14 December 2016 3724

Menghadapi Unfair Situation di Pasar Internasional

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi peristiwa katastropik, khususnya gempa yang cukup besar. Hal ini merupakan ancaman sekaligus peluang bagi industri asuransi.

Ancaman karena jika terjadi dapat mengakibatkan sebuah perusahaan kewalahan membayar klaim yang timbul akibat gempa bumi terutama bagi perusahaan yang tidak memiliki cukup proteksi reasuransi atau cadangan modal. Peluang karena ini berarti industri asuransi memiliki sumber pendapatan/premi.

Namun indonesia bukanlah satu-satunya negara/daerah yang menyumbangkan kejadian katastropik. Gempa bumi, StormTyphoon juga sering terjadi dan mengancam negara-negara lain. 

Keluhan yang sering dialami oleh industri asuransi indonesia adalah naiknya harga excess of loss akibat dari kejadian katastropik di luar negeri yang menyebabkan reasuradur global menderita kerugian yang besar.  Argumen bahwa Indonesia tidak mengalami klaim katastropik tidaklah dapat diterima untuk tidak menaikkan harga excess of loss pada renewal berikutnya. Alhasil industri asuransi indonesia ikut menanggung beban yang terjadi di negara/benua lain.

Penulis melihat ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh industri asuransi dan Pemerintah untuk mengatasi keadaan ini.

 

1. Kebutuhan perusahaan reasuransi yang besar sebagai alat menghadang pengaruh kejadian Katastropik di LN.

Saat ini sebagian besar risiko ditransfer ke pasar internasional karena kapasitas dalam negeri tidak cukup untuk menampungnya. Sudah saatnya industri asuransi Indonesia dan pemerintah memikirkan dibentuknya perusahaan reasuransi berskala internasional yang mampu menampung sebagian besar risiko. Kebutuhan ini semakin mendesak jika melihat defisit neraca pembayaran setiap tahunnya.

Di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara ternyata peran pemerintah di dalam membidani perusahaan reasuransi berskala internasional sangatlah besar. Jika kita melihat beberapa perusahaan di kawasan ini ternyata mereka adalah BUMN atau paling tidak peran pemerintah di awal pendirian adalah cukup besar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal, yakni;

  1. keinginan untuk mempertahankan premi di dalam negeri;
  2. ketertarikan swasta sangat minim di bidang ini.

Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia sudah seharusnya mendirikan perusahaan reasuransi yang dapat menampung risiko yang signifikan dan

membantu pertumbuhan ekonomi.

Contoh keterlibatan pemerintah di beberapa perusahaan reasuransi di asia;

  • Korean Re (awalnya adalah BUMN)
  • Malaysian Re (BUMN)
  • Singapore Re (BUMN)
  • Thailand Re (BUMN)
  • Taiping Re (BUMN)
  • China Re (BUMN)
  • Toa Re (Pernah menghentikan bisnis reasuransi karena pemerintah mendirikan reinsurance agency).

Secara lambat laun pemerintah di masing-masing negara menarik diri setelah perusahaan yang bersangkutan mampu mandiri untuk bersaing di market internasional. Sebut saja Korean re yang menguasi 60% market reasuransi domestik yang kini sudah termasuk big player (peringkat 11 Standard & Poor’s dalam hal net premium tahun 2010) secara internasional.

Melihat kenyataan bahwa sebenarnya pendirian perusahaan reasuransi di Indonesia sudah lebih dulu daripada perusahaan-perusahaan reasuransi di beberapa negeri tetangga maka sudah seharusnya industri reasuransi indonesia lebih kuat dibanding mereka (lihat time-line).

 

2. Reciprocal sesama perusahaan reasuransi Asia/Asia Tenggara

Kebutuhan reciprocal saat ini terkendala dengan persyaratan rating internasional minimum. Baik Pemerintah Indonesia maupun asing sama-sama menerapkan persyaratan minimum rating internasional untuk dapat menjadi reasuradur. Dampaknya hal ini menghalangi Prof-re untuk dapatmenjual produk reasuransi di market regional. 

Sudah harus dipikirkan untuk menyepakati persyaratan regional untuk dapat menjalankan bisnis secara reciprocal tanpa harus mempersyaratkan rating minimum internasional namun memiliki standar regional yang disepakati oleh masing-masing negara. Sekali lagi peran pemerintah sangat dibutuhkan.

 

3. Cadangan Katastropik/Cat reserve

Sebagai mekanisme menanggung risiko sendiri, cadangan katastropik dapat dibentuk namun harus diingat untuk waktu yang sangat panjang mekanisme ini haruslah sebagai mekanisme pelengkap bukanlah pengganti program reasuransi dikarenakan pemupukan cadangan katastropik haruslah dalam jangka panjang, semisal 20 tahun tergantung dari peristiwa katastropik dalam negeri dan besarnya cadangan yang dipupuk tiap tahunnya.

Ketiga hal di atas diharapkan dapat memperkuat posisi industri (re)asuransi indonesia untuk mengimbangi pemain internasional di pasar domestik. 

Industri asuransi Indonesia akan mampu menjaga kestabilan harga reasuransi ketika kejadian katastropik terjadi di belahan dunia yang lain karena kapasitas dalam negeri sudah mencukupi sebagian besar kebutuhan. Sebaliknya ketika kejadian katastropik terjadi di indonesia maka produksi premi dari luar negeri melalui program reciprocal akan mampu menopang underwriting result yang kurang bagus di dalam negeri. Di sisi lain kemampuan retensi risiko oleh ceding company akan semakin tinggi sehingga ketergantungan kepada reasuransi luar negeri semakin kecil.

 

 

(Reinfokus edisi III, Tahun 2012)

Penulis

Amir M. Lumbantobing, SE.Ak., ACII

Email: amir@indonesiare.co.id