06 March 2023
1042
Berita
Dukung Pencapaian Target EBT, Begini Saran Indonesia Re ke PLN
JAKARTA - Grup usaha atau konglomerasi bisnis dengan jumlah dan nilai aset besar dinilai perlu menerapkan konsep Captive Insurance untuk memproteksi aset dengan lebih efisien dan efektif.
Hal itu disampaikan Delil Khairat, Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re, di sela-sela seminar bertajuk “Business and Risk Perspective on Energy Transformation Talk 2023” yang diselenggarakan Asosiasi Pengelolaan Risiko Terintegrasi Energi Kelistrikan (Proteksi Energi), Rabu (1/3/2023).
Delil menjelaskan konsep ini memungkinkan grup usaha besar untuk mengumpulkan semua risiko di dalam konglomerasinya untuk disalurkan ke perusahaan asuransi atau captive insurer. Nantinya, captive insurer akan mengelola asuransi dengan efektif dan efisien sebab akan mengurangi biaya asuransi dan reasuransi.
“Jadi, risiko di dalam grup usaha tidak dilempar langsung ke open market, tetapi dikelola dulu secara hati-hati. Dikelola artinya dikumpulkan dan dianalisis datanya sehingga dapat dipilah risiko mana yang bisa ditahan atau tidak perlu diasuransikan dan mana yang perlu diasuransikan dan kemudian direasuransikan,” jelasnya.
Menurut Delil, konsep ini sebenarnya telah dijalankan oleh Petronas, perusahaan Malaysia di bidang energi, yang membentuk Energas, captive insurer yang mengelola risiko dari semua aset dan asuransi di dalam grup usahanya. Apalagi, jelas Delil, Malaysia memiliki regulasi yang memungkinkan kehadiran captive insurer yang khusus mengelola asuransi di satu grup usaha tanpa menggarap pasar umum.
Energas ini bertugas untuk memenuhi semua kebutuhan asuransi Petronas baik di bidang energi maupun di berbagai bidang lain di dalam grup usaha, termasuk pengelolaan aset properti Petronas, seperti menara kembar Petronas di Kuala Lumpur. Energas nantinya akan menyusun program proteksi, termasuk program reasuransi ke pasar global.
“Bahkan, Energas itu sendiri sudah menjadi profit center bagi Petronas. Jadi, captive insurer ini sebenarnya bisa menjadi value creation activities, bukan hanya cost center activities,” ujarnya.
Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
Delil menilai konsep Captive Insurance itu juga dapat diterapkan oleh PLN sebagai grup usaha dengan jumlah dan aset siginifikan di Indonesia. Konsep itu kian urgen lantaran saat ini risiko bencana kian besar dan juga karena adanya perubahan iklim.
“PLN sebagai penyedia energi, di mana-mana punya pembangkit, jaringan dan sebagainya. Asetnya ada di mana-mana sehingga selalu terekspos dengan risiko-risiko,” ungkapnya.
Selain faktor tersebut, Delil menilai kondisi industri asuransi dan reasuransi global yang masih dihadang oleh kondisi hardening market akan menyebabkan biaya yang timbul dari proteksi aset relatif lebih tinggi.
“Jadi, seandainya risiko PLN tetap bagus, tetapi karena ada tekanan hard market, bisa saja setiap renewal itu biaya asuransi PLN juga akan naik.”
Di samping itu, Delil menilai konsep ini akan relevan dalam upaya PLN dalam mendukung pencapaian target net zero emission pada 2060. Dia menjelaskan, teknologi EBT yang masih baru dan belum terverifikasi atau baru ditemukan membuat risikonya lebih mahal.
“Selain biaya pengembangan teknologi baru itu besar, risikonya juga besar, sehingga biaya transfer risikonya juga menjadi lebih besar. Oleh karena itu, ide Captive Insurance yang tadi kami perkenalkan ke PLN itu tetap relevan dalam upaya mencoba menekan biaya dan juga membuat penempatan asuransi sebuah grup besar itu lebih efisien,” pungkasnya.