Sumber: pixabay.com
I. Pendahuluan
Akhir tahun 2019, dunia dihebohkan dengan virus yang berasal dari Wuhan, China yang populer dengan sebutan COVID-19. Penyebaran virus yang cepat ke berbagai negara membuat fenomena ini menghambat beberapa aktivitas perekonomian hingga kuartal III tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh tindakan preventif yang dilakukan oleh beberapa negara untuk mengurangi kasus positif COVID-19 di negaranya yang berimpas pada terganggunya aktivitas perekonomian global. Sebagai dampak nyata atas gangguan aktivitas ekonomi yang diakibatkan oleh penyebaran COVID-19, pertumbuhan perekonomian global melambat dan badai resesi telah terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia.
Delloite menjelaskan bahwa dalam skenario terburuk, pemulihan ekonomi global diprediksi terjadi pada tahun 2023. Hal ini disebabkan karena terjadinya gangguan supply chain yang mengganggu proses produksi dan aktivitas ekonomi. Demand dari berbagai belahan dunia akan menurun selama kurang lebih 2 (dua) tahun. Dengan melihat besarnya dampak dan lamanya waktu yang diprediksi untuk recovery, banyak kekhawatiran yang timbul terhadap pelaksanaan pekerjaan berdasarkan perjanjian yang ada. Namun apakah gangguan yang disebabkan oleh COVID-19 dapat dianggap sebagai force majeure (keadaan memaksa)? Untuk dapat mengetahuinya, perlu lebih dalam melihat bagaimana pengaturan mengenai force majeure dalam kerangka hukum di Indonesia.
II. Apa itu Force Majeure (Keadaan Memaksa)?
Sumber: pixabay.com
Menurut R. Subekti, keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan, disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain, tidak terlaksananya perjanjian atau terlambat dalam pelaksanaan perjanjian bukan disebabkan oleh kelalaiannya, sehingga ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.
Terkait implementasinya pada transaksi bisnis, force majeure merupakan suatu klausul yang umum dicantumkan dalam suatu perjanjian. Namun, force majeure bukanlah suatu hal yang sering ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan rujukan dalam mendefinisikan force majeure, antara lain:
· Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK)
Dalam UUJK, force majeure dijelaskan sebagai keadaan memaksa, yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam Undang-Undang ini juga menjelaskan mengenai klasifikasi dari keadaan kahar yang termasuk dalam kategori absolut dan relatif.
· Peraturan Presiden Pengadaan Barang dan Jasa (Perpres Barang dan Jasa)
Berbeda namun memiliki makna yang serupa dengan UUJK, force majeure dalam Perpres Barang dan Jasa ini dijelaskan sebagai keadaan kahar yang didefinisikan:
“suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”
Selain dari penjelasan tersebut, Perpres Barang dan Jasa menjelaskan mengenai akibat yang mungkin timbul, dimana dalam hal terjadi keadaan kahar, pelaksanaan kontrak dapat dihentikan. Namun apabila kontrak tetap dilanjutkan, para pihak dapat melakukan perubahan kontrak.
· Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Sebagai peraturan warisan kolonial, KUHPer tidak menjelaskan secara detail mengenai definisi dan jenis peristiwa yang dianggap sebagai kejadian force majeure, namun terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai akibatnya, yaitu
Pasal 1244
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Pasal 1245
“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Dengan melihat penjelasan mengenai force majeure dalam peraturan perundang-undangan nasional saat ini, terlihat bahwa peraturan tersebut tidak mendefinisikan secara rinci mengenai peristiwa apa saja yang termasuk dalam klasifikasi force majeure. Sehingga dengan melihat asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum kontrak Indonesia, keberlakuan dari force majeure sendiri diserahkan kembali kepada para pihak yang mengadakan perjanjian dalam menentukan redaksionalnya. Dalam praktiknya terdapat 2 (dua) jenis klausul force majeure, antara lain:
(i) Inclusive clause
Klausul ini tidak mendefinisikan secara eksplisit peristiwa yang dianggap sebagai force majeure, namun dijelaskan mengenai kondisi-kondisi yang memenuhi unsur dari force majeure itu sendiri. Redaksional yang digunakan memang bertujuan untuk memperluas peristiwa yang dapat dianggap sebagai force majeure. Biasanya terdapat penggunaan frasa “including but not limited to”. Sehingga apabila peristiwa yang terjadi telah memenuhi kondisi yang disebutkan, maka salah satu pihak dapat mengklaim kejadian tersebut sebagai force majeure.
(ii) Exclusive Clause
Dalam klausul ini akan menjelaskan mengenai detail peristiwa yang diklasifikasikan sebagai force majeure, dan redaksional yang digunakan tidak ditujukan untuk memperluas peristiwa selain dari yang telah ditetapkan. Sehingga pengajuan force majeuresebatas pada kejadian yang telah di perjanjikan dalam kontrak tersebut.
Apabila dihimpun dari beberapa peraturan perundang-undangan dan praktik penyusunan kontrak yang berlaku umum, akibat dari force majeure dapat bermacam-macam, karena implementasinya akan selalu merujuk kepada kontrak yang berlaku bagi para pihak. Namun terkait kerugian yang timbul karena force majeure, umumnya akan ditanggung masing-masing pihak, sehingga pihak yang mengalami force majeure tidak diwajibkan untuk mengganti kerugian atau sesuai dengan kesepakatan yang berlaku antara para pihak.
Sedangkan sehubungan dengan keberlangsungan kontrak, negosiasi yang dilakukan oleh para pihak memiliki peranan yang penting untuk keberlangsungan pelaksanaan kontrak. Beberapa kontrak memberikan keringanan dalam bentuk perpanjangan jangka waktu, perubahan ketentuan sesuai kesepakatan, hingga memungkinkan untuk pembatalan kontrak. Namun kembali perlu diperhatikan, bahwa setiap kontrak mengatur ketentuan yang berbeda, sehingga merujuk pada kesepakatan para pihak.
III. Apakah COVID-19 dapat dikategorikan sebagai Force majeure?
Presiden telah menetapkan kondisi darurat COVID-19 melalui Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 dan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional. Namun apakah dengan adanya ketetapan tersebut gangguan pelaksanan pekerjaan dapat dikategorikan sebagai force majeure?
Apabila merujuk dari pengertian force majeure yang dipaparkan oleh ahli, secara umum penyebaran COVID-19 dapat dianggap sebagai force majeure. Namun untuk dapat mengetahui keberlakuan force majeure dalam setiap transaksi, perlu menelaah lebih lanjut bagaimana klausul force majeure bekerja dalam tiap kontrak yang berlaku bagi para pihak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM yang dikutip dari media daring, bahwa untuk menyatakan suatu kejadian dianggap sebagai force majeure harus dilihat apakah terdapat klausulnya dalam kesepakatan itu, selain itu harus dilihat lebih lanjut pada jenis force majeure yang terjadi yang juga dicantumkan dalam klausul kontrak. Sehingga akibat yang timbul atas terjadinya COVID-19 dalam pelaksanaan kontrak dapat bervariasi tergantung dari kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian yang berlaku.
Referensi:
- https://www.ballardspahr.com/-/media/files/alerts/force-majeure-and-covid-19---03-20.pdf
- https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ea11ca6a5956/penjelasan-prof-mahfud-soal-i-force-majeure-i-akibat-pandemi-corona/
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
- Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata