24 November 2021 6054
Knowledge

Kepailitan Berdasarkan Hukum Indonesia

Kepailitan diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) yang pada dasarnya merupakan suatu kondisi atau keadaan ketika pihak yang berhutang (debitor) yakni seseorang atau badan usaha tidak dapat menyelesaikan pembayaran terhadap utang yang diberikan dari pihak pemberi utang (kreditor). Pengadilan Niaga memiliki kewenangan untuk memutuskan kepailitan Debitor.
 
 
Berdasarkan pengertian Kepailitan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UU 37/2004, menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 128) dapat disimpulkan bahwa Kreditor yang merasa dirugikan atas belum dipenuhinya prestasi / kewajiban oleh Debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 
  1. Debitur terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditur, atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditur.
  2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya.
  3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih (due and payable).
 
 
Pengadilan Niaga harus mengabulkan Permohonan pernyataan pailit yang diajukan Kreditor dalam hal ketiga persyaratan tersebut di atas terpenuhi, namun apabila satu atau lebih persyaratan di atas tidak terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit akan ditolak.
 
 
Namun terdapat kekhususan pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi Debitor dengan status tertentu, UU 37/2004 jmengatur syarat pengajuan pailit terhadap debitor-debitor tertentu sebagai berikut:
 
  1. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
  2. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Dalam hal Debitor adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
 
 
Dengan ditetapkannya putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka Debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus seluruh kekayaan yang termasuk dalam harta pailit kecuali harta yang dikecualikan dalam harta pailit berdasarkan Pasal 22 UU 37/2004 sebagai berikut:
 
  1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
  2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
  3. Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.
 
 
Kepengurusan kekayaan debitor yang termasuk dalam harta pailit selanjutnya beralih kepada kurator dengan pengawasan oleh hakim pengawas, sehingga segala perbuatan yang mempengaruhi harta pailit tersebut harus dilakukan dengan persetujuan kurator.
 

Author

Arthur Daniel P. Sitorus, SH., AAAIK., CLA

Email: arthur@indonesiare.co.id