Pendahuluan
Menurut Undang – Undang Dasar 1945 pasal 33 disebutkan bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung di Indonesia dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyatnya. Namun pertanyaannya apakah negara sudah mampu mengelola dan memanfaatkan Sumber Daya Alam(SDA) yang dimilikinya?
Inti dari kegiatan hulu migas sebenarnya hanya 2, yaitu: kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. Sedangkan kegiatan hilir lebih kompleks lagi lingkupnya meliputi: kegiatan refinery/penyulingan, penyimpanan/storage, penjualan hingga distribusi hasil migas ke kegiatan rumah tangga langsung. Lalu tahapan apa saja yang harus dilewati sebuah korporasi jika ingin mendapatkan izin berbisnis hulu migas jika memang migas merupakan kekayaan milik “negara”?
Ada sekitar 5 tahapan dalam melakukan bisnis hulu migas :
1. Mendapatkan wilayah kerja dari institusi yang terkait
2. Kegiatan eksplorasi dan studi (teknis & ekonomis)
3. Pengembangan dan pembangunan fasilitas
4. Kegiatan ekstraksi, eksploitasi, dan pemeliharan
5. Penutupan fasilitas atau lebih dikenal dengan istilah control of well
*nomor 3&4 adalah peralihan kegiatan eksplorasi ke eksploitasi
Pada tahapan awal ada yang namanya mendapatkan wilayah kerja, apa maksudnya ? Ada beberapa faham ternyata di dunia ini terkait dengan pengelolaan SDA Migas :
1. Faham State Property (dimiliki negara)
2. Faham Private Property (dimiliki swasta)
3. Faham Communal Property (dimiliki masyarakat sekitar)
4. Faham No-Property (dimiliki oleh seluruh orang)
Dimana semua faham diatas sangat bergantung pada state regulation yang dianut sebuah negara, lalu apakah bisa katakanlah, jika faham sebuah negara berkesan sangat state property namun ada perusahaan yang ingin mengelola dengan cara private property ? Jawabannya mungkin saja, karena bisnis hulu migas merupakan bisnis yang bisa dikatakan berisiko tinggi. Salah satunya adalah risiko eksplorasi yang biasanya diukur dengan indikator rasio keberhasilan eksplorasi nya, rasio tersebut merupakan perbandingan keberhasilan eksplorasi dengan jumlah eksplorasi yang dilakukan sebuah negara dalam setahun.
Kegiatan eksplorasi membutuhkan investasi yang tidak sedikit, butuh orang-orang terbaik, butuh teknologi tercanggih mulai dari tahapan studi geologi, perencanaan, analisa ekonomi hingga drilling eksplorasi. Maka dari itu pada tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan PP 79 Tahun 2010 mengenai perhitungan biaya operasional migas yang dapat dikembalikan plus insentif pajak bagi pelaku bisnis migas untuk meningkatkan investasi migas di dalam negeri.
I.1 Menilai Kinerja Hulu Migas
I.1.1 Rasio Keberhasilan Eksplorasi
Rasio keberhasilan eksplorasi berfluktuasi setiap tahunnya tergantung pada jumlah kegiatan eksplorasi dan jumlah sumur yang berhasil dibuktikan cadangan minyaknya. Dari tahun 2001 s/d 2016 rata-rata rasio keberhasilan eksplorasi di Indonesia sekitar 56%, hal ini juga menandakan tingkat kemudahan menemukan cadangan migas di Indonesia.
I.1.2 Perbandingan Rasio Keberhasilan Eksplorasi dan Biaya
Sebagai pelengkap bahan pertimbangan perlu dilekatkan biaya sebagai bahan pertimbangan investor menentukan strategi bisnisnya. Terlihat di tahun 2017 geliat untuk melakukan investasi eksplorasi 2 kali lipat dari yang dilakukan di tahun 2018 meskipun jika dilihat dari “ratio keberhasilan” lebih kecil, ditambah lagi biaya eksplorasi yang dikeluarkan investor pada tahun 2017 lebih besar tentunya. Kepastian hukum yang long term konon menjadi penghambat dari investasi di bidang migas ini toh selama ini di Indonesia seluruh biaya eksplorasi merupakan tanggungjawab investor (mau pake gross split atau cost recovery).
I.1.3 Kinerja Lifting
Terdapat 2 alasan mengapa lifting dijadikan dasar pengukuran :
1. Besarnya lifting menandakan besarnya kegiatan di suatu lapangan migas
2. Lifting migas berdampak langsung terhadap penerimaan pajak
Kedepan jika memang tidak ada kegiatan eksplorasi baru maka ada penerapan teknologi bisa dijadikan salah satu jalan keluar, salah satu yang paling popular adalah Enhancement Oil Recovery (EOR) yang merupakan pengurasan sumur migas menggunakan artificial lifting.
I.1.4 Replacement Lifting Ratio (RRR)
Replacement Lifting Ratio (RRR) menunjukkan seberapa besar ekstraksi migas mampu diganti dengan penemuan migas baru. Faktanya di Indonesia sendiri dalam kurun waktu 5 tahun terakhir nilai Replacement Lifting Ratio (RRR) kurang dari 50% dimana nilai ini jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, Australia, dan India yang memiliki Replacement Lifting Ratio (RRR) indeks lebih dari 50%.
I.1.5 Investasi
Pada dasarnya terdapat rumus pasti dalam dunia hulu migas dimana investasi besar harus dibarengi dengan peningkatan ekstraksi migas, atau untuk lebih mudahnya dapat dilihat dari penjualan migas. Ketika penjualan migas mengalami peningkatan berarti ada penambahan investasi di “wilayah kerja” atau lapangan migas tersebut. Puncak investasi migas di Indonesia sendiri terjadi pada 2013, dan sebaliknya penurunan paling tajam mulai terjadi dari 2016 hingga sekarang. Menurut modelnya investasi migas dibagi hanya menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Investasi di “wilayah kerja” atau lapangan migas lama
2. Investasi di “wilayah kerja” atau lapangan migas baru.
II. Tata Kelola Migas
Tata kelola migas adalah serangkaian proses, kebijakan, aturan, dan cara kerja serta hubungan kerja antar institusi yang dimaksudkan untuk menentukan arah dan tujuan pengelolaan migas di Indonesia. Untuk kasus di Indonesia sendiri ada jenjang untuk tata kelola hulu migas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain:
Dasar Pijakan ? Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2-3
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.”
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kebijakan Umum ? Undang-undang Migas Tahun 2001
Sejatinya rencana untuk merevisi undang-undang ini sudah ada sejak tahun 2010, namun realisasinya baru mulai dibahas pada 2018 dan masih jalan di tempat hingga saat ini. Salah satu hal yang menjadi topik bahasan adalah pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, dimana SKK migas yang fokus di kegiatan hulu akan dilebur fungsinya dengan BPH Migas yang lebih banyak mengurusi kegiatan hilir. Perdebatan panjang masih berlangsung antara Pemerintah dan DPR, dimana Pemerintah masih menginginkan adanya pemisahan antara regulator di hulu dan hilir.
Kebijakan Pelaksanaan ? PP, Perpres, Permen, dll
Aturan terkait operasional dan teknis juga harus diperhatikan untuk mengatur hal-hal pokok dan prinsip dalam pengusahaan migas, seperti : Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peratruan Menteri (Permen).
Berikut merupakan Permen & Kepmen ESDM terkait pengelolaan migas :
1. Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan WK yang berakhir kontraknya
2. Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan & Penawaran WK Migas Nonkonvensional
3. Permen ESDM Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kerja Migas
4. Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang Jenis Biaya yang Tidak Dapat Dikembalikan
5. Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengembalian Wilayah Kerja
6. Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2008 tentang DMO Kontraktor KKS
7. Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pedoman Survei Umum
Selain itu ada juga Permen &Kepmen Keuangan untuk menunjang bisnis hulu migas ini, seperti :
1. Permen Nomor 34/PMK.03/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan untuk Bentuk Kontrak Bagi Hasil dengan Biaya Operasi
2. Permen Nomor 70/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara serta Perhitungan Pajak Penghasilan dari Kegiatan Hulu Migas.
3. Permen Nomor 124/PMK.02/2016 tentang Petunjuk Teknis Akuntansi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Hulu Migas
4. Permen Nomor 131/PMK.03/2017 tentang Tata Usaha PBB Sektor Pertambangan Migas
5. Permen Nomor 158/PMK.02/2016 tentang Tata Cara Pembayaran PPN atas Barang Mewah
Model Pengelolaan SDA Migas
Variasi model pengelolaan migas sangat beragam, tetapi secara umum dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu model izin dan model kerja sama. Model pengelolaan migas juga bergantung dari UU Migas yang “dianut” sebuah negara lalu diaplikasikan dengan model kontrak kerja sama atau bentuk lain yang lebih menguntungkan bagi negara, terbaru model yang akan diaplikasikan di Indonesia terkait pengelolaan migas mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Skema Gross Split.
II.1 Pengawasan dan Pengendalian
Skema diatas adalah model bisnis migas yang ada di Indonesia, dapat kita ketahui karakter dari masing-masing model dengan cara bagaimana pengawasan negara sebagai pemilik kekayaan alam. Untuk model izin biasanya pemerintah memberikan kewenangan penuh terhadap kontraktor migas mengatur dirinya sendiri dan pemerintah akan “memajaki” perusahaan dari royalty dan pajak yang sudah diatur dalam kontrak. Sedangkan, untuk model kontrak kerja peran pengawasan dari negara akan lebih besar karena dianggap pemilik “kekayaan” dan nantinya pendapatan negara diperoleh dari pembagian revenue atau profit.
UU Migas Tahun 2001 merupakan ekspresi reformasi 1998, dimana dulu saat kita masih berpegang pada UU Nomor 8 Tahun 1971 dimana Pertamina mendominasi seluruh rantai bisnis migas akhirnya saat ini kewenangan Pertamina bisa dibatasi.
Skema bisnis menurut UU No. 22 Tahun 2001 bertahan lebih dari 10 tahun hingga pada 2012 ada sekitar 10 organisasi islam plus 32 perwakilan masyarakat dengan dipimpin Prof. Din Syamsudin waktu itu mengajukan perubahan Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap kewenangan BP Migas setara dengan negara sehingga fungsi pengawasan akan sulit dipraktekkan, maka Mhakamah Konstitusi waktu itu mengeluarkan putusan MK No. 36/ PUU-X/2012 yang intinya 2 hal, yaitu :
1. Merubah keberadaan BP Migas menjadi SKK Migas melalui Perpres No. 3 Tahun 2013
2. Merubah posisi SKK Migas menjadi dibawah Kementerian ESDM
Hingga akhirnya jenjang tata kelola migas menjadi :
Dari jenjang tata kelola yang baru tersebut terdapat beberapa alternatif skema yang dimungkinkan dapat diaplikasikan, seperti :
Alternatif 1
Alternatif 2
Alternatif 3
Jika ditimbang-timbang dari ketiga alternative diatas ada plus minus di setiap pilihannya, yang jelas pemerintah sebagai pemilik kekayaan SDA harus memperhitungkan risiko, besaran modal yang dimiliki, kondisi global, dan yang paling penting adalah peraturan (mulai dari undang-undang sampai dengan aturan operasionalnya).
Daftar Pustaka
Pudyantoro, A. Rinto. 2019. Bisnis Hulu Migas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.