Masifnya persebaran COVID-19 memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian dunia. Meskipun di negara-negara yang paling awal terdampak COVID-19 seperti Tiongkok dan Korea Selatan, tren penambahan pasien positif COVID-19 sudah mulai menunjukan penurunan, namun di negara-negara lain, termasuk Indonesia, tren tersebut masih menunjukan peningkatan. Pemerintah Indonesia masih berupaya melakukan penekanan angka penduduk terdampak COVID-19, salah satunya melalui himbauan untuk melakukan physical distancing. Himbauan akan physical distancing dapat diterjemahkan sebagai suatu pembatasan atas aktifitas masyarakat di luar rumah. Hal ini berdampak pada terjadinya gangguan bisnis pada beberapa sektor, seperti restoran dan perhotelan yang mengalami penurunan omset yang cukup signifikan[1].
Pandemi COVID-19 juga berdampak pada terhambatnya rantai pasok bahan baku industri pengolahan di Indonesia. Dua sektor industri yang terdampak diantaranya adalah farmasi dan tekstil. Kedua sektor tersebut selama ini mendapatkan supply bahan baku dari Tiongkok. Sebagai contoh, sebanyak 60-62% supply bahan baku untuk industri obat-obatan berasal dari provinsi Hubei yang merupakan episentrum dari penyebaran COVID-19[2]. Ketidakpastian pengiriman bahan baku tersebut tentunya dapat menyebabkan gangguan bisnis pada para pelaku industri.
Gangguan bisnis yang terjadi akibat COVID-19 menimbulkan suatu pertanyaan mengenai apakah kerugian akibat gangguan bisnis tersebut dapat ditanggung oleh asuransi atau tidak. Seperti yang telah diketahui, dalam asuransi properti atau harta benda, kerugian akibat gangguan bisnis merupakan salah satu objek yang dipertanggungkan dalam Section II polis PAR terbitan Munich Re. Dalam polis standar Munich Re, gangguan bisnis yang dapat dijamin oleh pihak asuransi adalah gangguan bisnis yang disebabkan karena kerusakan atau kehilangan property yang dijamin dalam Section I polis, seperti yang tercantum dalam wording sebagai berikut:
Gangguan bisnis yang terjadi akibat kasus pandemi COVID-19 tidak melibatkan adanya kerusakan atau kehilangan material yang dialami oleh pelaku bisnis. Artinya, jika polis yang digunakan dalam suatu penutupan asuransi adalah polis Munich Re standar, kerugian yang timbul akibat gangguan bisnis tersebut tidak dapat ditanggung oleh pihak asuransi. Selain itu, perlu juga diketahui bahwasanya segala kerugian yang disebabkan oleh penyakit menular (infectious diseases), seperti halnya COVID-19, tidak dapat ditanggung karena masuk ke dalam pengecualian standar yang berlaku secara umum[4].
Jaminan yang ditanggung dalam suatu penutupan asuransi dapat lebih luas dari jaminan yang tercantum dalam polis standar melalui aplikasi klausa lanjutan atau extension clauses. Salah satu klausa lanjutan yang bisa dihubungkan dengan gangguan bisnis yang terjadi akibat penyebaran COVID-19 adalah infectious or contagious disease, food or drink poisoning; murder, suicide policy extension clause. Klausa tersebut ditunjukan dalam wording sebagai berikut:
“Loss as insured by this Policy resulting from interruption of or interference with the business directly arising from an occurrence or outbreak at the Insured’s premises only and limited to :
Closure or evacuation of the whole or part of the Premises by order of any Government, Local Government or other Statutory Authority consequent upon :
1. (a) Any occurrence of Notifiable Disease (as defined below) at the Premises,
(b) Any discovery of an organism at the Premises likely to result in the occurrence of a Notifiable Disease,
2. Food or drink poisoning
3. The discovery of vermin or pests at the Premises,
4. Defects in the drains or other sanitary arrangements at the Premises,
5. Any occurrence of murder or suicide at the Premises,shall be deemed to be loss resulting from Damage to the property used by the Insured at the Premises.”[5]
Dalam konteks COVID-19, klausa di atas memungkinkan pihak asuransi mengganti kerugian bisnis yang dialami tertanggung akibat ditutupnya tempat usaha tertanggung oleh pemerintah sebagai akibat dari adanya “Notifiable Disease” di wilayah tempat usaha tertanggung. Dengan demikian, terdapat setidaknya tiga syarat yang harus dipenuhi agar gangguan usaha akibat penyebaran COVID-19 dapat ditanggung oleh pihak asuransi.
Syarat pertama adalah terkait dengan penutupan usaha akibat dari outbreak yang terjadi. Gangguan bisnis dapat ditanggung apabila penutupan tempat usaha tersebut dilakukan atas dasar instruksi dari pemerintah. Apabila penutupan usaha dilakukan atas dasar inisiatif dari pemiliki atau pelaku usaha dalam rangka mencegah penyebaran penyakit, maka kerugian yang ditimbulkannya tidak dapat ditanggung oleh asuransi[6].
Syarat yang kedua adalah COVID-19 harus masuk ke dalam kategori Notifiable Disease. Dalam klausa tersebut, Notifiable Disease didefinisikan sebagai suatu jenis penyakit yang berdasarkan peraturan perundangan harus dilaporkan ke pemerintah yang berwenang. Notifiable Disease ini tidak termasuk SARS, AIDS, H5N1, H1N1 dan mutase dari H1N1. Dengan demikian, apabila secara medis dinyatakan bahwa COVID-19 masih tergolong dalam penyakit SARS, COVID-19 tidak bisa masuk ke dalam kategori Notifiable Disease. Sehingga, pihak asuransi tidak bertanggung jawab atas pertanggungan gangguan bisnis.
Selain itu, masih terkait dengan Notifiable Disease, waktu ketika pemerintah menyatakan bahwa COVID-19 sebagai Notifiable Disease juga sangat penting sebagai acuan dalam menentukan kapan klausa ini bekerja. Apabila gangguan bisnis sudah terjadi sebelum pemerintah menyatakan COVID-19 sebagai Notifiable Disease, maka kerugian yang terjadi tidak dapat ditanggung[6]. Sebagai contoh, kasus SARS yang terjadi di Hongkong sejak Februari 2003 menyebabkan banyak hotel yang melakukan klaim gangguan bisnis kepada pihak asuransi. Pemerintah Hongkong memberikan status Notifiable Disease untuk SARS pada tanggal 27 Maret 2003. Dengan demikian, pihak asuransi menolak klaim gangguan bisnis yang terjadi sebelum tanggal 27 Maret 2003[7,8]. Sebagai tambahan informasi, Inggris menyatakan COVID-19 sebagai Notifiable Disease pada tanggal 5 Maret 2020[9].
Syarat yang ketiga adalah Notifiable Disease harus terkonfirmasi menjangkiti tempat usaha yang menjadi objek pertanggungan. Terjangkitnya Notifiable Disease pada suatu premis dapat ditandai dengan adanya karyawan yang terkonfirmasi positif COVID-19. Umumnya, setelah adanya informasi mengenai terjangkitnya Notifiable Disease pada suatu tempat usaha, tempat usaha tersebut akan segera ditutup (lockdown) untuk kemudian dilakukan pembersihan secara menyeluruh.
Melalui penjabaran klausa di atas, dapat disimpulkan bahwa hotel atau restoran yang mengalami penurunan omset akibat dari pemberlakuan physical distancing tidak menjadikan pihak asuransi bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran atas kerugian yang dialami. Hal ini disebabkan karena hotel maupun restoran tersebut masih tetap beroperasi. Dengan kata lain, gangguan bisnis yang dialami bukan disebabkan karena tertanggung tidak dapat beroperasi sementara waktu sebagai akibat dari instruksi Pemerintah untuk menahan laju penyebaran COVID-19, melainkan karena berkurangnya jumlah masyarakat yang berpergian ke restoran maupun hotel.
Selain klausa di atas, terdapat beberapa klausa lanjutan lain yang berkaitan dengan penyakit menular. Klausa-klausa tersebut memiliki kemiripan esensi satu sama lain dan mayoritas sama-sama menggunakan istilah “Notifiable Disease”. Namun, masing-masing versi klausa memiliki versi yang berbeda satu sama lainnya[9]. Dalam suatu versi, Notifiable Disease didefinisikan sebagai penyakit yang masuk ke dalam list penyakit yang tercantum di dalam wording. Di dalam versi lainnya, Notifiable Disease mengacu pada konfirmasi dari Badan Kesehatan yang berwenang. Artinya, untuk memutuskan suatu kerugian bisnis dapat dipertanggungkan atau tidak, sangat bergantung dengan klausa lanjutan yang digunakan dalam polis yang telah disepakati.
Terdapat pula beberapa klausa yang berhubungan dengan gangguan bisnis yang terjadi akibat Pandemi COVID-19, terutama yang berkaitan dengan aliran pasok material atau bahan baku serta pasokan air, listrik dan fasilitas umum lainnya. Klausa tersebut diantaranya adalah Contingent Business Interruption Endorsement, Suppliers and Customers Extension Clause dan Public Utilities Clause. Ketiga klausa tersebut memperluas jaminan gangguan bisnis yang mencakup gangguan akibat tertanggung tidak mendapatkan suplai bahan baku dan/atau energy. Namun, cukup jelas dinyatakan dalam ketiga klausa tersebut bahwasanya kerugian dapat ditanggung apabila pihak supplier mengalami kerusakan fisik atau kehilangan material yang terjadi pada premis supplier. Kerusakan atau kehilangan tersebut menyebabkan pihak supplier tidak dapat menyediakan kebutuhan pihak tertanggung. Artinya, berhubung kasus COVID-19 tidak berdampak pada kerusakan maupun kehilangan material, ketiga klausa tersebut tidak berlaku.
Peneliti dari Institut Teknologi Bandung memprediksikan puncak jumlah kasus harian COVID-19 berlangsung antara akhir Maret 2020 hingga April 2020[10]. Meskipun sejauh ini, sektor asuransi harta benda belum terlalu signifikan terdampak oleh COVID-19, namun pihak asuransi perlu mengkaji kembali klausa—lausa yang mungkin terkait dengan pandemic ini, sehingga pihak asuransi dapat memperkirakan seberapa luas dampaknya dan segera mengambil langkah untuk menjaga kemampuan solvency.
Referensi :
[2] https://bisnis.tempo.co/read/1312168/dampak-corona-pasokan-bahan-baku-manufaktur-mulai-terganggu
[3] Polis PAR Munich Re Standar
[7] Han, Yong Qiang. Policyholder Reasonable Expectations (2016).
[9] https://www.rpc.co.uk/perspectives/insurance-and-reinsurance/covid-19-risk-update-for-uk-insurers/