11 December 2016 17379

Kondisi Ekonomi, Politik, dan Permintaan terhadap Asuransi

Sektor perasuransian sebagai bagian dari sektor jasa keuangan memiliki peran yang strategis dalam penciptaan kestabilan ekonomi melalui aspek pengelolaan risiko. Perekonomian Indonesia sebagaimana perekonomian di Negara-Negara lainnya tidak dapat terlepas dari risiko. Apabila dampak dari terjadinya risiko tersebut tidak dikendalikan dengan baik, maka dapat menyebabkan perekonomian menjadi tidak stabil, terguncang, serta kerugian yang besar bagi pelaku ekonomi. Melalui sektor perasuransian, para pelaku ekonomi dapat memindahkan sebagian atau seluruh potensi risiko yang dimiliki, sehingga aktivitas ekonomi tetap berjalan dengan stabil saat terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian bagi pelaku ekonomi.

Kontribusi sektor asuransi terhadap pendapatan nasional di suatu negara dapat dilihat dari tingkat penetrasi asuransi. Tingkat penetrasi dapat diukur dengan membandingkan premi bruto terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara. Tingkat penetrasi di Indonesia relatif masih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Di UNI Eropa (mencakup 15 negara) misalnya, pada tahun 2013 besarnya rasio premi terhadap PDB mencapai 8.2%. Negara lain seperti Amerika Serikat memiliki tingkat penetrasi asuransi sebesar 10.7% di tahun 2013 (OECD, 2015). Sementara itu, tingkat penetrasi asuransi di Indonesia ditargetkan mencapai 2.5% pada tahun 2018 oleh regulator bidang perasuransian, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan.

Pertumbuhan premi di Indonesia rata-rata sebesar 18% per tahun selama 2008 – 2013. Pada tahun 2015 ini, pertumbuhan premi bruto juga tetap memiliki tren yang positif, baik untuk asuransi kerugian maupun asuransi jiwa. Pada periode Januari – Juni 2015, premi bruto selalu mengalami peningkatan tetapi dengan tren pertumbuhan yang cenderung melambat. Pada awal 2015 pertumbuhan premi bruto mencapai 69.81% (dari Januari ke Februari), namun pada semester pertama 2015 pertumbuhan premi turun menjadi 19.74% secara total untuk asuransi kerugian dan jiwa.

Secara umum, industri asuransi cenderung bersifat procyclical, sehingga kinerja dari perusahaan-perusahaan asuransi akan bergerak searah dengan perkembangan ekonomi dari suatu Negara (e.g. Haiss and Salmegi, 2008). Pertumbuhan ekonomi yang menurun memiliki dampak langsung terhadap disposable income masyarakat, yang mengakibatkan aliran uang menjadi berkurang ke sektor asuransi. Nissim (2010) berpendapat bahwa aktivitas ekonomi secara keseluruhan akan mempengaruhi pertumbuhan sektor asuransi, karena permintaan terhadap asuransi dipengaruhi oleh pendapatan yang tersedia.

Untuk dapat meingkatkan kontribusi sektor perasuransian terhadap perekonomian Indonesia, maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong permintaan masyarakat terhadap produk asuransi. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Browne et al (2000), Ward and Zurbruegg (2000), Beck and Webb (2003), and Esho et al (2004) menunjukkan bahwa tingkat permintaan asuransi dalam perekonomian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor ekonomi, hukum, politik, dan sosial.

Faktor Ekonomi

Salah satu faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi permintaan terhadap produk asuransi adalah pendapatan nasional. Pada asuransi kerugian (property – casualty), Beenstock et al (1988) mengindikasikan bahwa terdapat hubungan positif antara pendapatan nasional di negara industri dengan pengeluaran untuk asuransi property –liability. Hasil yang serupa juga ditemukan oleh Esho et al (2004) yang melakukan analisis terhadap negara-negara maju dan berkembang dari tahun 1984 – 1998. The World Bank juga mengonfirmasi penemuan-penemuan tersebut dan menyatakan bahwa asuransi property – casualty merupakan barang normal, dimana permintaan akanasuransi tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan.

Pada asuransi jiwa, peran pasar asuransi terhadapperekonomian juga bergantung pada perkembanganekonomi, karena semakin besar pertumbuhan ekonomimaka konsumsi untuk produk asuransi akanmeningkat.Akan tetapi di negara dengan pendapatan per kapita yangtinggi, konsumsi untuk produk asuransi menjadi kurangsensitif terhadap pertumbuhan pendapatan (Ward and Zurbruegg, 2000). Hasil ini sejalan dengan hipotesis kurvaS oleh Enz (2000) yang menyatakan bahwa semakin tinggitingkat pendapatan per kapita, maka konsumsi untukproduk asuransi menjadi kurang sensitif terhadappertumbuhan pendapatan karena produk asuransi telahmencapai titik jenuh. Alasan utama dari fenomena iniadalah bahwa pada tingkat pendapatan yang tinggi,konsumen memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggisehingga mereka dapat menahan risiko tersebut denganportofolio keuangan yang mereka miliki.

Di Indonesia, besarnya pendapatan nasional tercermin dalam PDB, yang dihitung berdasarkan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara,atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB dapat diukurberdasarkan harga berlaku dan harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahuipertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaranProduk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlakupada triwulan II-2015 mencapai Rp2.866,9 triliun,sedangkan atas dasar harga konstan 2010 mencapaiRp2.239,3 triliun. Ekonomi Indonesia triwulan II-2015 terhadap triwulan II-2014 tumbuh 4,67%, melambat dibanding capaian triwulan II-2014 yang tumbuh 5,03%

Faktor ekonomi berikutnya yang turut mempengaruhi permintaan terhadap asuransi adalah expected inflation rate. Menurut Bank Indonesia, secara sederhana inflasi dapat diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Inflasi dapat timbul karena adanya tekanan dari supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.

Faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan dan triwulan I-2015 yang tumbuh 4,72% (BPS, 2015). harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan Upah Minimum Regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan. Tingkat inflasi di Indonesia selama tiga tahun terakhir (2013 – 2015) ditunjukkan oleh grafik berikut ini. Di tahun 2015, tingkat inflasi memiliki tren yang cenderung naik dari bulan ke bulan dengan rata – rata inflasi sebesar 6.87%.

Tingkat inflasi yang tinggi memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan asuransi jiwa. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan inflasi akan menimbulkan devaluasi terhadap future benefit dari pembelian produk asuransi jiwa. Penelitian lebih jauh yang dilakukan oleh Ward and Zurbruegg (2000) menyatakan bahwa dampak inflasi dan ketidakpastian ekonomi terhadap permintaan asuransi tidak sama di setiap negara. Inflasi memiliki dampak negatif terhadap permintaan asuransi 2.5 kali lebih besar di negara-negara Asia dibandingkan dengan negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) .

Faktor penentu lainnya terhadap permintaan asuransi yang tidak kalah penting adalah harga (premi) dari produk itu sendiri. Menurut Outreville (1996), angka harapan hidup dapat mencerminkan premi yang wajar secara aktuaria untuk asuransi jiwa. Hal ini berdasarkan premis bahwa semakin lama seseorang hidup, maka semakin besar premi yang dibayarkan oleh orang tersebut. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Browne and Kim (1993) menemukan bahwa harga meiliki hubungan yang negatif terhadap konsumsi asuransi jiwa, dengan estimasi elastisitas harga sebesar -0.24. Sehingga semakin tinggi harga atau premi yang ditetapkan untuk suatu produk asuransi, maka permintaan akan produk tersebut akan semakin rendah.

Sementara itu, untuk menguji dampak harga terhadap permintaan asuransi property – casualty, Browne et al(2000) menggunakan pangsa pasar dari perusahaan asuransi asing di suatu negara sebagai proksi atas harga. Untuk kelas bisnis motor, pangsa pasar perusahaan asuransi asing memiliki korelasi yang negatif terhadap permintaan produk asuransi motor. Sedangkan untuk kelas bisnis liability, pangsa pasar perusahaan asuransi asing memiliki korelasi positif tehadap permintaan asuransi liability. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan perusahaan asuransi asing meningkatkan persaingan di pasar asuransi domestik, sehingga harga bisa lebih rendah dan permintaan untuk produk asuransi liability meningkat.

Faktor Hukum dan Politik

Lingkungan hukum yang memberikan perlindungan yang baik terhadap investor akan mendorong intermediasi keuangan yang lebih besar (Levine, 1999). Dalam asuransi jiwa, sistem hukum yang bekerja dengan baik dan perlindungan terhadap pemegang polis merupakan penentu utama perkembangan pasar asuransi. Di negara-negara Asia, peningkatan sistem hukum memiliki dampak yang signifikan terhadap permintaan asuransi jiwa, dimana setiap peningkatan 10% dari sistem hukum akan menghasilkan peningkatan sebesar 5.5.% terhadap permintaan asuransi jiwa (Ward and Zurbruegg, 2000). Sementara itu, kondisi politik juga memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan asuransi jiwa di negara-negara OECD, dimana setiap peningkatan kondisi politik sebesar 10% akan menghasilkan peningkatan konsumsi asuransi jiwa sebesar 0.4%.

Aspek legal yang berkaitan dengan asuransi property – casualty adalah perlindungan dan penegakan hak kekayaanindividual (HAKI). Penegakan HAKI dapat menciptakan insentif untuk memperoleh jaminan terhadap property seseorang karena hal tersebut dapat melindungi individudari kerugian atau kerusakan terhadap asset yang dimiliki.

 

Kesimpulan

Beberapa faktor pendorong yang dapat menstimulasi permintaan terhadap asuransi di negara-negara maju maupun berkembang adalah faktor ekonomi (pendapatan nasional, expected inflation rate, dan harga atau premi dari suatu produk). Hal ini dapat terlihat lebih jelas jika kita merujuk pada situasi politik dan hukum di Indonesia, sebelum dan sesudah krisis keuangan Asia tahun 1997. Kondisi perekonomian Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan selama krisis keuangan 1997.

Berdasarkan indikator pemerintahan yang dipublikasikan oleh Kaufmann et al (2003), Indonesia memiliki skor kestabilan politik dan hukum yang paling rendah di antara negara-negara Asia lainnya. Sehingga bukan hal yang mengejutkan jika pasar asuransi di Indonesia juga terkena dampak yang berat akibat krisis keuangan 1997, dimana pasar asuransi mengalami penurunan premi hingga 55% pada 1997 – 1998 (Sigma, 1999a,b). Hal ini juga terkait dengan adanya peningkatan insolvensi dan penarikan modal di seluruh sektor keuangan, termasuk industri asuransi.

 

 

(Reinfokus II, 2015)

*********

Referensi :

Hussels S., W. Damian, and R. Zurbruegg. 2005. Stimulating the

Demand for Insurance. Risk Management and Insurance Review.

Vol 8 : 257-278.

Setiawan, Sigit. 2013. Prospek dan Daya Saing Sektor

Perasuransian Indonesia di Tengah Tantangan Integrasi Jasa

Keuangan ASEAN. http : // www.kemenkeu.go.id / sites / default /

files / 2013 _ kajian _ pkrb _ Prospek _ Sektor _ Perasuransian _

Indonesia _ Dalam _ AEC _ 2015.pdf. 05 Agustus 2015.

Ward, D. and R. Zurbruegg. 2000. Does Insurance Promote

Economic Growth? Evidence from OECD Countries. Journal of Risk

and Insurance. Vol 67 (4) : 489 – 507.

https://stats.oecd.org/

https://bi.go.id/

https://bps.go.id/

Penulis

Diyah Nugraheni, SE., AAAIK

Email: diyah@indonesiare.co.id