Chronic fatigue syndrome (CFS) alias sindrom kelelahan kronis adalah kelainan yang dikarakteristikkan oleh rasa kelelahan yang sangat berat, berkepanjangan, dan tidak memiliki latar belakang atau penjelasan medis yang pasti. Kondisi yang juga dikenal sebagai systemic exertion intolerance disease (SEID) ini juga dapat diperparah jika si penderita melakukan aktifitas fisik atau mental, dan sayangnya tidak dapat membaik walaupun si penderita sudah beristirahat.
Sumber foto: https://www.cbsnews.com/news/tired-workers-cost-america-hundreds-of-billions-annually-survey-says/
Penyebab dari CFS belum dapat diketahui oleh pasti, namun penyebabnya diduga merupakan kombinasi dari berbagai faktor. Salah satu faktor yang diduga turut andil dalam menyebabkan CFS adalah infeksi virus, misalnya infeksi Epstein-Barr Virus (EBV), Human Herpes Virus 6, Rubella Virus, dan Ross River Virus. Selain itu, beberapa penelitian juga menyebutkan adanya peranan dari gangguan sistem imun dan ketidakseimbangan hormon dalam kejadian CFS.
CFS dapat dialami oleh semua orang, namun berdasarkan data statistik yang ada CFS paling banyak diderita oleh wanita dan kelompok orang berusia 40 hingga 50-an tahun. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang diduga dapat memicu terjadinya CFS seperti adanya stress –baik itu stress fisik maupun stress psikis- serta ketidakmampuan orang tersebut untuk mengelola stress yang dialaminya.
Sumber foto: https://www.vectorstock.com/royalty-free-vector/chronic-fatigue-syndrome-vector-11496267
Kita dapat mencurigai seseorang menderita CFS dari tanda dan gejala yang dialaminya seperti adanya rasa kelelahan kronis, rasa lelah berkepanjangan yang bertahan lebih dari 24 jam setelah beraktifitas, rasa ngantuk atau tidak segar setelah tidur yang ‘cukup’, rasa nyeri pada otot atau sendi, nyeri kepala, nyeri tenggorokan saat menelan, gangguan konsentrasi, gangguan memori, serta adanya pembesaran kelenjar limfonodi pada leher atau ketiak. Yang perlu digarisbawahi adalah kesemua tanda dan gejala itu tidak memiliki latar belakang medis atau penyebab yang jelas. Pada saat itulah kita boleh ‘memasukkan’ CFS sebagai dugaan diagnosis kita.
Apakah menegakkan diagnosis dari CFS semudah itu?
Sumber foto: https://www.verywellhealth.com/chronic-fatigue-syndrome-diagnosis-715760
Sayangnya tidak. Dalam proses penegakkan diagnosis CFS, dokter akan membuat daftar kemungkinan penyakit-penyakit lain yang diderita oleh pasien. Setelah melakukan berbagai pemeriksaan dan kesemua penyakit-penyakit itu dapat disingkirkan, barulah dokter akan menegakkan CFS sebagai diagnosis. Beberapa kemungkinan diagnosis lainnya adalah gangguan tidur, anemia, diabetes, hipotiroid, gangguan jantung, gangguan pernapasan, depresi, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Jadi, metode penegakkan diagnosis dari CFS adalah seperti mengeliminasi seluruh penyebab lain dahulu sebelum ‘menyisakan’ CFS sebagai satu-satunya kemungkinan diagnosis yang tersisa.
Tidak ada pengobatan spesifik yang dapat dilakukan untuk CFS. Pengobatan CFS sendiri berfokus pada meredakan tanda dan gejala yang dialami oleh penderitanya. Misalnya, jika penderita CFS mengalami nyeri otot, maka dapat diberikan obat yang mengandung bisbentiamine atau vitamin B kompleks. Contoh lainnya, jika penderita CSF mengalami gangguan konsentrasi atau memori, maka dapat dilakukan terapi kognitif.
CFS memang bukan penyakit yang secara langsung dapat mengancam jiwa, namun, kondisi CFS tetap harus ditangani dengan serius karena dapat menyebabkan ketidaknyamanan serta ketidakmampuan penderita untuk menjalani aktifitas hariannya dengan normal. Selain itu, kondisi CFS juga dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius berdampak pada kesehatan seperti depresi, gangguan kecemasan, dan kecenderungan penderita untuk menarik diri dari kehidupan sosial.
********