bisa berhasil apabila terdapat dukungan penuh dari seluruh stakeholder, mulai dari staff hingga ke level manajerial.
 
 

Author

Anisa Yulianti Roesminto,

Email: anisa@indonesiare.co.id