COVID-19 masih menjadi topik pembicaraan yang hangat –kalau bukan malah menjadi semakin hangat- di dunia. Varian baru dari Coronavirus ini seolah tidak henti memberikan kita banyak informasi dan pelajaran baru, khususnya di dunia kesehatan. Seperti pada Februari 2020 lalu, Singapura dikejutkan oleh hal yang cukup menarik, di mana, terjadi hasil pemeriksaan positif dengue ‘palsu’ pada dua kasus COVID-19.
Sumber foto: https://www.hcamag.com/asia/specialisation/benefits/sick-leave-in-singapore-are-mcs-mandatory/177642
Oh iya. Untuk menyamakan persepsi kita, dalam dunia kedokteran terdapat istilah positif palsu dan negatif palsu pada hasilpemeriksaan. Hasil pemeriksaan dikatakan sebagai positif palsu ketika hasil pemeriksaan menyatakan bahwa seseorang mengalami suatu penyakit, padahal sebenarnya dia tidak menderita penyakit tersebut. Sementara, hasil pemeriksaan dikatakan sebagai negatif palsu ketika hasil pemeriksaan menyatakan bahwa seseorang tidak mengalami suatu penyakit, padahal sebenarnya dia menderita penyakit tersebut. Hal tersebut dapat saja terjadi, karena suatu pemeriksaan memang tidak akan pernah memiliki nilai sensitivitas 100% (sempurna), sehingga setiap hasil pemeriksaan masih mungkin mengalami kesalahan.
Kembali lagi ke temuan di Singapura tadi yaa...
Jadi, pada Februari 2020 lalu, dunia kesehatan Singapura menemukan dua kasus yang unik, di mana dua kasus yang sebenarnya adalah kasus COVID-19 terdiagnosis sebagai kasus demam dengue. Kasus pertama terjadi pada pria berusia 57 tahun yang tidak memiliki riwayat berpergian ke daerah endemik COVID-19, serta tidak memiliki riwayat kontak dengan kasus terkonfirmasi COVID-19. Pria tersebut datang ke rumah sakit dengan gejala demam selama tiga hari dan batuk. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya penurunan kadar trombosit ringan (140 x 109/mL, dari nilai normal minimum 150 x 109/mL), namun pemeriksaan antibody dengue masih menunjukkan hasil negatif. Beberapa hari kemudian pasien kembali ke rumah sakit karena demam yang masih bertahan, dan hasil pemeriksaan darah menunjukkan penurunan kadar trombosit yang semakin signifikan (89 x 109/mL), disertai dengan penurunan kadar limfosit. Pasien ini kembali menjalani pemeriksaan antibody dengue, dan kali ini pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil positif.
Sumber foto: https://www.clinicadelrio.com/en/features/radiology/
Setelah diagnosis demam dengue ditegakkan, pasien malah mengalami perburukan pada batuknya, serta mengalami sesak nafas. Pasien tersebut kemudian menjalani pemeriksaan rontgen paru, dan hasil pemeriksaan menunjukkan adanya gambaran pneumonia pada kedua paru. Pasien kemudian juga menjalani pemeriksaan swab untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi dari Coronavirus, dan dari pemeriksaan swab tersebut ternyata pasien tersebut positif menderita COVID-19.
Kejadian yang serupa juga dialami oleh pasien lain, di mana pasien tersebut mengalami tanda dan gejala serupa demam dengue, hasil pemeriksaan dengue positif, namun ternyata hasil pemeriksaan swabnya juga menunjukkan hasil positif COVID-19. Padahal, sama seperti pasien pertama, pasien kedua ini juga tidak memiliki riwayat berpergian ke daerah endemik dan tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien COVID-19.
Pertanyaan kita menjadi, apakah ada hubungan antara infeksi COVID-19 dan demam dengue?
Sebelumnya, kita harus kembali mengingat bahwa COVID-19 ini adalah penyakit ‘baru’, yang mana masih banyak hal-hal yang mungkin belum kita ketahui pasti tentangnya. Seiring dengan berjalannya waktu, tentunya akan semakin banyak informasi yang dapat kita ketahui dari COVID-19. Seperti informasi yang didapatkan dari kedua kasus ini, yang seolah mengingatkan kita kembali bahwa COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Di mana, seperti penyakit demam dengue dan penyakit akibat infeksi virus lainnya, COVID-19 akan menunjukkan tanda dan gejala awal berupa demam, nyeri sendi, serta rasa lelah pada tubuh. Sehingga, ‘kesalahan diagnosis dengue’ pada kedua kasus tersebut terasa ‘wajar’ karena tanda dan gejala tersebut terasa lebih ‘akrab’ dengan diagnosis demam dengue. Apalagi dengan mengingat bahwa kedua pasien tidak memiliki riwayat berpergian atau riwayat berkontak dengan kasus terkonfirmasi COVID-19, tidak mengalami batuk dan gangguan pernafasan, serta Singapura terletak di daerah tropis di mana insidensi demam dengue cukup tinggi.
Trombositopenia alias penurunan kadar trombosit selama ini kita kenal sebagai ‘tanda khas’ dari demam dengue. Padahal, pada kenyataannya, trombositopenia dapat terjadi pada semua infeksi virus. Trombosit adalah sel efektor yang memiliki peranan penting dalam proses hemostasis. Trombosit juga merupakan sel inflammatory utama yang menjadi kunci dalam sistem kekebalan tubuh. Salah satu peranan penting trombosit ditunjukkan pada saat tubuh mengalami infeksi virus, di mana terjadi aktivasi trombosit sebagai fungsi tromboinflamasi yang berperan dalam proses koagulasi. Singkat kata dan mudahnya, pada saat virus menginfeksi tubuh, sistem kekebalan tubuh akan memberikan reaksi dan perlawanan yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar trombosit.
Kedua kasus tersebut selayaknya dapat dijadikan pembelajaran bagi tenaga kesehatan di Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada pasien terutama di situasi seperti ini. Jika menghadapi pasien dengan tanda dan gejala seperti dengue, kita masih harus ‘membuka mata’ terhadap kemungkinan adanya infeksi Coronavirus. Hal tersebut tentunya bertujuan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis yang dapat memperburuk prognosis pasien, terutama jika pasien tersebut memiliki suatu kondisi komorbid.
***