07 July 2025 16
Berita

Indonesia Re Dorong Transformasi ESG untuk Dukung Pengelolaan Risiko Bencana yang Inklusif

indonesia-re-dorong-transformasi-esg-untuk-dukung-pengelolaa-v94n

Indonesia Re dorong transformasi ESG untuk dukung pengelolaan risiko bencana yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis data. Foto: Source for JPNN.com

 
jpnn.com, JAKARTA - Komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan kontribusi aktif dari sektor keuangan, termasuk industri asuransi dan reasuransi.
 
Untuk memperkuat peran strategis sektor ini dalam mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta meningkatkan ketahanan nasional terhadap risiko bencana, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re menyelenggarakan seminar nasional bertajuk Sustainability Dialogue 2025 ‘Advancing Sustainable Development and Climate Resilience through Parametric Disaster Insurance: A Pathway to Responsive, Reliable, and Responsible Risk Financing’.
 
Acara ini menghadirkan pemangku kepentingan dari lintas sektor termasuk pemerintah, regulator, pelaku industri perasuransian dan keuangan, akademisi, dan mitra pembangunan lainnya untuk mendiskusikan peran Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai fondasi sistem pembiayaan risiko bencana yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
 
Dalam sambutannya, Direktur Utama Indonesia Re Benny Waworuntu menegaskan pentingnya asuransi sabagai salah satu instrumen mitigasi risiko nasional. “Asuransi Parametrik menjadi solusi yang relevan dalam membantu keuangan negara dalam masa tanggap darurat bencana.” ujarnya.
 
Lebih lanjut, dia menyebut Indonesia Re berkomitmen menjadi motor penggerak di industri perasuransian dalam membantu masyarakat dan pemerintah mengelola risiko.
 
Dia melihat bahwa Industri asuransi harus berbasis data dan riset. “Dengan adanya pengembangan perasuransian sebagai salah satu instrumen mitigasi risiko nasional, diharapkan hal ini dapat meningkatkan inklusi dan penetrasi masyarakat akan asuransi yang juga dapat berkontribusi positif ke industri perasuransian,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Risiko Aset dan Kewajiban Negara Direktorat PRKN DJPPR Kementerian Keuangan Herry Indratno menyoroti pentingnya ketahanan fiskal terhadap bencana alam di Indonesia.
 
“Kerugian akibat bencana alam di Indonesia rata-rata mencapai Rp22 triliun per tahun. Padahal, skema penanggulangan bencana konvensional yang menggunakan dana APBN dan dana cadangan belum cukup efektif terutama untuk bencana berskala besar,” jelasnya.
 
Karena itu, pemerintah akan mengembangkan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana yang lebih inovatif dan berkelanjutan melalui asuransi parametik, yang dinilai mampu memberikan pencairan dana secara cepat, objektif, dan transparan.
 
“Skema ini juga akan mendorong partisipasi sektor non-pemerintah, termasuk industri asuransi nasional dan global,” ujar Herry.
 
Seminar ini juga menggarisbawahi hasil kajian Indonesia Re, Kementerian Keuangan RI, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Maipark, meliputi desain, modelling risiko, skema, instrumen dan mekanisme pembiayaan dampak bencana serta mencakup pengembangan produk asuransi parametrik terutama untuk risiko gempa dan banjir.
 
Produk parametrik ini bertujuan untuk melindungi posisi fiscal Pemerintah Daerah (APBD) serta memastikan tersedianya dana cepat pasca bencana untuk keperluan tanggung darurat.
 
Inisiatif ini diharapkan dapat diluncurkan di tahun 2026. Dalam implementasinya ini rencananya akan menggandeng keterlibatan dari berbagai pihak yang relevan terutama industri asuransi dan reasuransi yang selaras dengan visi asosiasi industri perasuransian.
 
Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re Delil Khairat menjelaskan mandat pengembangan asuransi merupakan hasil kajian bersama antara industri perasuransian, akademisi, dan pemerintah yang dipimpin oleh Kementerian Keuangan.
 
"Jadi, Indonesia Re bersama dengan Kementerian Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, secara mendalam telah melakukan riset, kajian, instrumen, skema pembiayaan risiko dan produk asuransi parametrik untuk mengcover natural disaster atau catastrophe risk di Indonesia,” ujar Delil.
 
Dia menambahkan keterlibatan Indonesia Re sebagai mitra teknis yang berkontribusi besar dalam membantu pemerintah menyusun berbagai instrumen yang diusulkan, yakni salah satunya asuransi parametrik gempa dan banjir.
 
Dalam konteks penguatan ketahanan sektor perasuransian terhadap risiko bencana dan percepatan transformasi digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menegaskan pentingnya integrasi antara teknologi dan manajemen keberlanjutan.
 
Deputi Direktur Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi OJK Kurnia Yuniakhir menyoroti bahwa digitalisasi industri asuransi harus diiringi dengan penguatan sistem Business Continuity Management (BCM).
 
"Akselerasi transformasi digital di industri perasuransian harus disertai kesiapan infrastruktur pengelolaan risiko yang andal, termasuk penguatan BCM untuk mengantisipasi gangguan akibat bencana maupun risiko sistemik lainnya," jelas Kurnia.
 
Ni Luh Ayounik Mahasabha, Sustainability Development Business Group Head, Surveyor Indonesia bersama dengan Elrika Hamdi, Wakil Kepala Sekretariat, serta Spesialis Keuangan dan Kebijakan Transisi Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia menjelaskan mengenai kesiapan sektor keuangan menghadapi tantangan perubahan iklim.
 
“ESG bukan sekadar aspek kepatuhan, tetapi fondasi menuju masa depan Indonesia yang resilien terhadap iklim dan bencana. Penerapannya tidak hanya mendorong dekarbonisasi, tapi juga memperkuat ketahanan sistem nasional,” tutur Elrika.
 
Dalam konteks diskusi yang menekankan peran ESG sebagai fondasi sistemik, para panelis sepakat bahwa tantangan perubahan iklim tidak dapat dihadapi secara sektoral semata.
 
Diperlukan pendekatan lintas sektor yang mencakup dimensi energi, keuangan, dan kebencanaan secara terpadu. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem kebijakan dan instrumen pembiayaan risiko yang saling terhubung dari komitmen dekarbonisasi hingga kesiapsiagaan terhadap bencana, sebagai bagian dari arsitektur keberlanjutan nasional.
 
Hadir dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati menekankan pentingnya data kebencanaan dan tata kelola berbasis risiko.
 
“Kebijakan pembangunan berbasis risiko membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Data kebencanaan yang kuat menjadi syarat mutlak untuk keberhasilan skema Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) dan implementasi ESG di tingkat nasional,” tegas Raditya. (rhs/jpnn)