Pengetahuan Umum
Evolusi dan Agility: Clean Inside, Lean Outside
Di dalam tulisan saya sebelumnya, saya menuangkan gagasan mengenai pandemi sebagai katalis dari
intelligent learning yang terasa semakin dekat. Jika pandemi adalah katalis, maka formula awal dari evolusi adalah
agility.
Agility bukan hanya mengenai kecepatan dan kelincahan. Dalam hal perkembangan teknologi,
agility adalah kesinambungan (
sustainability), bahkan dalam keadaan ekstrem sekalipun.
Agility is a team game.
Agility membutuhkan sikap proaktif dan kolaboratif dari semua pihak yang terlibat, khususnya pengembangan teknologi.
Agile manifesto sendiri menyebutkan bahwa:
Customer collaboration over contract negotiation
Responding to change over following a plan
hal ini membuktikan bahwa sejatinya
agile adalah cikal bakal dari
sustainability. Respon yang terus menerus dan berkesinambungan lebih diutamakan dibandingkan dengan mengikuti rencana yang dalam konteks ini memiliki kemungkinan tingkat relevansi yang berkurang atau bahkan sudah tidak relevan dengan keadaan.
Melakukan
data entry mungkin sudah tidak relevan lagi jika tujuannya adalah untuk melakukan efisiensi administrasi, ada teknologi yang lebih efisien, yaitu OCR. Menggunakan
password yang berbeda-beda antara satu sistem dengan yang lainnya sudah tidak relevan lagi bagi pihak-pihak yang sudah mengandalkan sistem SSO dan
Active Directory. Menggunakan
physical storage sudah tidak relevan lagi bagi pekerja yang membutuhkan
data-on-demand, penyimpanan
cloud sebagai solusinya. Faktanya, tingkat relevansi antara masalah dengan solusi memiliki
time frame yang sangat singkat. Dari hitungan dekade menjadi hitungan tahun, dari tahun menjadi bulan, dari bulan menjadi hari. Akan selalu ada evolusi lahir setiap hari dari tim-tim yang sudah menerapkan
agile.
No gain without pain
Singkatnya
time frame yang dimiliki akibat menurunnya tingkat relevansi antara masalah dengan solusi tentu memiliki dampak signifikan, terutama untuk para
software developer. Sejatinya, setiap
software yang dihasilkan akan memiliki dua
value berbeda untuk para stakeholder, yaitu
behavior dan
architecture[1]. Software developer dipekerjakan untuk membuat
software dengan
behavior yang menghasilkan uang atau menghemat
cost dengan membantu para stakeholder mengembangkan spesifikasi fungsional atau dokumen
requirement, kemudian menulis program yang memenuhi
requirement tersebut. Di sisi lain,
software yang dihasilkan memiliki struktur yang “soft” dengan tujuan agar
behavior dari sistem dapat diubah dengan mudah ketika kondisi awal
requirement menjadi sudah tidak relevan lagi.
Software developer bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kedua nilai tersebut agar
software yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi dalam
time frame yang ada. Semakin singkat
time frame yang dimiliki, semakin besar
effort yang dilakukan untuk mempertahankan
agility. Pekerjaan yang sulit dan menyakitkan, tapi sangat mungkin untuk dilakukan.
Akan selalu ada
shortcut untuk dapat menghantarkan produk/sistem di dalam
time frame yang sudah ditentukan, namun bukan berarti
shortcut tersebut memiliki konsekuensi lebih kecil dibandingkan jalan yang seharusnya. Adalah hal umum bagi stakeholder dalam
software development untuk mementingkan fungsionalitas dibandingkan fleksibilitas sistem kedepannya, dan para
software developer umumnya tidak menentang
attitude tersebut. Namun,
attitude ini bukanlah
attitude yang baik dalam prinsip
agile, bahkan bisa mengakibatkan menurunnya kualitas dari
software yang dihasilkan, atau lebih buruk,
software yang dihasilkan memiliki kualitas yang rendah.
Ada tiga alasan yang solid mengapa sebuah software memiliki kualitas yang rendah,
- Tim developer tidak mengetahui teknik dan praktik untuk mengembangkan aplikasi berkualitas tinggi
- Tim developer tidak diizinkan oleh stakeholder untuk mengembangkan aplikasi berkualitas tinggi karena hal tersebut dianggap menyita waktu dan terlalu mahal
- Tim developer tidak memiliki motivasi untuk melakukannya
Joshua Partogi dalam Manajemen Modern dengan SCRUM, 2015 |
Idealnya, agar tetap mempertahankan
agility, software developer harus memetakan
scope delivery perubahan untuk membedakan mana yang penting (
important) mana yang mendesak (
urgent). Mantan Presiden Amerika Serikat ke-34, Dwight D Eisenhower menciptakan matriks hubungan antara
importance dengan
urgency.
“I have two kind of problems,the urgent and the important. The urgent are not important, and the important are never urgent”
Jika kita hubungkan antara
value yang harus dihasilkan oleh
software developer dengan matriks diatas, kita akan setuju bahwa:
value behavior dari
software bersifat
urgent tapi tidak selalu
important, dan
value architecture dari
software bersifat
important tapi tidak memiliki urgensi yang tinggi
meskipun dalam beberapa kondisi khusus kita dapat menemui
value behavior dan
value architecture bisa menjadi hal yang sama-sama
important dan
urgent. Dan bila diurutkan dalam skala prioritas maka:
- Urgent dan important
- Tidak urgent namun important
- Tidak important namun urgent
- Tidak important dan tidak urgent
Value behavior dapat kita letakan pada prioritas nomor 1 apabila ada kasus khusus (seperti pandemi) dan pada nomor 3, sementara untuk
value architecture dapat kita letakan pada prioritas nomor 2.
Kesalahan yang sering dibuat oleh stakeholder dan
software developer rangka demi mempertahankan
agility adalah menaikan derajat prioritas yang ada di prioritas nomor 3 menjadi prioritas nomor 1. Dengan kata lain, kita telah gagal untuk memisahkan mana fitur/
deliverable yang
urgent namun tidak
important dengan mana yang benar-benar
urgent dan
important. Kegagalan ini mengarah pada diabaikannya arsitektur sistem yang penting demi fitur sistem yang tidak penting. Bila arsitektur sistem menjadi prioritas terakhir maka sistem akan semakin sulit untuk di-
develop, semakin “boros”, bahkan mustahil untuk diubah hingga akhirnya akan memperlambat
agility atau
agility menjadi 0.
It’s always people problem, mengapa konsep
agile menjadi sangat menyakitkan untuk dilakukan. Banyak yang berpikir bahwa permasalahan dalam pengembangan
software dapat dipecahkan dengan meningkatkan kapasitas maupun kualitas teknologi yang digunakan. Namun akar dari permasalahan tersebut terletak pada peletakan prioritas yang tidak proporsional terhadap risiko akan perubahan dan evolusi.
Clean inside, lean outside
Peletakan prioritas yang tidak proporsional yang disebutkan pada paragraf sebelumnya bukan hanya berkaitan dengan proporsi
backlog development, namun juga erat kaitannya dengan kepedulian dari para
developer dalam membuat sistem yang bersih dan
lean namun tetap kompatibel, yang dalam hal ini bukan hanya sekedar mengenai
value arsitektur sistem, namun juga
value behavior yang berasal dari kode program yang ditulis.
Menulis kode program sama seperti menulis sebuah buku. Kode harus dapat dimengerti dan dibaca berulang-ulang tidak hanya oleh
software developer yang menulisnya, namun juga oleh
developer lainnya yang bahkan bukan berada di
environment asal kode tersebut muncul. Kode awal yang ditulis ibaratkan seperti
draft dimana masih terdapat tulisan-tulisan yang masih dipertimbangkan fungsi-fungsinya, belum
fully-functioned, dan masih “kotor” (
dirty code).
S
oftware developer yang telah menerapkan konsep
agile akan terus-menerus membersihkan
dirty code atau yang disebut dengan
refactoring. Hal ini dilakukan karena para
developer menyadari bahwa
software dibuat bukan hanya untuk sekali pakai, namun juga harus memiliki sifat
sustain selama mungkin. Bukan hal yang mustahil apabila pengembangan atau
update selanjutnya akan dilakukan oleh tim yang berbeda.
Developer selanjutnya akan membaca kode yang ada sebelum memperbaiki
defect atau menambah fitur.
Bila kode dari
software kotor, maka akan memakan waktu lebih lama untuk dapat memahami algoritma dan
logic dari
software tersebut. Bahkan di keadaan yang lebih buruk, dengan adanya
dirty code, software developer akan kesulitan dalam menemukan letak masalah/
bug dari program. Waktu yang digunakan untuk menemukan masalah/
bug ini dapat memakan waktu lebih lama dibandingkan membuat inovasi baru. Permasalahan ini akan menurunkan
agility karena seperti yang kita sama-sama pahami bahwa
time frame dari relevansi sebuah
software semakin kesini semakin singkat.
Melakukan
programming - refactoring - testing yang menghasilkan kode bersih (
clean code) mungkin akan membutuhkan sumber daya yang lebih banyak dibandingkan merilis
software yang “asal jalan”, namun apabila
agility dan
sustainability merupakan prinsip utama agar sistem yang dikembangkan memiliki
return on investment yang tinggi, melakukan praktik
clean code menjadi sebuah kewajiban. Sedangkan untuk menjaga
value arsitektur, beberapa pakar
system architecture mengemukakan ide-ide mereka mengenai
clean architecture, seperti
Hexagonal Architecture yang dikembangkan oleh Alistair Cockburn dan diadaptasi oleh Steve Freeman dan Nat Pryce dalam buku
“Growing Object Oriented Software with Tests”, Data-Context Interaction (DCI) oleh James Coplien dan Trygve Reenskaug, dan juga
Boundary-Control Entity (BCE) yang diperkenalkan oleh Jacobson dari bukunya yang berjudul “
Object Oriented Software Engineering: A Use-Case Driven Approach”.
Meskipun ketiga konsep arsitektur tersebut memiliki perbedaan pada detail dan spesifikasinya, mereka memiliki objektif yang sama, yaitu pemisahan antara
business rules, system dan
user interface. Secara detail, masing-masing dari konsep tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Independen dari framework dimana arsitektur sistem tidak bergantung pada keberadaan library dari framework tersebut,
- Testable dimana business rules dapat dites tanpa menggunakan user interface (UI), database, web server atau elemen eksternal lainnya,
- Independen dari UI, sehingga apabila terjadi perubahan pada UI tidak akan mempengaruhi sistem dan business rules
- Independen dari database dimana sistem dapat diimplementasikan pada server database manapun tanpa mempengaruhi business rules
- Independen dari agent eksternal manapun
Masing-masing area lingkaran pada
clean architecture merepresentasikan area yang berbeda dari
software. Secara umum, semakin dalam area lingkaran, maka semakin tinggi level dari
software tersebut. Lingkaran terluar adalah mekanisme, sedangkan lingkaran terdalam adalah
policies. Aturan utama yang membuat arsitektur ini berfungsi disebut dengan
Dependency Rule dimana ketergantungan
source code harus mengarah ke arah dalam, menuju ke arah
policies.
Segala sesuatu di lingkaran dalam, tidak memiliki keterkaitan dengan segala sesuatu di lingkaran luar. Secara khusus, spesifikasi yang ada di lingkaran luar tidak boleh dideklarasikan pada kode yang ada di lingkaran dalam, termasuk di dalamnya nama fungsi, nama kelas, nama variabel, dan entitas
software lainnya. Sehingga apapun yang terjadi pada lingkaran luar, tidak akan berdampak apapun pada
policies.
Mematuhi aturan sederhana ini tidak sulit, dan itu akan menghemat banyak sumber daya kedepannya. Dengan memisahkan
software menjadi beberapa lapisan dan menyesuaikan dengan
Dependency Rules, kita dapat membuat sistem yang dapat diuji secara intrinsik termasuk dengan semua benefit dan fitur yang terkandung. Apabila salah satu bagian eksternal dari sistem menjadi tidak relevan lagi dengan teknologi terkini, seperti database atau
framework, elemen-elemen itu dapat diubah dengan minimum
effort.
Agile, Agile, Agile
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
agility lebih kepada
people problem dimana ada andil dari sikap dan cara dari para
software developer dan stakeholder dalam merencanakan bagaimana sistem dikembangkan dan dipelihara adalah kunci utama. Praktik
clean code dan
clean architecture tidak dapat dianggap remeh jika ingin mempertahankan
sustainability dan adaptif dalam kondisi ekstrem sekalipun. Pun jika kita belum berada pada lingkungan dengan standar
clean code dan
clean architecture yang tinggi, saya rasa belum terlambat untuk mulai berbenah diri sebagai
knowledge worker.
Tantangan ke depan mungkin akan semakin berat dengan semakin canggihnya teknologi yang lahir setiap menitnya. Manusia sebagai
knowledge worker adalah yang menciptakan teknologi, manusia adalah
starting point dari lahirnya inovasi dan kreasi baru, manusia adalah poros dari evolusi. Mempertahankan
agility dalam menghadapi evolusi adalah sebuah
long life mission agar tetap berada di dalam standar kehidupan manusia yang lebih baik. Sekarang mari kita merefleksikan apa yang sudah dilakukan, apakah kita sudah cukup
agile dalam beradaptasi di era ini?