07 May 2018 19070

Digital Subtraction Angiography

Mungkin tidak banyak orang yang familiar dengan tindakan yang bernama Digital Subtraction Angiography (DSA), sebelum akhirnya tindakan ini dipopulerkan oleh dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad. Namun, beberapa waktu yang lalu DSA ini tiba-tiba ramai diperbincangkan, seiring dengan pemberhentian sementara dr. Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kabarnya disebabkan oleh isu etika dalam metode DSA ini. Jadi sebenarnya apa sih, metode DSA ini? Yuk kita coba untuk mengenal DSA sekaligus memahami kasus ini lebih lanjut.

DSA adalah pemeriksaan yang menggunakan tehnik fluoroscopy yang bertujuan memberikan gambaran dari dalam pembuluh darah. Singkatnya, kateter akan dimasukkan melalui pembuluh darah dan nantinya akan dilakukan penyemprotan media kontras. Setelah itu, mesin x-ray akan menangkap gambaran dari pembuluh darah. Tindakan ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah tubuh bagian manapun, termasuk pembuluh darah pada jantung dan otak.

Jika menilik dari definisinya, tindakan DSA ini lebih bertujuan untuk menegakkan diagnosis dari penyakit pembuluh darah, termasuk atherosclerosis, aneurysm, arteriovenous malformation, venous sinus occlusion, meningioma, dll. Nah, yang menjadi kontroversi adalah tindakan DSA yangdilakukan oleh dr. Terawan ini selain bertujuan untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah, juga bertujuan untuk terapi kelainan pembuluh darah pada otak.

Dr. Terawan menyampaikan bahwa metode yang biasa disebut dengan ‘brainwash’, ‘cuci otak’, atau ‘heparin flushing’ ini merupakan sebuah uji ilmiah yang dituangkan pada disertasinya pada program doktoral di Universitas Hasanuddin, Makassar. Secara teknis, ‘brainwash’ ini hampir serupa dengan DSA pada umumnya, hanya saja pada metode ‘brainwash’ ditambahkan penyemprotan heparin, yang merupakan obat antikoagulan alias pengencer darah. Jadi, setelah dilakukan dengan pemasukkan kateter ke pembuluh darah pangkal paha yang menuju ke otak, dr. Terawan akan menyemprotkan heparin.

Penyemprotan heparin ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi risiko penggumpalan darah pada pembuluh darah. Setelah itu akan dilakukan pemasangan ‘balon’ pada pembuluh darah otak. Tindakan ini, jika tidak terjadi komplikasi, dapat selesai dalam waktu 30 – 40 menit. Dengan metode ini, dr. Terawan mengklaim kalau dapat terjadi peningkatan aliran darah otak sebesar 20% dalam jangka waktu 73 hari.

Dr. Terawan sendiri menyampaikan kalau metode ‘brainwash’ ini telah mendapatkan paten dengan nama ‘Terawan Theory’ dari Jerman. Dr. Terawan juga menyebutkan kalau salah satu rumah sakit yang telah menggunakan ‘Terawan Theory’ adalah Augusta Krakenhaus di Dusseldorfer, Jerman. Namun, berdasarkan investigasi beberapa pihak, pada halaman web rumah sakit tersebut tidak terdapat informasi apapun mengenai tindakan ‘brainwash’atau ‘heparin flushing’. Rumah sakit tersebut juga disebutkan belum memiliki Departemen Neurologi.

Sumber Gambar : health.detik.com

 

Dari situlah kritik pedas dari rekan-rekan sejawat sesama dokter muncul. Mereka menyampaikan kalau DSA bukanlah metode penyembuhan, namun merupakan tindakan untuk mendiagnosis penyakit. Memang di dunia medis, DSA sudah lazim digunakan. Namun, tindakan yang juga dikenal dengan sebutan cerebral angiography ini digunakan hanya untuk mendeteksi kelainan pada pembuluh darah otak, bukan untuk menyembuhkannya.

Dr. Irawan Yusuf, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang juga merupakan promotor dari disertasi dr. Terawan mengatakan kalau ‘brainwash’ ini bukan bertujuan untuk penyembuhan, melainkan hanya meningkatkan aliran darah otak pada kasus stroke kronis serta memperbaiki asupan darah ke jaringan tersumbat pada otot jantung.

Ketua Umum Perdossi, Prof. M. Hasan Machfoed juga menyampaikan kalau trombolisis alias pemberian heparin pada pembuluh darah pasien stroke memiliki limit waktu pemberian. Trombolisis direkomendasikan diberikan dalam waktu 8 jam setelah onset stroke. Jika lebih dari 8 jam, apalagi berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian, tindakan tersebut dapat memberikan efek samping. Oleh karena itu, Prof. Hasan mengungkapkan kalau metode ‘brainwash’ ini belum dapat dijustifikasi sebagai metode penyembuhan. Terutama karena dari segi etika kedokteran, metode ini harus diujicoba pada hewan dahulu sebelum diterapkan pada manusia.

Sumber Gambar : mediariau.com

 

Sebenarnya, menurut Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A(K), yang menjadi ganjalan dari metode ‘brainwash’dari dr. Terawan adalah metode ini serta penelitian yang mendasarinya tidak dilakukan dengan baik. Riset dr. Terawan, berdasarkan kriteria Consolidated Standard of Reporting Trials (CONSORT) tahun 2015, masih dinilai ‘lemah’ dan ‘cacat’ dari segi validitas studi secarametodologi. Penelitian tersebut dianggap mengabaikan aspek desain penelitian, besaran sample, cara pengambilan sample, dan penelitian. Selain itu, Sastroasmoro juga menilai penelitian dr. Terawan merupakan pra-eksperimen yang berpotensi bias karena hanya bersandar pada asumsi, bukan berbasis studi eksperimen nyata.

Banyak pasien yang mengaku telah tersembuhkan berkat metode ini. Hal ini jugalah yang membuat nama dr. Terawan menjadi terkenal. Namun sayangnya, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI berpendapat kalau metode ini adalah pelanggaran serius dari kode etik kedokteran. Termasuk klaim dan ‘iklan’ yang dilakukan oleh dr. Terawan untuk dirinya dan metode ‘brainwash’ ini. Oleh karena itu, MKEK IDI memutuskan untuk memberhentikan dr. Terawansementara dari keanggotaan IDI-nya.

Sumber Gambar : sindonews.com

 

Dr. Terawan sendiri mengaku kalau dia belum memikirkan isu pemecatan dirinya oleh MKEK IDI, karena surat resmi pemecatan itu belum dirinya terima. Dia baru mendengar isu pemecatan tersebut hanya dari pemberitaan media yang telah dikonfirmasi oleh MKEK. Dr. Terawan juga menyampaikan kalau dia membantah tuduhan MKEK kalau dia telah ‘mengiklankan’ dirinya dan metode ‘brainwash’-nya.

Pembelaan dari dr. Terawan adalah metode ‘brainwash’ yang dilakukannya ini sebenarnya hanya merupakan DSA yang telah dimodifikasi, yaitu dengan memasukkan heparin ke pembuluh darah otak. Dr. Terawan juga membantah kalau dia mengklaim terapinya dapat menyembuhkan kelainan pembuluh darah otak. Dia hanya mengklaim bahwa banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan gejalanya setelah menjalani ‘brainwash’ tersebut.

Sumber Gambar : pictasite.com

 

Masyarakat pun ikut urun pendapat dalam kasus ini, termasuk mantan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga pernah menjalani metode ‘brainwash’ dari dr. Terawan. SBY menyampaikan kalau dia merasa sangat tertolong oleh metode ini dan dia yakin ribuan pasien dr. Terawan yang lain juga merasakan hal yang sama. Menurut SBY, terlepas dari apakah metode tersebut masih menjadi polemik, metode tersebut telah terbukti membantu ribuan orang.

Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi juga menyerukan dukungan untuk dr. Terawan. Menurutnya, mungkin dari aspek prosedural dianggap ada etika yang dilanggar. Tapi di mata pasien stroke, yang terpenting adalah kesembuhan. Buat apa memenuhi etika kedokteran kalau tidak bisa menyembuhkan?

Nah, kalau dilihat lagi, sebenarnya ada dua hal bertentangan yang menjadi isu utama dari kasus ini. Yang pertama adalah, metode ‘brainwash’ ini dianggap menjadi terobosan baru dalam hal pengobatan dan pencegahan stroke. Namun, yang kedua, di sisi lain, ‘brainwash’ ini belum diakui sebagai metode pengobatan stroke secara resmi di dunia medis. Jadi, kita sebagai masyarakat umum bisa apa, dong?

Kalau menurut saya sih, karena tindakan DSA sendiri sebagai metode diagnosis tidak dilarang, jadi ya kalau mau dilakukan ya tidak apa-apa. Namun, karena DSA plus heparin ini sendiri belum diakui secara resmi, ya kita tidak boleh berharap terlalu banyak dari prosedur ini. Toh secara prosedur, tindakan ini merupakan tindakan yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, bukan untuk penyembuhan. Pun kalau ternyata setelah menjalani prosedur ini terjadi gangguan atau komplikasi, mungkin ini adalah risiko yang harus ditanggung masing-masing oleh pasien dan dokter yang melakukannya atas risiko dari menjani prosedur eksperimental.

Selain itu, kalau boleh saya juga ingin memberikan masukan untuk pemerintah khususnya IDI, untuk segera menindaklanjuti kasus ini. Bukan hanya dari segi hukum dan etikanya, namun juga dari segi kebenaran manfaatnya dan aspek medis lainnya, seperti kemungkinan komplikasi serta prognosis. Sebab kalau ditilik lagi, dengan adanya pengakuan ribuan orang kalau mereka merasakan manfaat tindakan ‘brainwash’ ini, bisa jadi memang tindakan ini memiliki khasiat kan? Mungkin, dengan beberapa penelitian tambahan, memang metode ini dapat dimanfaatkan sebagai tindakan penyembuhan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan serta investigasi lebih lanjut agar tindakan ini tidak hanya bermanfaat, namun juga aman dilakukan dan diakui sebagai metode pengobatan yang resmi.

Nah, bagaimana pendapat dari rekan-rekan?

 

***

Penulis

Admin