Perdagangan antar negara merupakan suatu aktivitas yang penting pada suatu negara dalam mendorong competitive advantage negara tersebut dengan negara–negara lain. Suatu negara apabila melakukan ekspor yang lebih banyak dari impor akan mencatat surplus neraca perdagangan pada akhir periode fiskalnya. Hal ini tentu akan berdampak positif seperti menambah pendapatan negara, memperluas lapangan pekerjaan, serta menjaga stabilitas moneter dan keamanan guna salah satunya adalah menjaga iklim investasi yang baik.
Dari sisi barang yang di ekspor, China, Amerika, dan Jerman masuk dalam posisi tiga terbesar di dunia. Namun, apabila dilihat dari current account dimana angka ini mencakup total ekspor dan impor, Jerman menduduki peringkat pertama sejak tahun 2016.
Sumber Data: OECD, Data diolah.
Apabila kita melihat data perdagangan China di atas, walaupun masih positif atau surplus, current account China terus mengalami penurunan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China juga mengalami perlambatan, pertumbuhan sebesar dua digit sejak tahun 2003 mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan terus menurun hingga di level 6% pada tahun 2018.
Hal ini tentunya pekerjaan rumah yang cukup sulit bagi pemerintah China dalam mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Hal ini menjadi semakin kompleks ditambah perang dagang antara China dan Amerika Serikat pada beberapa waktu belakangan ini.
Sumber data : World Bank, data diolah.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara salah satunya ditopang oleh kinerja negara tersebut dalam memproduksi barang dan jasa untuk dijual ke seluruh dunia. Salah satu faktor penting dalam perdagangan antar negara adalah nilai tukar mata uang. Apabila nilai suatu mata uang negara tertentu relatif lebih murah dari mata uang negara lain, maka nilai barang dan jasa dari negara tersebut juga menjadi relative lebih murah dari negara lain. Hal ini mengakibatkan negara lain akan cenderung memilih negara yang memiliki nilai tukar yang relatif lebih murah agar dapat salah satunya menekan biaya atau memaksimalkan keuntungan atas biaya yang rendah ini.
Belakangan ini kita mendengar di media bahwa perang dagang antara Amerika dan China belum menemukan titik temu bahkan cenderung semakin memanas. Sebagai partner dagang terbesar, tekanan perang dagang ini menjadi tantangan yang cukup besar bagi China. Hal ini disebabkan Amerika merupakan salah satu pangsa terbesar barang ekspor China. Dengan adanya tarif yang diberlakukan oleh Amerika bagi China, hal ini menjadikan barang – barang buatan China menjadi lebih mahal dari sebelumnya.
Oleh karena itu, peran nilai tukar menjadi cukup penting dalam menetralisir hal ini. Beberapa pekan yang lalu nilai tukar mata uang China melemah terhadap Dollar Amerika. Beberapa media menilai bahwa China telah melakukan manipulasi atas nilai tukarnya, namun pemerintah China membantah hal tersebut. Terlepas kebenaran tudingan tersebut, kita dapat melihat bahwa dalam rangka mempertahankan arus ekspor, stabilitas nilai tukar menjadi salah satu faktor penting dalam perdagangan antar negara. Dalam hal China dan Amerika Serikat, pelemahan nilai tukar ini seolah menjadi kompensasi atas tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Namun demikian, akankah tit-for-tat strategi ini akan terus berlanjut? Atau salah satu pihak sudah tau akan memenangkan ‘perang’ ini? Lets see.. Satu hal yang pasti adalah lembaga pemerintah dalam hal ini Bank Sentral harus cermat dalam mengambil kebijakan agar target pertumbuhan dan indikator ekonomi lainnya tetap tercapai.
References:
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?end=2018&locations=CN&start=2000