08 December 2016 8417

Money Laundering di Perusahaan Asuransi

Kejahatan pencucian uang (money laundering) belakangan ini makin mendapat perhatian dari berbagai kalangan, hal ini disebabkan karena kejahatan money laundering ini mempengaruhi sistem perekonomian. Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan non Bank sering kali digunakan sebagai kendaraan untuk melakukan tindak pidana pencucian uang hal ini berkaitan dengan berkembangnya produk–produk asuransi dengan investasi.

Apa itu money laundering?

Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, definisi pencucian uang adalah sebagai berikut; “perbuatan menempatkan, mentrasfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukar, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta kekayaan sehingga seolah–olah menjadi Harta Kekayaan yang sah”

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang. Tahap pertama adalah Placement. Pada tahap ini pemilik uang berusaha menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Contohnya adalah menempatkan dana pada Bank atau perusahaan jasa keuangan lain dan diikuti dengan pengajuan kredit Tahap kedua adalah Layering dimana si pemilik dana melakukan pemindahan dana dari beberapa rekening ke tempat lain atau rekening lain melalui transaksi yang kompleks untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Kadang si pemilik dana menggunakan nama orang lain untuk menyamarkan identitas. Tahap terakhir adalah Integration. Pada tahap ini si pemilik dana bisa mengguna dana yang tampak sudah sah untuk keperluan yang lain seperti investasi atau membiayai kegiatan bisnis.

Keputusan Menteri Keuangan No 74/KMK.012/2006

Berkaitan dengan pencegahan money laundering pada penyedia jasa keuangan non Bank, pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006 mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer). Dalam Keputusan Menteri ini, terdapat 2 kebijakan dalam rangka Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yaitu Kebijakan Pengorganisasian dan Kebijakan

Prinsip Mengenal Nasabah

Dalam Kebijakan Pengorganisasian, Perusahaan Asuransi wajib membentuk Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (UKPN) dan merupakan tanggung jawab dari Direktur Utama. Tugas pokok UKPN ini antara lain memastikan adanya pengembangan sistem dan prosedur identifikasi nasabah dan transaksi yang mencurigakan, melakukan koordisani dan pemantauan terhadap prinsip mengenal nasabah serta menyusun laporan transaksi yang mencurigakan dan menyampaikan laporan tersebut kepada Menteri Keuangan atau PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan). Sedangkan untuk masing–masing kantor cabang, ditunjuk satu orang yang menjabat sebagai Petugas Prinsip Mengenal Nasabah (PMN).

Dalam Kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah, Perusahaan Asuransi harus menyediakan Form mengenai nasabah dan panduan dalam Prinsip Mengenal Nasabah ini. Nasabah harus mengisi data pada Form Pengajuan Asuransi Jiwa secara lengkap dan juga melengkapi dokumen pendukung. Dokumen yang berkaitan dengan identitas nasabah, termasuk agen atau broker dan atau pihak lain (penerima manfaat), harus disimpan sampai dengan jangka waktu 5 tahun. Sedangkan profil nasabah sekurang–kurangnya harus mencakup:

  • Identitas
  • Pekerjaan dan Bidang Usaha
  • Jumlah Penghasilan
  • Rekening yang dimiliki
  • Tujuan Asuransi

Dokumen pendukung yang harus ada:

Kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah ini menyebabkan seorang Underwriter tidak hanya melihat risiko dari segi medisnya saja namun juga harus melihat risiko dari sisi financial-nya. Oleh karena itu setiap Underwriter harus lah memahami prinsip–prinsip dari Financial Underwriting. Berikut ini adalah beberapa contoh transaksi – transaksi yang mencurigakan:

  1. Permintaan untuk Asuransi dengan pembayaran premi sekaligus yang besar sekali.
  2. Usaha–usaha untuk menggunakan cek pihak ketiga untuk pembelian polis
  3. Tertanggung membeli polis yang mahal dengan Uang Pertanggungan besar dan dalam jangka waktu pendek membatalkan polis tersebut, meminta pengembalian uang dalam bentuk tunai atau diberikan kepada pihak ketiga.
  4. Tertanggung membeli polis yang nilainya jauh diatas kemampuan keuangan yang wajar dari nasabah
  5. Tertanggung berusaha meminjam nilai tunai maksimum dari suatu polis single premium sesaat setelah polis inforce.

 

 

(Reinfokus edisi I, tahun 2012) 

Penulis

dr. Yudyarini Pramita Handayani, AAAIJ, FLMI, ACII

Email: mita_handayani@indonesiare.co.id