General Reinsurance
Pentingnya Clinical Trial Insurance bagi Dunia Kesehatan
Gambar Proses Uji Klinis
Sumber :unsplash.com
Masih membekas dalam ingatan kita, akan kejadian Pendemic Covid-19 pada awal tahun 2020 yang dialami seluruh warga dunia. Pandemic Covid-19 secara tidak langsung membangunkan dunia kesehatan akan pentingnya pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan berupa penemuan vaksin, obat, peralatan dll. Pada tanggal 31 Juli 2020, ada 26 kandidat vaksin yang sedang dilakukan evaluasi dan siap untuk dilakukan uji klinis terhadap manusia.
Sepanjang pertengahan 2020 hingga awal tahun 2021, ribuan uji klinis telah dilakukan oleh para ilmuwan di seluruh dunia untuk menangani krisis tersebut dan sudah ada beberapa vaksin COVID-19 yang menunjukkan hasil uji klinis yang positif. Di Indonesia, vaksin-vaksin tersebut kemudian diberikan izin penggunaan darurat (EUA) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Vaksin yang telah disetujuin penggunaannya di Indonesia yaitu Sinovac (CoronaVac), AstraZeneca(Vaxzevria), Pfizer-BioNtech (Comirnaty), Moderna (Spikevax), Sinopharm (BBIBP-CorV), Novavax (Nuvaxovid) dan Janssen (Ad26.COV2.S). Vaksin-vaksin ini dapat diberikan kepada masyarakat umum, termasuk anak-anak dan ibu hamil melalui program vaksinasi nasional.
Membayangkan betapa hebatnya, dalam rentang waktu yang singkat tersebut dapat menunjukkan seberapa jauh kemampuan pemahaman para peneliti dan kecepatan ilmu pengetahuan yang menimbulkan kesuksesan vaksin Covid-19 setelah dilakukannya ribuan uji klinis. Maka regulator di berbagai negara mulai menciptakan aturan yang fleksibel terkait pelaksanaan uji klinis. Tujuan dilakukan uji klinis adalah untuk menguji keamanan dan efektivitas suatu produk medis, seperti obat atau vaksin.
Sayangnya di Indonesia hanya sedikit uji klinis yang telah dilakukan, apabila kita mundur ke tahun 2018 menurut data BPOM, Indonesia hanya melakukan 414 uji klinis dibandingkan dengan 2.300 uji klinis di Thailand. Padahal Indonesia sangat berpotensi menjadi pusat uji klinis di Asia Tenggara.
Sejak 2009 Indonesia telah menetapkan beberapa peraturan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan uji klinis. Pertama, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 44 ayat 1 yang menyatakan bahwa dapat dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Uji Klinik Obat dan Alat Kesehatan. Ketiga, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2017 tentang Cara Uji Klinik Alat Kesehatan yang Baik. Keempat, Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik dan terdapat pembaharuan pada tahun 2022 yang menyatakan bahwa semua subjek uji klinis harus diberi kompensasi oleh sponsor dapat berupa asuransi bila terjadi cedera terkait uji klinis dan harus tercantum dalam informasi yang diberikan kepada calon subjek.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2023, mendorong tingkat inovasi para peneliti agar menghasilkan banyak obat essensial yang dibutuhkan oleh sistem kesehatan dan memberikan manfaat bagi banyak orang.
Di dalam pelaksanaan uji klinis tentu saja terdapat risiko tidak hanya bagi para peneliti dan peserta uji klinis tetapi juga bagi pemilik produk atau perusahaan sponsor yang obat atau vaksinnya sedang dilakukan uji klinis terhadap kondisi tertentu. Oleh karena itu, perusahaan asuransi dapat memberikan perlindungan terhadap risiko tersebut dengan produk
clinical trial insurance atau asuransi uji klinis.
Clinical Trial Insurance merupakan asuransi yang khusus dibuat untuk melindungi perusahaan sponsor dan peneliti dari tanggung jawab finansial apabila peserta uji klinis mengalami cidera atau terluka sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam uji klinis.
Peserta uji klinis merupakan individu yang secara sukarela berpartisipasi dalam uji klinis untuk menguji keamanan dan efektivitas suatu obat atau vaksin tertentu. Peserta uji klinis biasanya dipilih karena memenuhi kriteria tertentu seperti usia, kondisi kesehatan atau lokasi geografis sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Oleh sebab itu, periode
Crinical Trial Insurance pun mengikuti periode penelitian yang dibutuhkan.
Clinical Trial Insurance dapat menanggung potensi kewajiban pihak peneliti atau perusahaan sponsor atas biaya medis peserta uji klinis yang mengalami cidera, upah yang hilang apabila peserta tidak dapat bekerja karena cidera yang dialaminya, asuransi ini juga memberikan kompensasi akibat rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh peserta uji klinis akibat dari cidera mereka dan biaya hukum.
Dengan adanya
Clinical Trial Insurance memberikan beberapa manfaat baik bagi perusahaan sponsor dan peneliti maupun peserta uji klinis. Bagi perusahaan sponsor dan peneliti dapat memberikan perlindungan finansial akibat risiko kerugian yang timbil dari tuntutan hukum maupun kompensasi dari peserta uji klinis yang mengalami cidera yang tidak diinginkan selama proses uji klinis, tentu saja hal ini melindungi perusahaan dari kebangkrutan finansial dan memungkinkan mereka untuk terus mengembangkan obat atau vaksin baru yang dapat menyelamatkan keselamatan banyak orang.
Selain itu juga dapat meningkatkan kepercayaan diri para peneliti untuk melanjutkan uji klinis karena mengetahui bahwa mereka terlindungi dari keadaan yang tidak terduga dan dapat menyelesaikan uji klinis dengan cepat.
Bagi peserta uji klinis manfaat yang diberikan akan adanya
Clinical Trial Insurance yaitu memberikan ketenangan pikiran karena mereka terlindungi dan terdapat kompensasi untuk cidera yang tidak diinginkan selama proses uji klinis serta mendapatkan
privilege akses pengobatan yang belum tersedia secara luas.
Hemat penulis,
Clinical Trial Insurance memainkan peran penting dalam memastikan pelaksanaan uji klinis yang baik dan bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan perusahaan sponsor, peneliti maupun peserta uji klinis demi perkembangan dunia kesehatan.