Pandemi COVID-19 telah berlangsung selama lebih dari 8 bulan di Indonesia. Namun, jika melihat dari angka penambahan kasus baru di setiap harinya, kita sepertinya masih harus bersabar kembali dalam menanti akhir dari pandemi COVID-19. Penambahan kasus baru masih terus konsisten berada di angka ribuan setiap harinya, yang mana, nampaknya didominasi oleh penambahan kasus baru di kota-kota besar.
Sumber foto: https://www.britannica.com/place/Jakarta
Di satu sisi, penambahan kasus baru di kota-kota besar sebenarnya sedikit ‘mengherankan’. Mengingat, tidak seperti masyarakat di daerah satelit, masyarakat di kota-kota besar seharusnya merupakan komunitas yang relatif mudah untuk dapat mengakses informasi terkait dengan protokol pencegahan penyebaran COVID-19. Fasilitas kesehatan juga bukan merupakan barang langka di daerah perkotaan, sehingga, seharusnya protokol promotif, preventif, pengobatan, serta deteksi dari COVID-19 dapat lebih terjangkau dan diterapkan dengan baik pada masyarakat perkotaan.
Di sisi lain, kita harus mengerti bahwa kota-kota besar merupakan pusat pergerakan bisnis dan ekonomi. Seperti yang telah kita ketahui bersama, pada kondisi pandemi seperti ini, sulit bagi kita jika hanya menjadikan kesehatan sebagai prioritas tunggal. Berputarnya roda ekonomi, bagaimanapun, merupakan suatu prioritas untuk dapat memastikan bahwa Indonesia tidak akan jatuh ke dalam jurang resesi yang lebih dalam lagi. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika pemerintah pada akhirnya mengambil keputusan yang pelik untuk ‘menghidupkan’ dunia usaha kembali.
Tidak ada suatu pilihan yang tidak mengandung risiko sama sekali. Oleh karena itu, saat pemerintah telah memutuskan untuk menjalankan roda perekonomian kembali, kita harus bersiap akan hadirnya dampak dari keputusan itu. Salah satu dampak yang dapat langsung kita rasakan adalah munculnya klaster perkantoran pada pandemi COVID-19 ini.
Image source: www.freepik.com
Klaster perkantoran merupakan salah satu hal pelik yang dapat diumpamakan sebagai pisau bermata dua pada kondisi pandemi ini. Di satu sisi, walaupun dalam kondisi pandemi, harus diakui, tetap berjalannya perkantoran dan tempat-tempat usaha lainnya merupakan penopang dari perekonomian Indonesia. Sulit rasanya jika kita menerapkan lockdown berkepanjangan dan hanya berharap datangnya bantuan dari pemerintah, yang mana tentunya, tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan dari ratusan juta jiwa penduduk di Indonesia.
Di sisi lain, operasional perkantoran di kota-kota besar –terutama Jakarta-, telah menjadi salah satu sumber penularan terbesar dari COVID-19 yang sama sekali tidak bisa dianggap enteng. Per-akhir September 2020, telah terdapat lebih dari 170 klaster perkantoran yang telah menyumbang lebih dari 3,000 kasus COVID-19 di Jakarta.
Berdasarkan data yang diunggah oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, perkantoran yang menjadi klaster penyebaran COVID-19 itu meliputi perkantoran dari instansi pemerintah dan swasta. Per-30 September 2020, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menempati posisi pertama sebagai penyumbang kasus baru dari klaster perkantoran di Jakarta dengan 319 kasus. Posisi kedua ditempati oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan 262 kasus dan posisi ketiga ditempati oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) dengan 147 kasus.
Semaraknya klaster perkantoran ini sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2020 pada 457 sampel karyawan di seluruh Indonesia, sebanyak 91.6% responden memang menyatakan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja telah mewajibkan para karyawannya untuk menggunakan masker di lingkungan kerja, namun, hanya 45% responden yang menyatakan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tersebut telah menyediakan fasilitas untuk mencegah penularan COVID-19, seperti penyediaan hand sanitizer, pemasangan partisi kaca antara meja kerja karyawan, optimalisasi ventilasi alami, pengaturan sirkulasi udara, pencahayaan ruangan, dll.
Sumber foto: www.freepik.com
Hal menarik lainnya adalah, pada survei tersebut juga disebutkan bahwa hanya 51.4% responden yang menyatakan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja telah menerapkan kebijakan physical distancing dan sistem shifting kerja yang mumpuni bagi karyawan. Padahal, pemberlakuan physical distancing dan pengaturan shifting kerja merupakan kunci keberhasilan dari pencegahan penularan COVID-19 di lingkungan kerja.
Berdasarkan protokol yang telah ada serta penerapannya selama ini, sebanyak 82.9% responden pada survei tersebut juga mengungkapkan bahwa mereka merasa rentan terpapar COVID-19 di lingkungan kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak karyawan yang merasa tidak aman saat berada di tempat kerja. Mereka khawatir kalau mereka dapat terpapar COVID-19 di tempat kerja, dan menularkannya kembali pada keluarga mereka di rumah. Dengan kata lain, bahkan dengan protokol yang saat ini ada, sebagian besar karyawan masih merasa tidak aman untuk bekerja di lingkungan perkantoran.
Sebenarnya, hampir semua perusahaan telah memiliki protokol pencegahan penyebaran COVID-19, yang mana seharusnya diatur dan mengacu pada Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020. Selain itu, Kemenkes tersebut juga telah memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk turut mengatur penanganan dan pencegahan COVID-19. Sebagai contoh, DKI Jakarta melalui Pergub No. 88 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan COVID-19 di Provinsi DKI Jakarta telah mengatur dengan cukup mendetail protokol pencegahan dan penanganan COVID-19 di lingkungan perkantoran. Namun, pada kenyataannya, penerapan dari peraturan-peraturan tersebut tidak semudah yang dibayangkan.
Sumber foto: www.freepik.com
Minimnya pengawasan terhadap penerapan protokol tersebut di lapangan, serta tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar protokol tersebut, menjadi alasan mengapa peraturan yang diatur dengan sedemikian mendetailnya masih terus menyumbang kasus baru di setiap harinya. Selain itu, kontrol dari pemerintah pusat juga masih sangat lemah. Komitmen dan peranan pemerintah daerah untuk menjadi pengawas juga masih belum dapat diandalkan, sehingga, hingga saat ini, masih banyak terjadi ‘pembiaran’ atas berbagai pelanggaran protokol kesehatan di tempat kerja dan klaster penyebaran COVID-19 di lingkungan perkantoran masih terus bermunculan.
Dengan diperbolehkannya perkantoran untuk mulai beroperasi lagi di lingkungan kerja, seharusnya perkantoran perlu lebih ketat lagi dalam penerapan protokol kesehatan dan pengawasan implementasi protokol tersebut. Karena, jika protokol dibuat tanpa disertai dengan pengawasan yang ketat, lingkungan kerja akan menjadi ‘medan perang’ yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para karyawan beserta keluarganya.
Jika ditelaah lebih dalam lagi, metode paling ideal untuk mencegah kemunculan klaster perkantoran sebenarnya adalah dengan mengoptimalisasikan metode bekerja dari rumah (work from home) bagi seluruh atau sebagian besar karyawan. Memang, tidak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Tidak semua karyawan juga memiliki fasilitas dan support system yang baik untuk melakukan pekerjaannya dari rumah. Oleh karena itu, manajemen kantor perlu melakukan pemetaan kembali atas kebutuhan internal agar pengaturan sistem shifting kerja dapat diberlakukan dengan semaksimal mungkin.
Sumber foto: www.freepik.com
Sebuah studi yang dilakukan oleh World Bank menyatakan bahwa sebenarnya, sektor pekerjaan yang paling mungkin menerapkan metode work from home adalah sektor pemerintahan. Sekitar 88% dari pekerjaan di sektor pemerintahan sebenarnya mampu dilakukan secara remote, dengan mengasumsikan adanya teknologi yang mendukung hal tersebut. Ironisnya, pada kenyataannya, beberapa Kementerian di Indonesia justru masuk ke dalam peringkat 10 besar penyumbang klaster perkantoran terbanyak di Jakarta. Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara, per-Agustus 2020, tercatat sebanyak 4.177 pegawai negeri sipil (PNS) yang terkonfirmasi atau masuk ke dalam daftar suspek COVID-19. Hal ini sayangnya menjadi bukti bahwa usaha dari pemerintah untuk melindungi aparaturnya belum cukup mumpuni.
Dalam kondisi yang pelik seperti ini, seharusnya pemerintah mengupayakan adanya pengawasan atas protokol yang telah ada, tentunya melalui kerja sama juga dengan berbagai instansi terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi. Pemerintah daerah juga harus segera menerbitkan peraturan yang memuat sanksi bagi instansi dan perusahaan yang melanggar protokol kesehatan di tempat kerja. Selain itu, peran serta masyarakat, khususnya para pekerja, dalam melaporkan kondisi dan pelanggaran di tempat kerja juga sangat penting agar protokol kesehatan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanpa adanya intervensi dari pemerintah, komitmen dari instansi dan perusahaan, serta dukungan dari masyarakat sebagai pengawas di lapangan, klaster perkantoran akan terus menjamur sehingga keselamatan dan kesehatan dari pekerja akan terus menjadi menjadi taruhannya.