09 December 2016 14880
Casualty & Liability

Professional Indemnity Insurance

Profesional Indemnity Insurance atau lazim pula dikenal dengan nama Error and Ommission Insurance menjamin tanggung jawab hukum tertanggung terhadap ganti rugi kepada pihak ketiga yang menderita luka badan atau kerugian finansial sebagai akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh tertanggung dan karyawannya dalam kaitannya dengan profesi tertanggung.

Dalam konteks umum, tanggung jawab hukum dari sebuah profesi pastilah didasarkan atas adanya pelanggaran kontrak (breach of contract). Hal ini timbul ketika seseorang dipekerjakan sebagai penyandang profesi dan adanya kontrak yang diakui secara hukum antara dirinya dan para klien. Meskipun pada masa lalu asuransi professional indemnity ini dianggap cukup berisiko tinggi, namun dalam perkembangannya saat ini justru berkembang cukup mengesankan. Salah satunya disebabkan adanya PP No 63 tahun 1999 yang mewajibkan setiap broker asuransi dan broker reasuransi untuk memiliki asuransi profesional indemnity dengan limit minimum IDR 1.000.000.000,-.

Hingga saat ini, belum ada polis standar asuransi professional indemnity di Indonesia. Polis bervariasi dari satu perusahaan asuransi ke perusahaan asuransi lainnya dan berbeda dari satu profesi ke profesi yang lainnya. Meskipun demikian sangat disarankan agar untuk profesi apapun agar disertai klausul adanya proposal form yang wajib diisi dan ditandatangani oleh tertanggung dan menjadikan proposal form tersebut sebagai satu kesatuan dengan polis asuransi. Sehingga apabila dikemudian hari diketemukan ketidaksesuaian atau adanya hal-hal lain yang tidak diinfokan dalam proposal form (non-disclosure), polis menjadi tidak liable.

Operative clause atau insuring clause yang tercantum dalam polis umunya menyebutkan :

“To indemnify the insured against any claim for damages for breach of professional duty which may be made against him during the period of insurance due to any neligent act, error or omission whenever or wherever the same was or was alleged to have been committed by the insured or his predecessors in business or any employee of the insured.”

Seperti halnya asuransi liability lainnya, ganti rugi didasarkan atas besarnya tuntutan atau kompensasi dengan batas maksimum sebesar limit of liability. Klaim yang terjadi haruslah timbul sebagai akibat dari breach of professional duty. Perlu ditegaskan bahwa seseorang dengan profesi tertentu dapat memiliki potensi liability terhadap pihak ketiga atas dasar kelalaian dalam arti luas, namun tidak semua kelalaian (yang dilakukan oleh tertanggung) dapat dijamin atau tidak semuanya masuk dalam lingkup breach of professional duty. Misalnya kelalaian seorang dokter bedah dalam mengemudi kendaraannya dengan menabrak pihak ketiga tidak seharusnya dijamin oleh asuransi professional indemnity.

Dalam polis asuransi professional indemnity pada umumnya mengecualikan libel dan slander. Juga klaim-klaim yang timbul sebagai akibat dari ketidakjujuran dan atau kejahatan karyawan. Meskipun dalam perkembangannya saat ini libel, slander dan ketidakjujuran dari karyawan seringkali dijadikan perluasan polis, subject to additional premium. 

Beberapa Kasus Hukum dalam Professional Indemnity Insurance

1. Merret v. Babb (2001)

Salah satu kasus yang menimbulkan kekhawatiran bagi para professional yang dipekerjakan sebagai karyawan. Dalam kasus ini House of Lords tidak bersedia untuk mengabulkan kasasi (appeal). Pengadilan memutuskan bahwa akibat dari kebangkrutan seorang majikan, Tn. Babb yang pada masa lalu pernah menjadi karyawan dari majikan tadi dinyatakan liable terhadap ‘mortgage valuation’ yang dibuat oleh agen real estate lebih dari 7 (tujuh) tahun yang lalu.

2. Greaves and Co. (Contractors) Ltd v. Baynham Meikle and Partners (1975)

Dalam kasus ini, seorang insinyur perancang struktur bangunan dinyatakan bertanggung jawab terhadap kerusakan struktur lantai hasil rancangannya akibat retak tidak mampu menahan beban forklift.

3. Kenny v. Hall, Pain and Foster (1976)

Sebuah firma dinyatakan liable terhadap kesalahan yang dibuat oleh salah seorang karyawannya yang telah lalai dalam menaksir harga jual sebuah properti. Meskipun mereka berkilah bahwa survei tersebut sebenarnya dilakukan oleh karyawan tertanggung yang tidak memiliki qualifikasi profesi standar dan memiliki pengalaman yang minim dalam hal menganalisa pasar properti.

4. South Australian Asset Management Corporation v. York Montague (1996)

Dalam kasus ini sebuah perusahaan penaksir (valuers) dinyatakan liable atas kelalaian dalam menentukan harga sebuah properti. Ganti rugi dibayarkan sebesar konsekuensi akibat kesalahan menaksir harga properti yaitu selisih dari taksiran harga yang ‘under value’ dengan harga yang sesungguhnya (taksiran harga yang lebih akurat). Diluar dari hal tersebut, tertanggung dibebaskan dari tuntutan terhadap kerugian akibat ‘jatuh’ nya harga properti.

5. Weedon v. Hindwood Clarke and Esplin (1974)

Meskipun surveyor dan valuer tidak diharapkan untuk benar-benar ahli dalam masalah hukum, namun mereka dituntut untuk mengetahui practical knowledge tentang hukum dan perundang-undangan yang berhubungan dengan profesi surveyor dan valuer. Dalam kasus ini House of Lords memutuskan bahwa ketidaktahuan tertanggung dianggap sebagai suatu kelalaian.

6. Gold v. Essex County Council (1942)

Seorang perawat dinyatakan bertanggung jawab secara pribadi atas kelalaian yang dilakukan selama ia menjalankan profesinya, kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia telah bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh dokter pada saat kejadian berlangsung.

7. Equitable Life Assurance Society v. Ernst & Young (2003)

Pada umumnya orang beranggapan bahwa apabila sebuah perusahaan mengalami kerugian misalnya akibat kesalahan manajemen atau kejahatan yang dilakukan oleh karyawan, maka para CEO lah yang paling bertanggung jawab untuk mencegah kerugian perusahaan tersebut. Namun seringkali pula para auditor dan akuntan yang justru menjadi pihak yang disalahkan.

8. United Mills Agencies v. Harvey Bray and Co. (1952)

Insurance broker dinyatakan tidak bersalah atas kelalaian yang dituduhkan, ketika mereka mengabaikan untuk menginformasikan kepada tertanggung bahwa barangnya tidak dijamin oleh asuransi ketika dalam proses pengepakan dan kebetulan ada sedikit keterlambatan dalam penyampaian cover note. Meskipun hal tersebut semestinya sudah menjadi kewajiban (bagi insurance broker) untuk menyampaikan cover note dalam waktu sesegera mungkin, keterlambatan tersebut diputuskan bukanlah merupakan breach of duty.

9. Cherry Ltd v. Allied Insurance Brokers Ltd (1978)

Insurance broker dalam kondisi tertentu tetap dinyatakan liable terhadap suatu kasus meskipun perjanjian telah dinyatakan batal. Dalam kasus Cherry ini, perjanjian dengan Allied Insurance Broker telah dibatalkan dan sebagai gantinya beberapa broker baru telah dipilih untuk menggantikan. Ada 2 buah polis yang menjamin consequential loss, satu dengan Allied Insurance Broker dan yang lainnya melalui broker lain. Dikarenakan adanya kesalahpahaman, kedua polis tadi dibatalkan dan ketika klaim terjadi, tertanggung (Cherry) tidak memiliki cover asuransi. Allied Insurance Broker dinyatakan liable terhadap kerugian yang diderita oleh Cherry akibat pembatalan yang telah dilakukan.

10. A J Dunbar v. A & B Painters Ltd and Economic Insurance Co. Ltd and Whitehouse and Co. (1986)

Insurance broker dinyatakan bertanggung jawab atas tidak akuratnya informasi klaim yang telah disampaikan kepada pihak asuransi. Akibat dari kelalaian tersebut mengakibatkan polis Employers Liability menjadi invalid, sehingga insurance broker tadi bertanggung jawab sebesar kerugian yang diderita oleh pemegang polis EL.

11. Phelps v. Hillingdon Borough Council (2000)

Telah terjadi peningkatan kasus klaim negligence terhadap sekolah-sekolah. Dalam kasus diatas, sebuah sekolah dianggap liable atas ketidakpekaan atau dalam hal tidak menyediakan fasilitas khusus bagi murid-murid yang memiliki cacat fisik tertentu.

12. Wimpey Construction UK Ltd v. D V Poole (1984)

Tn. Wimpey memiliki polis professional indemnity yang memberikan cover terhadap ‘loss arising from any claim or claims which may be made against the assured during the period of insurance arising out of or through any omission, error or negligent act in respect of design or specification of work’. Pihak asuransi berkilah bahwa ‘omission, error or negligent act’ keseluruhannya adalah kelalaian. Namun oleh pengadilan, pendapat tersebut ditolak. Pengadilan mengartikannya bahwa omission or error bisa di-cover baik akibat kelalaian ataupun tidak. Dalam hal ini, tidak semua kerugian yang disebabkan oleh omission or error di-cover dalam polis. Error and omission yang dilakukan secara sengaja, tidak di-cover dalam polis.

13. Young v. Toynbee (1910)

Kasus ini merupakan contoh dari breach of warranty of authority yang dilakukan dengan prinsip good faith. Seorang pengacara telah diberikan kewenangan oleh kliennya, kemudian setelah itu kliennya menderita gangguan kejiwaan (gila). Pengacara tadi tidak menyadari akan hal tersebut dan terus melanjutkan apa yang sudah diperintahkan oleh kliennya, termasuk menyiapkan pembelaan kasus kliennya di pengadilan. Ketika gangguan kejiwaan yang diderita oleh kliennya diketahui oleh semua pihak, pihak claimant mengajukan pembatalan gugatan dan menuntut pengacara tadi untuk bertanggung jawab atas seluruh biaya dengan dalih bahwa pengacara tersebut telah bertindak melebihi wewenangnya. Pengacara tersebut dinyatakan liable.

14. Thorman v. New Hampshire Insurance Co. and Anr (1987)

Kealpaan dalam men-disclose klaim-klaim di masa lalu atau kejadian-kejadian di masa lalu yang berpotensi untuk menimbulkan tuntutan di masa kini menjadi masalah utama yang dihadapi oleh underwriter professional indemnity. Potensi klaim-klaim yang mungkin akan timbul haruslah dilaporkan ketika risiko akan dialihkan dari satu asuransi ke asuransi lain. Tertanggung menghadapi bahaya karena adanya ‘gap in cover’, yaitu: kejadian di masa lalu. Polis yang sudah expired tidak meng-cover kejadian-kejadian yang baru dilaporkan saat ini sedangkan perusahaan asuransi yang baru kemungkinan akan menolak untuk meng-cover klaim apabila sekiranya klaim tersebut semestinya telah dilaporkan kepada mereka (asuransi yang baru) pada awal masa pertanggungan.

 

 

(Reinfokus edisi I, tahun 2012)

Penulis

Mardian Adhitya, MM, ACII

Email: mardian@indonesiare.co.id