09 October 2025 7
Knowledge

Membedah Tiga Pilar Manajemen Risiko Operasional: RCSA, LED, dan KRI

Di dunia bisnis yang terus berubah dan penuh tantangan, kemampuan perusahaan untuk mengelola risiko secara proaktif menjadi kunci utama agar tetap bertahan dan berkembang. Manajemen risiko operasional yang efektif bukan hanya soal menggunakan satu alat saja, tapi menggabungkan beberapa instrumen yang saling melengkapi.

Tiga pilar penting yang menjadi dasar dalam mengenali, menganalisis, dan mengelola risiko operasional adalah Risk and Control Self-Assessment (RCSA), Loss Event Database (LED), dan Key Risk Indicator (KRI).

1. RCSA (Risk and Control Self-Assessment)
RCSA adalah pendekatan yang dilakukan secara proaktif dan kolaboratif, di mana setiap unit atau divisi dalam perusahaan secara mandiri mengenali risiko yang mungkin ada dalam proses mereka serta menilai efektivitas kontrol yang sudah diterapkan.

Tujuan utamanya jelas: mencegah kerugian sebelum terjadi. Dengan mengenali potensi masalah lebih awal, perusahaan bisa mengambil langkah mitigasi yang tepat dan tepat waktu. Apa yang dilakukan dalam RCSA?
  • Mengidentifikasi risiko dan kontrol yang sudah ada.
  • Mengukur seberapa besar kemungkinan risiko tersebut terjadi dan dampaknya.
  • Menilai apakah kontrol yang ada sudah cukup efektif atau perlu diperbaiki.
Dari proses ini, dihasilkan peta risiko yang menggambarkan keadaan risiko perusahaan secara menyeluruh, serta rencana tindakan konkret untuk memperkuat pengendalian yang masih lemah.

2. LED (Loss Event Database): Belajar dari Pengalaman
Jika RCSA fokus ke masa depan, maka LED justru melihat ke belakang. LED adalah catatan lengkap tentang semua kejadian kerugian operasional yang pernah dialami perusahaan. Fokusnya adalah belajar dari pengalaman agar kejadian buruk tidak terulang. Berikut tahapannya:
  • Mencatat setiap insiden kerugian secara rinci, termasuk penyebabnya.
  • Menggali akar masalahnya lewat analisis mendalam.
  • Menggunakan pengalaman tersebut untuk memperbaiki proses, sistem, atau meningkatkan kompetensi staf.
Data yang terkumpul ini sangat berharga karena membantu memperbaiki pengendalian risiko dan menjadi bahan evaluasi penting dalam RCSA berikutnya.
 
3. KRI (Key Risk Indicator)
KRI adalah indikator yang berfungsi sebagai alat pemantau risiko secara terus-menerus. KRI mempunyai dua peran penting: mendeteksi perubahan yang mengindikasikan risiko meningkat dan memberi peringatan dini supaya manajemen bisa segera bertindak. Langkah dalam menggunakan KRI meliputi:
  • Menentukan indikator yang paling relevan dengan risiko yang sudah diidentifikasi.
  • Menetapkan batas-batas aman untuk setiap indikator.
  • Membuat sistem peringatan ketika indikator mencapai batas tersebut.
Hasilnya adalah sebuah dashboard interaktif yang menampilkan kondisi risiko secara real-time dan memicu tindakan cepat bila diperlukan.

Tiga Pilar, Satu Sinergi Kuat
  • RCSA membantu mengidentifikasi risiko dan kontrol yang perlu dipantau lebih dekat melalui KRI.
  • LED memberikan data nyata dari kejadian kerugian yang kemudian memperkaya dan memperbarui analisis RCSA.
  • KRI menunjukkan adanya potensi bahaya, tindakan mitigasi yang sudah dirancang lewat RCSA bisa segera diterapkan.
Dengan menggabungkan RCSA, LED, dan KRI, sebuah perusahaan bukan hanya bisa merespons masalah dengan cepat, tapi juga lebih siap dan tangguh menghadapi berbagai risiko operasional yang mungkin datang di masa depan.

Contoh Studi Kasus Penerapan RCSA, LED, dan KRI

1. RCSA: Mengelola Risiko Teknologi Informasi pada Sistem Underwriting Unit Proses: Divisi Teknologi Informasi & Underwriting.
Aktivitas Dinilai: Pengelolaan dan keamanan sistem underwriting otomatis yang digunakan untuk evaluasi risiko dan penetapan harga.
Risiko yang Diidentifikasi:
  • Risiko Gangguan Sistem: Downtime sistem underwriting yang menyebabkan terlambatnya pengolahan proposal bisnis.
  • Risiko Keamanan Data: Potensi kebocoran data klien dan perusahaan akibat celah keamanan.
  • Risiko Kesalahan Algoritma: Kesalahan dalam algoritma penilaian risiko yang bisa mengarah pada underpricing atau overpricing.
Kontrol yang dapat dilakukan:
  • Backup data rutin dan sistem pemulihan bencana (disaster recovery).
  • Firewall dan proteksi keamanan siber yang terpasang serta rutin diperbarui.
  • Proses uji coba (testing) sistem sebelum setiap update atau perubahan algoritma.
Penilaian & Rencana Tindakan:
  • Risiko gangguan sistem dinilai medium karena masih pernah terjadi downtime selama proses maintenance.
  • Rencana Mitigasi: Menjadwalkan maintenance rutin di luar jam operasional, memperkuat monitoring sistem real-time, dan melakukan audit keamanan siber berkala.
2. LED: Insiden Gangguan Sistem yang Memengaruhi Proses Underwriting
LED ID: 2026-075 Tanggal Kejadian: 10 Mei 2026 Deskripsi: Sistem underwriting otomatis mengalami downtime selama 8 jam akibat gangguan server yang tidak terduga, menyebabkan penundaan processing sebanyak 30 proposal bisnis penting.

Penyebab:
  • Faktor Teknologi: Server utama mengalami kegagalan hardware tanpa backup failover yang langsung efektif.
Tindakan Korektif:
  • Meng-upgrade server dengan sistem failover otomatis.
  • Menyusun rencana kontinjensi untuk penanganan downtime dalam waktu cepat.
  • Pelatihan tim TI dalam pengelolaan insiden teknologi.
3. KRI: Monitoring Risiko Sistem dan Keamanan Data
Indikator yang Dipantau:
  • KRI 1: Waktu Downtime Sistem Underwriting
    • Definisi: Total jam downtime sistem dalam satu bulan.
    • Ambang Batas: Hijau <2 jam, Kuning 2–4 jam, Merah >4 jam.
  • KRI 2: Jumlah Insiden Keamanan Data
    • Definisi: Banyaknya insiden keamanan data (misal: upaya serangan siber atau kebocoran data) per kuartal.
    • Ambang Batas: Hijau 0 insiden, Kuning 1 insiden, Merah >1 insiden.
Kesimpulan dari Studi kasus.
  • RCSA mengidentifikasi risiko teknologi informasi yang penting untuk proses underwriting.
  • KRI dipasang untuk memonitor downtime dan insiden keamanan sebagai indikator utama.
  • Ketika terjadi gangguan dan dicatat di LED, data tersebut dapat digunakan untuk menyokong tindakan perbaikan sistem yang telah direncanakan, sekaligus memberikan alarm nyata untuk pencegahan lebih lanjut.
Studi kasus ini menunjukkan bagaimana Perusahaan  dapat menjaga keandalan teknologi sekaligus mengelola risiko yang terkait secara efektif dengan manajemen risiko operasional yang terstruktur dan responsif.

Author

M. Sofian Dollof, AAAIJ., AIIS., ANZIIF(Assoc)., CIP., CRMP., AAMRP

Email: sofian_dollof@indonesiare.co.id