08 January 2017 8905
Miscellaneous

Disiplin Dalam Bisnis Asuransi, Apakah Kita Sudah Melakukannya?

Secara singkat disiplin dapat diartikan sebagai patuh kepada peraturan atau tata tertib.

Disiplin merupakan salah satu kunci menciptakan keteraturan dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin dalam berlalu lintas, artinya mematuhi rambu-rambu dan peraturan lalu lintas. Efeknya adalah menurunnya tingkat kecelakaan lalu lintas. Disiplin dalam membaca buku teks ujian AAMAI minimal 2 sehari, maka probabilitas kandidat lulus dalam ujian lebih besar. Dengan demikian disiplin tidak bisa terlepas dari kehidupan kita.

Jepang adalah negara yang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan. Berkat kedisiplinan yang diterapkan, mereka bisa maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa Eropa. Prinsip Kai Zen yang berarti komitmen tinggi pada pekerjaan, membuat mereka melakukan pekerjaan sesuai jadwal agar tidak menimbulkan pemborosan dan kerugian. Lantas apakah hubungan disiplin dengan praktik bisnis asuransi? Hubungannya jelas. Pada saat melakukan underwriting kita harus patuh pada proses underwriting. Mulai dari proposal form, informasi underwriting, penerapan harga, kepatuhan pada tarif, sampai pada akhirnya menghasilkan keputusan apakah suatu risiko akan diterima, ditolak, atau diterima dengan kondisi tertentu.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah disiplin dalam underwriting? Jika sudah disiplin, maka informasi atau data-data mengenai tertanggung pasti tersedia dan mudah diperoleh. Harga atau premi yang diberikan sudah memadai. Tapi fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.

Sebagai praktisi yang bekerja di perusahaan reasuransi nasional, terkadang sulit untuk mendapatkan data atau informasi yang komprehensif, khususnya pada industrial dan commercial risk. Kemudian praktik perang tarif dan penerapan terms & conditions yang tidak tepat masih kerap terjadi. Artikel kali ini mencoba untuk mendiskusikan beberapa praktik bisnis asuransi kerugian yang menurut pengamatan penulis tidak common practice.

 

Informasi Underwriting yang belum memadai

Jika kita berbicara prudent underwriting, maka underwriter akan melakukan risk assessment (pengkajian risiko) berdasarkan data dan informasi yang disampaikan oleh calon tertanggung atau pemohon kepada penanggung. Dari data dan informasi yang disampaikan itulah, underwriter akan memutuskan apakah akan menerima, menolak, atau menerima risiko dengan kondisi tertentu.

Informasi yang disampaikan oleh tertanggung, haruslah informasi yang komprehensif dan mengungkapkan semua fakta-fakta material. Kualitas informasi yang dibutuhkan akan tergantung dari size risiko yang akan dipertanggungkan. Jika risiko yang akan diasuransikan rumah tinggal, maka informasi yang dibutuhkan tidaklah selengkap informasi yang dibutuhkan untuk mengasuransikan risiko industrial. Kebutuhan akan informasi tergantung kepada nature dan hazardous dari risiko yang akan dipertanggungkan.

Idealnya informasi yang disampaikan memang harus lengkap dan komprehensif. Namun apa yang terjadi di market saat ini tidaklah mencerminkan kondisi yang ideal. Berdasarkan pengalaman penulis, masih terdapat risiko-risiko yang mempunyai nilai pertanggungan sangat tinggi (mencapai miliar USD) namun hanya disampaikan dalam 2 lembar kertas. Survey report atau loss prevention report tidak tersedia.

Kita semua memahami bahwa risiko-risiko yang bernilai besar akan melibatkan reasuradur luar negeri dengan partisipasi yang cukup signifikan. Alasan bahwa reasuradur luar negeri telah berpartisipasi dengan share yang signifikan dan tanpa menanyakan informasi yang lebih dalam, dan bahwa reasuradur lokal hanya berpartisipasi kecil sehingga tidak mempunyai keleluasaan untuk meminta informasi, adalah alasan-alasan yang menurut penulis tidak dapat diterima. Sehingga timbul pertanyaan apakah kita melakukan underwriting atau meramal?

 

Co-insurance under table

Co-insurance atau ko-asuransi adalah suatu mekanisme untuk meningkatkan kapasitas market untuk meng-underwrite suatu risiko, dimana partisipasi masing-masing perusahaan dibatasi dalam original policy. Hal ini dilakukan jika perusahaan asuransi tidak mempunyai gross capacity yang cukup untuk meng-aksep risiko tertanggung. Tertanggung mengasuransikannya dengan lebih dari satu perusahaan asuransi lainnya.

Dalam ko-asuransi, share dari masing-masing perusahaan asuransi dicantumkan dalam original policy.

Administrasi serta penerbitan polis biasanya dilakukan oleh lead insurer. Berbeda dengan kontrak reasuransi, dimana tertanggung tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan reasuradur, pada ko-asuransi tertanggung mempunyai hubungan kontraktual dengan semua penanggung yang terlibat dalam penutupan risiko. Dalam hal terjadi klaim, jika ada salah satu member yang belum melakukan pembayaran klaim, maka tertanggung dapat melakukan tuntutan secara langsung kepada member tersebut.

Yang berkembang saat ini pada market adalah praktik ko-asuransi yang disebut dengan Co-insurance under table. Hal ini juga disampaikan dalam pertemuan Forum Treaty yang diselanggarakan oleh ReINDO pada tanggal 29 mei 2013. Dengan mekanisme ini, dalam original policy tidak tercantum partisipasi dari masing-masing member. Hanya ada satu penanggung saja yang tercantum dalam original policy.  Penanggung yang menerbitkan polis tersebut kemudian menawarkan kepada member lain untuk ikut berpartisipasi. Partisipasi masing-masing member kemudian disebutkan dalam penerbitan endorsement.

Tertanggung tidak mengetahui siapa saja perusahaan asuransi yang berpartisipasi. Tertanggung hanya dealing dengan perusahaan asuransi penerbit polis. Dalam hal terjadi klaim, maka tertanggung hanya melakukan tuntutan kepada satu perusahaan asuransi saja, yaitu perusahaan asuransi yang menerbitkan polis.

Masih menjadi hal yang debateable apakah praktik ini dikategorikan sebagai kontrak asuransi atau kontrak reasuransi? Jika dikatakan sebagai kontrak asuransi, apakah tertanggung mempunyai hubungan kontraktual dengan penanggung lainnya? Karena endorsement yang diterbitkan perusahaan penerbit polis tidak disampaikan kepada tertanggung. Dan jika dikatakan sebagai kontrak reasuransi, apakah perusahaan asuransi penerbit polis memperlakukannya sebagai inward reinsurance business?

Selain permasalahan di atas, cara ini juga berpotensi menyalahi provisi Co-insurance scale yang disebutkan dalam Treaty. Contohnya sebagai berikut :

  • Terdapat risiko dengan Sum Insured Rp 300 miliar
  • Cedant A mempunyai Treaty Limit Rp 100 miliar.
  • Provisi co-insurance scale menyebutkan bahwa jika partisipasi cedant A dalam ko-asuransi 20% maka sesi ke dalam Treaty adalah 50% of Limit.
  • Cedant A berpartisipasi dalam penutupan risiko (dengan cara co-insurance under table) dengan share 20%. Maka cedant A mempunyai share sebesar: 20% x Rp 300 miliar = Rp 60 miliar.
  • Berdasarkan provisi co-insurance scale, maksimum sesi ke Treaty adalah: 50% x Rp 100 miliar = Rp 50 miliar.
  • Karena cedant A mensesikan ke Treaty sebesar Rp 60 miliar, maka hal ini menyalahi provisi co-insurance scale. Kompleksitas lainnya yang mungkin timbul dari cara ini diantaranya:
  • Kesulitan bagi reasuradur dalam mengkontrol exposure atau akumulasi.
  • Ketika terjadi klaim, dan salah satu member mengalami default atau insolvent, maka hal ini bisa saja merugikan tertanggung. Karena tertanggung hanya mempunyai hubungan kontrak dengan satu penanggung saja, maka tertanggung tidak bisa melakukan tuntutan kepada member yang default.
  • Timbul komplikasi dalam hal penagihan klaim dari cedant yang menjadi panel co-insurance under table kepada reasuradur. Karena partisipasi cedant tersebut tidak tercantum dalam original policy.
  • Dengan nature reporting treaty yang non-reporting, maka reasuradur tidak mempunyai keleluasaan melakukan kontrol.

 

Masih debateable apakah praktik ini lazim atau normal dijalankan atau tidak. Meskipun hal ini mungkin sudah dilakukan cukup lama. Penulis sendiri tidak dalam posisi untuk memberikan pendapat mengenai legalitas praktik ini. Namun jika dalam treaty diberikan fasilitas untuk meng-aksep bisnis secara inward facultative, rasanya lebih baik jika fasilitas tersebut di-utilize.

 

Praktik-praktik lainnya

Praktik lainnya yang menurut penulis belum merefleksikan kedisplinan adalah:

 

Premium rate yang tidak naik atau stagnan meskipun telah terjadi loss yang besar.

Jika telah terjadi loss yang cukup besar, maka seharusnya insurer dan reinsurer membutuhkan recovery, salah satu caranya dengan menaikkan premium rate. Namun yang terjadi adalah, rate tidak naik dan tetap. Mungkin saja risiko tersebut diasuransikan dengan penanggung yang berbeda dan belum memiliki pengalaman klaim dari tertanggungt ersebut. Sebaiknya cara yang dilakukan untuk mendapatkan bisnis bukan dengan memberikan harga yang rendah. Tetapi bisa dengan melakukan persuasi kepada tertanggung dengan melakukan risk improvement. Jika tertanggung mau melakukan risk improvement, penanggung bisa saja memberikan dengan harga yang sama dengan existing. Dalam hal tertanggung sulit atau tidak mempunyai keinginan melakukan risk improvement, sebaiknya risiko tersebut jangan di-aksep. Jika semua penanggung mempunyai sikap yang sama, maka mau tidak mau tertanggung akan melakukan risk improvement, atau membeli dengan harga yang sedikit lebih tinggi.

 

Sulit untuk mendapatkan proposal form.

Dalam setiap penutupan, salah satu dokumen penting untuk melakukan risk assessment adalah proposal form. Dari informasi yang disebutkan dalam proposal form, underwriter dapat menganalisis bisnis dan juga moral hazard tertanggung. Khusus untuk kelas bisnis Liability, proposal form adalah dokumen yang penting. Dalam beberapa kesempatan, penulis melihat bahwa proposal form adalah salah satu informasi yang diminta oleh overseas reinsurers.

 

Adanya placement risiko yang masih shortfall namun sudah menerbitkan cover note atau bahkan polis.

Praktik ini berpotensi merugikan tertanggung, karena jika terjadi klaim dan placement belum fully placed 100%, siapa yang akan menanggung klaim tersebut?

 

Penutup

Mungkin masih ada lagi praktik-praktik lainnya yang terjadi dan tidak diketahui penulis. Namun penulis berharap bahwa praktik lainnya tersebut tidak ada. Isu yang disampaikan oleh penulis memang bukan hal yang baru. Tetapi praktik-praktik yang tidak disiplin tidak bisa dilakukan terus. \

Dengan semakin banyaknya praktisi yang mempunyai kualifikasi sebagai Tenaga Ahli Asuransi, saatnya kita back to basic. Kita terapkan prinsip mulia dalam asuransi yaitu Utmost Good Faith, bukan caveat emptor. Menerapkan harga dengan wajar, tidak saja menguntungkan perusahaan namun juga memberikan kepastian bagi tertanggung dalam hal pembayaran klaim.

Memang merupakan suatu hal yang dilematis. Di satu sisi terdapat tuntutan untuk menerapkan praktik bisnis atau underwriting dengan disiplin. Tetapi di sisi lainnya, kita juga dituntut untuk mengejar target bisnis yang sudah ditetapkan perusahaan. Melakukan hal untuk menuju ke arah yang lebih baik memang membutuhkan waktu dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. It takes time!

Namun, dengan melakukan sesuatu ke arah yang lebih baik, industri kita suatu saat akan teratur dan harmonis sebagaimana perpaduan pesawat akrobatik. Pilot pesawat akrobat memang dituntut untuk disiplin dan no room for errors. Tetapi, pilot pesawat akrobatik juga menunjukkan art dengan melakukan manuver-manuver pesawat yang extraordinary sehingga membuat kagum penonton yang melihatnya. Sama halnya dengan bisnis, praktisi tentu harus mempunyai kedisiplinan, namun bukan berarti disiplin akan menghilangkan inovasi dan kreatifitas.

Suatu saat bisnis ini akan diteruskan oleh para generasi muda yang akan datang. Pertanyannya apakah kita mau mewariskan kepada generasi penerus kondisi bisnis seperti saat ini? Mudah-mudahan tidak.

 

(Reinfokus II - 2013)

 

********

Sumber/referensi:

www.badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

www.abbalove.org

Coursebook P97 : Reinsurance – The Chartered Insurance Institute

Penulis

Reza Andre Nasution, ST., AAIK, ACII

Email: reza@indonesiare.co.id