Hari yang kita nantikan akhirnya tiba!
Pada hari Senin, 11 Januari 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara resmi telah mengumumkan pemberian izin penggunaan darurat alias Emergency Use Authorization (EUA) bagi Vaksin Sinovac. Hal tersebut dilakukan setelah BPOM melakukan kajian dari laporan hasil uji klinis tahap III yang dilakukan atas vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech Incorporated – PT Bio Farma tersebut, serta turut mempertimbangkan hasil dari uji klinis Vaksin Sinovac lainnya yang dilakukan di Turki, Brazil, Chile, dan Saudi Arabia.
Apa sih yang sebenarnya yang dimaksud dengan izin penggunaan darurat?
Emergency Use Authorization (EUA) alias izin penggunaan darurat adalah izin yang dikeluarkan untuk menggunakan suatu metode atau produk medis tertentu dalam suatu kondisi kedaruratan. Dalam konteks pandemi COVID-19 ini, izin penggunaan darurat diberikan kepada vaksin COVID-19 dalam rangka pencegahan perluasan penularan COVID-19 dan juga untuk mencegah semakin beratnya krisis kesehatan dunia yang terjadi akibat pandemi ini.
Pemberian izin penggunaan darurat merupakan wewenang dan tanggung jawab dari otoritas kesehatan khusus di setiap negara, misalnya, pemberian EUA di Amerika Serikat merupakan wewenang dari Food and Drug Administrator (FDA), sementara di Indonesia hal tersebut menjadi wewenang dari BPOM.
Di Indonesia, peraturan mengenai izin penggunaan darurat diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 27 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua dan Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Pemberian izin darurat ini tentunya tidak boleh dilakukan secara sembarangan, melainkan, izin baru akan diberikan setelah dilakukan tahapan uji klinis lengkap dan pemantauan farmakovigilans secara ketat pada kandidat vaksin.
Berikut adalah persyaratan pemberian izin penggunaan darurat bagi vaksin dari BPOM:
Telah ditetapkannya kondisi darurat kesehatan oleh pemerintah
Kandidat vaksin telah memiliki bukti ilmiah terkait terjaminnya aspek keamanan dan kemanjuran yang memenuhi standar otoritas kesehatan dunia –dalam hal ini WHO-, berdasarkan hasil uji klinis dan data non-klinis yang ada
Kandidat vaksin dinilai memiliki manfaat yang lebih besar dari risikonya berdasarkan hasil uji klinis dan data non-klinis yang ada
Kandidat vaksin memiliki data mutu yang memenuhi standar yang berlaku dan diproduksi di sarana yang memenuhi cara pembuatan obat yang baik (CPOB)
Belum tersedianya alternatif pengobatan atau penatalaksanaan lain yang dinilai lebih memadai, dan telah adanya persetujuan untuk melakukan pengobatan penyakit pada kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat
Persyaratan pemberian izin darurat dari BPOM di atas telah sesuai dengan Emergency Use Listing (EUL) yang diberlakukan oleh WHO. Mengutip halaman di situs resmi WHO, EUL sendiri merupakan prosedur berbasis analisa risiko yang bertujuan untuk menilai dan membuat daftar kandidat vaksin, terapeutik, dan diagnosis in vitro yang belum berlisensi dengan tujuan mempercepat ketersediaan produk dalam rangka penanganan kondisi kedaruratan kesehatan di masyarakat.
EUL sendiri memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:
Penyakit yang menjadi sasaran adalah penyakit serius, mengancam nyawa, dan telah menjadi atau berpotensi menjadi wabah, epidemi, atau pandemi
Produk medis yang telah ada dan berlisensi belum berhasil memberantas penyakit tersebut atau mencegah terjadinya wabah
Kandidat produk yang akan mendapatkan izin penggunaan darurat diproduksi sesuai dengan good manufacturing practices (GMP)
Pemohon izin berjanji untuk menyelesaikan proses pengembangan produk, validasi dan verifikasi produk, serta mengajukan prakualifikasi WHO setelah produk dilisensikan
Yang perlu diingat adalah izin penggunaan darurat tidak sama dengan izin edar. Sehingga, vaksin yang telah mendapatkan izin penggunaan darurat hanya dapat digunakan secara terbatas –baik dari segi penerima maupun waktu pemberian-, dan jika pada saatnya nanti kondisi kedaruratan dinilai telah cukup terkendali, atau telah terdapat vaksin atau metode pengobatan yang lebih baik dan berlisensi, maka izin penggunaan darurat dapat dicabut.
Jika memang diberikan dalam kondisi kedaruratan kesehatan, apakah Vaksin Sinovac ini sudah aman untuk diberikan kepada masyarakat?
Walaupun pemberian izin penggunaan ini masih diembel-embeli kata ‘darurat’, pemberian izin bagi Vaksin Sinovac ini tetap dilakukan oleh BPOM dengan mempertimbangkan tiga komponen utama perizinan vaksin, yaitu keamanan vaksin, kemanjuran vaksin, dan mutu dari Vaksin Sinovac itu sendiri. Sehingga, masyarakat seharusnya dapat merasa tenang karena vaksin yang akan mereka terima telah lulus dari berbagai uji.
Selain itu, Vaksin bagi COVID-19 sendiri sebenarnya bukanlah vaksin pertama yang menerima EUA. Melainkan, sebelumnya FDA juga pernah mengeluarkan EUA untuk vaksin antraks yang diperuntukkan bagi personil militer di tahun 2005 dan juga untuk Tamiflu yang diberikan pada bayi selama pandemic H1N1 di tahun 2009.
Jadi, ini bukan pertama kalinya masyarakat dunia menerima vaksin yang masih berstatus ‘darurat’ ya…
Bagaimanakan hasil dari uji keamanan Vaksin Sinovac?
Pada prinsipnya, dalam suatu uji klinis vaksin, keamanan vaksin adalah hal yang paling diutamakan dan pertama dilakukan. Jadi, jika sebuah kandidat vaksin sudah tidak lulus dalam hal uji keamanan, maka uji vaksin tersebut tidak akan dilanjutkan walaupun vaksin tersebut memiliki harapan yang bagus dalam hal efikasi.
Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh BPOM, hasil uji klinis menunjukkan bahwa Vaksin Sinovac dinyatakan aman untuk diberikan kepada masyarakat. Pada uji klinis yang dilakukan, pemberian Vaksin Sinovac menunjukkan bahwa tidak terdapat efek samping berat pada relawan, sementara efek samping ringan-sedang hanya terjadi pada 0.1 – 1% relawan. Efek samping yang terjadi adalah kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang umum terjadi pada pemberian vaksin lainnya, seperti misalnya demam, nyeri otot, nyeri kepala, diare, serta rasa tidak nyaman atau sakit pada area penyuntikan. Efek samping tersebut dapat dikatakan masih masuk ke dalam kategori ringan-sedang, dapat menghilang dalam waktu yang relatif singkat, dan tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan atau komplikasi yang permanen.
Bagaimanakan hasil dari uji kemanjuran Vaksin Sinovac?
Setelah memastikan bahwa Vaksin Sinovac aman digunakan, selanjutnya BPOM juga melakukan kajian pada kemanjuran Vaksin Sinovac. Dalam hal ini, yang kita lihat adalah efikasi dari Vaksin Sinovac. Oh iya, sudah pada tahu belum, kalau efikasi dan efektivitas vaksin itu memiliki arti yang berbeda? Efikasi vaksin merujuk pada tingkat kemanjuran vaksin pada lingkungan ideal alias lingkungan yang dapat dikendalikan, yang mana dalam hal ini adalah uji klinis. Sementara efektivitas vaksin merujuk pada tingkat kemanjuran vaksin pada kondisi nyata alias masyarakat umum yang majemuk.
Efikasi sendiri ditentukan melalui perhitungan atas perbandingan antara jumlah subjek penerima kandidat vaksin yang masih terinfeksi dan jumlah subjek penerima placebo yang terinfeksi. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Vaksin Sinovac dinyatakan mampu membentuk antibodi di dalam tubuh manusia yang mampu membunuh dan menetralkan SARS-CoV-2. BPOM juga menyatakan bahwa angka efikasi Vaksin Sinovac adalah 65.3%, yang mana telah memenuhi persyaratan WHO di mana vaksin yang beredar seharusnya memiliki efikasi setidaknya 50%.
Sumber foto: Instagram Bimo Ario Tejo (@ba.tejo)
Hasil analisis efikasi Vaksin Sinovac yang dilakukan di Indonesia ini berbeda dari hasil analisis efikasi yang dilakukan di Turki dan Brazil, di mana efikasi Vaksin Sinovac di Turki dinyatakan mencapai 91.25% dan efikasi Vaksin Sinovac di Brazil dinyatakan mencapai 50.4%. Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah karena perbedaan analisis efikasi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya, kondisi kesehatan subjek penerima kandidat vaksin, genetik, situasi dan tindak penularan pandemi di negara tersebut, dan gaya hidup masyarakat di negara tersebut.
Analisis efikasi Vaksin Sinovac di Indonesia sendiri dilakukan pada 1,600 relawan. Berdasarkan interim analisis yang ada, masih terdapat 25 relawan yang masih terinfeksi COVID-19. Sementara, uji klinis di Turki dilakukan pada 1,322 relawan selama 3 bulan, dengan 80% relawan merupakan kelompok usia lanjut dan 20% lainnya adalah kelompok high risk seperti tenaga kesehatan. Sementara, uji klinis di Brazil dilakukan pada 13,000 subjek selama 6 bulan dan hanya dilakukan pada tenaga kesehatan.
Jadi, apa sih, artinya efikasi Vaksin Sinovac yang berada di angka 65.3%?
Efikasi Vaksin Sinovac tersebut dapat diartikan sebagai adanya pengurangan risiko sebesar 65.3% untuk terjadinya COVID-19 yang bergejala pada orang yang telah menerima Vaksin Sinovac, jika dibandingkan dengan orang yang belum menerima vaksin tersebut.
Selain itu, efikasi tersebut juga dapat diartikan sebagai adanya penurunan kasus COVID-19 bergejala sebesar 65.3% dari jumlah kasus yang diperkirakan akan terjadi bila tidak ada pemberian Vaksin Sinovac.
Singkat kata, orang yang menerima Vaksin Sinovac memiliki risiko sekitar 2.86 kali lebih rendah untuk mengalami COVID-19 yang bergejala, jika dibandingkan dengan orang yang tidak menerima Vaksin Sinovac.
Apakah pemberian vaksin dapat membantu terbentuknya herd immunity?
Secara teori, herd immunity alias kekebalan kelompok dapat terbentuk jika setidaknya 70% orang dari populasi tersebut telah memiliki kekebalan atas penyakit tersebut, baik kekebalan tersebut didapatkan melalui proses vaksinasi ataupun dari riwayat paparan infeksi. Tercapainya herd immunity sendiri pada dasarnya juga bergantung pada tingkat efikasi vaksin itu sendiri. Semakin tinggi efikasi vaksin, semakin rendah persentase populasi yang perlu divaksin agar populasi tersebut dapat mencapai herd immunity.
Sumber foto: Instagram Adam Prabata (@adamprabata)
Berdasarkan rumus perhitungan yang diambil dari penelitian MacIntyre, dengan mengasumsikan Vaksin Sinovac di Indonesia memiliki efikasi sekitar 65%, Indonesia setidaknya perlu memberikan vaksin pada sekitar 90% populasinya untuk mencapai herd immunity.
Apakah efikasi 65.3% itu cukup baik untuk sebuah vaksin? Karena sepertinya, ada vaksin COVID-19 lainnya yang memiliki efikasi lebih tinggi daripada nilai tersebut?
Walaupun telah memenuhi standar minimal WHO untuk efikasi vaksin, Vaksin Sinovac pada awalnya memang sempat diragukan karena klaim efikasinya masih berada di bawah klaim efikasi dari Vaksin Pfizer dan Vaksin Moderna yang memiliki efikasi sekitar 95%. Bahkan, beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa jumlah antibodi yang terbentuk pada subjek penerima Vaksin Sinovac masih lebih rendah jika dibandingkan jumlah antibodi yang terbentuk pada penyintas COVID-19. Walaupun demikian, hal tersebut tidaklah menjadi masalah selama efikasi vaksin telah memenuhi standar WHO (minimum 50%) dan vaksin tersebut dinyatakan aman.
Pada faktanya, Vaksin Sinovac dapat dikatakan ‘sangat aman’ jika mengingat efek samping yang ditimbulkan hanya berkisar pada angka 0.1 – 1%. Sementara itu, pada uji klinis yang telah dilakukan, Vaksin Pfizer disebut menimbulkan efek samping pada 1.5% relawan dan Vaksin Moderna disebut memberikan efek samping pada 4.1% relawan. Melihat fakta berikut, seharusnya kita menyadari bahwa lebih baik suatu vaksin memiliki tingkat keamanan yang baik walaupun efikasinya tidak terlalu tinggi. Karena dengan itu, vaksin tersebut aman untuk diberikan pada sebagian besar populasi. Dibandingkan jika vaksin tersebut memiliki efikasi yang sangat tinggi namun juga memiliki potensi risiko yang tinggi, karena hal itu bisa menyebabkan vaksin hanya aman untuk diberikan pada kalangan terbatas saja, sehingga, tujuan dari pemberian vaksin yaitu terciptanya herd immunity dapat terhambat.
Hal tersebut dapat kita lihat juga pada Vaksin Influenza yang ‘hanya’ memiliki efektivitas sekitar 40 – 60% saja, namun dapat menyelamatkan ribuan nyawa di setiap tahunnya.
Jika sudah lulus uji keamanan dan kemanjuran, apa lagi yang perlu diperhatikan dari sebuah kandidat vaksin agar dapat memperoleh izin penggunaan daruat?
Selain mengawal dari segi keamanan dan kemanjuran, BPOM juga tidak luput dalam pengawasan pendistribusian Vaksin Sinovac demi menjaga baiknya mutu vaksin tersebut saat diberikan ke penerima. Rangkaian pengawasan pendistribusian itu termasuk pengawalan mutu dan penerbitan lot release, untuk memastikan setiap batch yang digunakan akan konsisten.
Selain itu, BPOM juga telah melakukan pendistribusian Vaksin Sinovac ke daerah-daerah sebelum izin darurat diterbitkan. Hal itu dilakukan karena mengantisipasi adanya penundaan proses distribusi yang dapat memakan waktu lama, sementara kebutuhan akan vaksin sudah sangat mendesar di daerah-daerah tersebut.
Apakah Vaksin Sinovac ini dapat diberikan kepada semua orang?
Sayangnya, saat ini uji klinis dari Vaksin Sinovac masih dilakukan pada kelompok yang terbatas. Di Indonesia sendiri, uji klinis tahap III dari Vaksin Sinovac baru dilakukan pada kelompok dewasa muda (usia 18 – 59 tahun) yang secara umum berada dalam kondisi sehat, belum pernah terinfeksi COVID-19, dan tidak memiliki kondisi komorbid. Selektifnya pemilihan kelompok relawan ini mengakibatkan belum tersedianya bukti keamanan dan kemanjuran atas Vaksin Sinovac bagi orang-orang yang tidak masuk ke dalam kriteria tersebut. Oleh karenanya, saat ini pemberian Vaksin Sinovac belum dapat dilakukan pada semua orang tanpa terkecuali.
Untuk dapat memberikan Vaksin Sinovac ke kelompok berisiko, Indonesia saat ini masih menunggu hasil uji klinis dari negara-negara lain yang memang telah melakukan uji klinis Vaksin Sinovac kepada relawan yang berisiko tinggi, misalnya, Brazil yang melakukan uji klinis Vaksin Sinovac pada kelompok usia lanjut.
Siapa saja orang-orang yang dinilai belum aman untuk menerima Vaksin Sinovac?
Terdapat beberapa kelompok yang belum direkomendasikan untuk menerima Vaksin Sinovac, di antaranya adalah sebagai berikut:
Bayi dan anak yang berusia kurang dari 18 tahun
Lansia yang berusia 60 tahun ke atas
Penderita ISPA akut (onset dalam 7 hari terakhir), yang mana dikhawatirkan tubuhnya sedang mengalami fase peradangan dan aktivasi sistem imun tersendiri
Wanita hamil dan ibu menyusui
Orang yang baru mendonorkan darahnya dalam kurun waktu 6 – 8 minggu
Penderita penyakit jantung, karena dikhawatirkan tubuhnya mengalami proses peradangan kronis yang dapat mentrigger terjadinya reaksi imun berlebih, sehingga orang tersebut berisiko tinggi mengalami KIPI. Selain itu, penderita penyakit jantung juga umumnya mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama, yang mana dikhawatirkan obat-obatan tersebut dapat mempengaruhi sistem imun dan mengganggu proses pembentukan antibodi.
Penderita penyakit ginjal kronis, gagal ginjal, dan sistem nefrotik, yang mana semakin berat derajat penyakitnya, semakin tinggi kemungkinan terjadinya penurunan efektivitas vaksin dan serokonversi.
Penderita penyakit autoimmune, di mana pemberian vaksin dikhawatirkan justru akan mengaktivasi sistem imun sehingga terjadi flare up penyakit.
Penderita penyakit saluran pencernaan kronis, seperti Crohn’s Disease, Colitis Ulcerative, dll (tidak termasuk GERD dan gastritis), di mana pemberian vaksin dikhawatirkan justru akan mengaktivasi sistem imun sehingga terjadi flare up penyakit.
Penderita kanker dan penyakit kelainan darah –seperti leukemia dan limfoma-, terutama bagi mereka yang menjalani kemoterapi, karena dikhawatirkan kemoterapi dapat menurunkan efektivitas vaksin. Oleh karena itu, disarankan vaksinasi diberikan 6 – 12 bulan setelah rangkaian kemoterapi selesai.
Penderita diabetes mellitus, khususnya yang tidak terkontrol (HbA1c > 7.5%), karena dapat menyebabkan penurunan efektivitas vaksin
Penderita hipertensi, khususnya yang tekanan darahnya tidak terkontrol (di atas 140/90 mmHg), karena dapat menyebabkan penurunan efektivitas vaksin
Penderita asma, khususnya yang belum terkontrol dan kambuh dalam waktu dekat
Penderita tuberculosis (TBC), khususnya yang masih dalam rangkaian pengobatan. Vaksinasi bagi penderita TBC baru dapat diberikan setelah penderita dinyatakan sembuh, dan setelah itu, vaksin dapat diberikan minimum 2 minggu setelah penderita selesai mengkonsumsi obat.
Penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), di mana jaringan paru-paru penderita mengalami peradangan kronis, sehingga pemberian vaksin dikhawatirkan justru akan memicu reaksi peradangan yang lebih berat dan dapat menurunkan efektivitas vaksin
Penderita alergi berat, terutama yang memiliki riwayat alergi dengan materi vaksin mRNA
Penderita HIV, khususnya yang nilai CD4-nya masih di bawah angka 200
Penderita psikosomatis yang belum terkontrol, karena dikhawatirkan vaksinasi dapat mencetuskan gangguannya dan meningkatkan risiko terjadinya KIPI
Apakah penyintas COVID-19 juga dapat menerima Vaksin Sinovac?
Pada prinsipnya, penyintas COVID-19 telah memiliki antibodi yang protektif terhadap infeksi SARS-CoV-2, sehingga, penyintas COVID-19 dianggap bukan menjadi prioritas penerima Vaksin Sinovac. Namun, jika pada suatu kondisi penyintas COViD-19 ‘tidak sengaja’ menerima Vaksin Sinovac, hal tersebut seharusnya tidak menjadi masalah dan pemberian vaksin dapat dianggap sebagai ‘booster antibody’.
Lain halnya dengan orang yang masih dalam status suspek atau probable COVID-19, di mana mereka sebaiknya melakukan pemeriksaan RT-PCR terlebih dahulu untuk memastikan statusnya, sebelum diputuskan apakah dapat menerima Vaksin Sinovac atau tidak.
Apakah Vaksin Sinovac telah memiliki status halal?
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin COVID-19 dari Sinovac Life Sience Co.Ltd. China dan PT Bio Farma (Persero). Pemberian fatwa ini mengikat pada tiga vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero), yaitu CoronaVac, Vaksin COVID-19, dan Vac2Bio. Fatwa tersebut menyebutkan bahwa Vaksin Sinovac tersebut hukumnya suci, halal, dan tidak tercemar oleh hal-hal yang dilarang bagi umat Islam, sehingga, vaksin tersebut boleh digunakan umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Fatwa dari MUI tersebut tentunya memberikan ketenangan batin bagi umat Islam, pasalnya, sebelumnya telah beredar kabar bahwa Vaksin Sinovac mengandung Sel Vero yang dibiakkan dari Sel Kera Hijau Afrika. Sel Vero tersebut disebutkan membuat Vaksin Sinovac menjadi tidak halal. Padahal, Sel Vero ini sendiri akan hilang setelah melalui beberapa proses pemurnian. Selain itu, Sel Vero juga telah digunakan sebagai salah satu bagian dari proses pembuatan vaksin selama lebih dari 40 tahun, termasuk di antaranya dimanfaatkan dalam proses pembuatan Vaksin Polio dan Vaksin Rotavirus.
Bagaimana kondisi ketersediaan Vaksin Sinovac saat ini, dan siapa saja kelompok yang menjadi prioritas untuk menerima Vaksin Sinovac gelombang pertama?
Saat ini, sudah tersedia sekitar tiga juta dosis Vaksin Sinovac yang siap untuk diberikan. Tentunya, jumlah ini masih jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari 267 juta jiwa, terutama dengan mempertimbangkan fakta bahwa diperlukan dua dosis Vaksin Sinovac bagi setiap penerima untuk bisa mencapai efikasi yang diharapkan. Oleh karena itu, ketersediaan Vaksin Sinovac akan diprioritaskan pada kelompok-kelompok yang dinilai memiliki risiko tinggi untuk terpapar COVID-19 (seperti tenaga kesehatan, petugas pelayanan publik, TNI, Polisi, dan aparatur hukum lainnya), tenaga pendidik, aparatur pemerintah, dan tokoh masyarakat. Selain kelompok-kelompok tersebut, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan arahan untuk memprioritaskan 12 kota dan kabupaten yang dinilai menjadi prioritas pemerintah dalam penanganan COVID-19, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Bogor, Bekasi, Depok, Ambon, Pekanbaru, Jayapura, dan Padang.
Nah, itu kira-kira update yang dapat diberikan terkait dengan Vaksin Sinovac. Pada hari Rabu 13 Januari 2021 kemarin, pemberian Vaksin Sinovac perdana telah dilakukan pada Presiden Joko Widodo dan orang-orang terpilih lainnya. Selanjutnya, pemberian Vaksin Sinovac akan terus dilanjutkan bagi kelompok-kelompok prioritas yang telah terdaftar, sembari pemerintah juga akan terus menggenjot penambahan ketersediaan Vaksin Sinovac bagi kelompok lainnya.
Walaupun vaksin yang telah kita nanti sekian lama kini telah hadir, kita perlu mengingat bahwa uji klinis vaksin yang telah dilakukan ‘hanya’ bertujuan untuk menguji kemampuan vaksin untuk mengurangi angka kesakitan dan fatalitas pada penerimanya. Sehingga, masih terdapat kemungkinan bahwa penerima vaksin masih dapat terinfeksi COVID-19. Melihat bahwa Vaksin Sinovac memiliki efikasi sekitar 65%, berarti, dari 100 orang yang menerima Vaksin Sinovac, masih ada sekitar 35 orang yang masih berpotensi terinfeksi COVID-19. Jadi, walau sudah menerima vaksin, jangan langsung kongkow-kongkow dan melonggarkan protokol kesehatan, ya!
Kita harus kembali mengingat bahwa infeksi dapat terjadi melalui kelemahan pada tiga faktor, yaitu faktor inang alias manusia itu sendiri (sistem imun, usia, genetik, dan komorbid), faktor virus (jumlah virus dan tingkat keganasannya), serta faktor lingkungan (ventilasi, durasi, jarak, dan suhu). Pemberian vaksin ‘hanya’ akan memperkuat sistem imun kita secara spesifik, sehingga dapat membantu kita untuk terhindar dari paparan infeksi dari faktor inang. Namun, untuk bisa menghindari paparan infeksi secara optimal, kita juga tidak boleh melupakan adanya faktor virus dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap menerapkan protokol kesehatan. Selalu lakukan 3M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan), hindari 3K (kontak erat, kerumunan, dan kamar/ruangan tertutup), dan bantulah pemerintah kita dalam menjalani 3T (testing, tracing, dan treatment).
Stay safe and healthy!
***