28 March 2019 2130
Berita

INDUSTRI KEUANGAN : Skema Baru Pemeringkatan IKNB (oleh Frans Sahusilawane)

Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberlakukan skema baru pemeringkatan industri keuangan non-bank (IKNB), yang diadopsi-adaptasi dari risk-based bank rating, patut disambut positif, khususnya dalam konteks industri asuransi.

Harapannya, skema ini bukan sekadar revisi kedua dari skema risk-based capital (RBC) yang telah berlaku di industri ini sejak 1998 tetapi merupakan sebuah smart regulation.

Bambang Budiawan, Kadep Pengawasan IKNB 2B OJK, menjelaskan bahwa selain untuk menetapkan status pengawasan, strategi, dan tahapan penanganannya, skema ini mendorong perusahaan untuk prompt self corrective action guna peningkatan kinerja (Bisnis, 28/2). Itulah ciri smart regulation: regulasi yang menciptakan landasan usaha yang baik dan tidak menetapkan titik patok yang kaku.

Namun memberikan ruang bagi gerak dinamis, sekaligus menstimulasi pelaku usaha melakukan refleksi dan koreksi sendiri selaras dengan tujuan regulasi dimaksud.

Selain itu memberikan insentif bagi pelaku usaha berperilaku positif dan menciptakan sistem di mana regulator, selain menetapkan goals, juga ikut bersama pelaku usaha memikul tanggung jawab kesuksesan pelaksanaannya (e.g. Leitner, et al, 2010; Sahusilawane, 2014).

Skema ini memerlukan dua elemen utama. Pertama, set regulasi yang komprehensif dan tepat sasaran. Kedua, mekanisme pelaksanaan. Berikut beberapa masukan untuk penyusunan skema baru itu.

OJK dan asosiasi pelaku usaha (APU) terlihat sepakat bahwa perhatian serius perlu diberikan pada banyak keunikan industri asuransi yang berbeda dari pihak perbankan. Ada beberapa tips tambahan yang perlu disampaikan.

Pertama, dalam menentukan parameter dan setting the bar, regulator asuransi terlihat selalu mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha untuk dapat segera memenuhinya, atau menentukan target tinggi dengan time frame yang panjang.

Dalam model pertama, target ditentukan rendah. Semua berhasil lolos tetapi berhenti di situ bertahun-tahun pada level yang kemudian disalip oleh standar lokal negara tetangga (misalnya ketentuan modal minimum).

Dalam model kedua, pelaku usaha terlena untuk waktu yang panjang, kelimpungan di saat menjelang deadline, dan meminta perpanjangan waktu (misalnya ketentuan tenaga ahli profesi asuransi dan tenaga aktuaris).

Hal ini berbeda dari pendekatan regulator di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang penyusunan regulasinya selalu berorientasi pada standar internasional disertai roadmap jelas mengenai tahapan dan targetnya.

Itulah sebabnya di forum internasional kita miris melihat orang lebih mendiskusikan RBC versi Singapura atau Malaysia. Padahal mereka baru memulai setelah kita melakukan revisi pertama set RBC di pertengahan tahun 2000-an.

Kedua, dalam praktek internasional, selain standar regulator, berlaku standar industri/pasar yang rata-rata lebih tinggi 50%. Hal ini diterapkan di rating agencies maupun security committee perusahaan.

Bak mengikuti pendekatan ini, Bank Negara Malaysia mewajibkan setiap perusahaan menetapkan Individual Target Capital Level di atas Supervisory Target Capital Level (SCTL) 130%.

Dalam gambaran riil, baru-baru ini seorang CEO perusahaan reasuransi di Malaysia mengeluhkan level RBC perusahaannya yang sekitar 180% (jauh di atas SCTL) dan baru merasa nyaman pada level di atas 200%. Inilah buah smart regulation! Kita didorong terus berbenah diri ke arah standar tertinggi best practice.

Dalam beberapa tahun belakangan ini terlihat kemajuan dalam kerjasama OJK dan APU untuk bersama-sama memikul tanggung jawab kesuksesan pelaksanaan regulasi.

Namun dalam beberapa kasus terlihat mekanisme ini mandek somewhere somehow. Regulator perlu memastikan bahwa implementasi sistem pengawasan, termasuk menstimulasi prompt self corrective action berjalan baik untuk menjamin bahwa risiko bahaya dipadamkan ketika baru muncul. Tidak ketika apinya telah menjadi besar seperti yang terlihat dalam beberapa kasus belakangan ini.

Dalam kaitan ini kasus “engineered fee”, komisi asuransi eksesif yang menciptakan high-cost economy dan menyimpang dari amanah undang-undang perasuransian mengenai besaran premi (tidak boleh terlampau tinggi sehingga merugikan tertanggung; tidak boleh terlampau rendah sehingga membahayakan kelangsungan hidup penanggung), patut direnungkan bersama.

Menjalankan amanah undang-undang ini, OJK menetapkan tarif asuransi properti (AP) dan asuransi kendaraan bermotor (AKB) dan mengatur bahwa premi bersih yang diterima perusahaan asuransi (untuk membayar klaim, biaya administrasi, expected profit dan lain-lain) minimal 85% (AP) dan 75% (AKB) dari premi yang dibayar tertanggung.

Hal ini sesuai dengan besaran biaya akuisisi yang diasumsikan 15% (AP) dan 25% (AKB) dalam struktur tarif itu. Namun dalam beberapa tahun terakhir, biaya akuisisi itu telah meningkat menjadi 50%-70%. Artinya premi bersih yang diterima penanggung hanya 30%-50%.

Untuk mengatasi hal ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) meminta anggotanya melakukan kesepakatan bersama untuk tidak membayar komisi eksesif.

Bayangkan, diperlukan kesepakatan pelaku pasar untuk melaksanakan regulasi sesuai amanah undang-undang. Hanya ada di Indonesia! Jelas bahwa ada bagian dalam mekanisme pelaksanaan regulasi ini antara OJK dan APU yang mandek atau belum terbangun.

Berbagai kajian yang dilakukan pasca krisis finansial global 2008 menyimpulkan bahwa entitas asuransi bukan pemicu risiko sistemik meskipun ada beberapa perusahaan asuransi diidentifikasikan sebagai SIFI (systematically important financial institutions) dalam kerangka Dodd-Frank Act di Amerika.

Meskipun sulit membayangkan ada perusahaan asuransi kita tergolong entitas SIFI, regulator perlu mewaspadai terpicunya risiko sistemik dari agregasi pelaku melalui sistem kerja industri asuransi kita.

Menurut data AAUI, masalah “engineered fee” telah meningkatkan combined ratio perusahaan asuransi umum bertotal aset di bawah Rp500 miliar menjadi 103% di 2016 dan 104,5% di 2017, dan keadaannya mungkin makin buruk di 2018. Ini menyangkut kelangsungan hidup 80% perusahaan asuransi umum kita.

Masalah bisa muncul dari mekanisme saling mereasuransikan antar mereka. Meskipun hal ini diperbolehkan dalam regulasi, dengan kondisi pasar demikian suatu default berjamaah akan bisa memicu risiko sistemik seperti fenomena LMX Spiral yang hampir meruntuhkan Lloyd’s of London di awal 1990-an.

Sekadar gambaran, kasus default PT Asuransi R dua tahun lalu diketahui menimbulkan beban pada sebuah perusahaan asuransi mitra kerja reasuransinya sekitar Rp100 miliar, hampir sebesar ekuitas R. Itu baru satu mitra kerjanya. Regulator perlu memperketat batasan inward reinsurance perusahaan asuransi atau memberlakukan risk charge khusus, karena setiap unit liabilitas di sini hanya didukung oleh unit modal separuh dari yang berlaku bagi perusahaan reasuransi.

Sumber : Bisnis Indonesia