Life Reinsurance
Menyikapi Penghapusan Ketentuan Waiting Period pada SEOJK PAYDI
Sejak ditetapkan pada tanggal 14 Maret 2022 lalu, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (SEOJK PAYDI) telah menimbulkan polemik di Industri Asuransi Indonesia. Polemik tersebut lahir dari concern para pelaku Industri Asuransi Indonesia, yang merasa bahwa beberapa kebijakan yang ditetapkan pada SEOJK PAYDI tersebut tidak terlalu ‘berpihak’ pada Perusahaan Asuransi selaku Penanggung.
Sebelum membahas tentang SEOJK PAYDI dan dampaknya pada Industri Asuransi Indonesia, ada baiknya kita membahas tentang PAYDI terlebih dahulu, agar kita memiliki pemahaman yang serupa dalam diskusi artikel ini.
Apakah itu PAYDI?
PAYDI yang juga dikenal sebagai Produk Asuransi Unit Link, merupakan produk asuransi yang memiliki proporsi perlindungan terhadap risiko kematian yang dikaitkan dengan investasi, memiliki masa pertanggungan tertentu, dan memiliki strategi investasi yang spesifik. Dalam pemasaran PAYDI, keterbukaan informasi kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta harus diutamakan oleh Perusahaan Asuransi selaku Penanggung, baik sebelum maupun setelah polis diterbitkan.
SEOJK PAYDI merupakan amanat dari POJK 23/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi (POJK 23/2015) serta POJK 69/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. SEOJK PAYDI secara spesifik dan mendetail mengatur penyelenggaraan PAYDI oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, termasuk unit usaha syariah. Berdasarkan POJK tersebut, hal-hal yang perlu diatur lebih lanjut dalam SEOJK PAYDI antara lain adalah mengenai kriteria, proporsi manfaat kematian dan manfaat investasi, nama dan strategi investasi, nilai aset subdana, dan brosur pemasaran PAYDI.
Perusahaan Asuransi selaku Penanggung harus menekankan penjelasan bahwa PAYDI merupakan produk asuransi dengan tujuan untuk memberikan manfaat perlindungan atas risiko, serta memberikan penjelasan mengenai manfaat yang dikaitkan investasi secara berimbang, antara potensi hasil investasi dan potensi risiko investasi. Dalam pemasaran PAYDI, Perusahaan Asuransi harus memastikan aspek kesesuaian PAYDI dan Subdana dengan kebutuhan, kemampuan, dan profil risiko calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta. Selain itu, Perusahaan Asuransi juga harus memastikan adekuatnya pemahaman calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai PAYDI yang dipasarkan, serta terpenuhinya kecukupan data, informasi, dan dokumen yang diperlukan untuk proses underwriting (seleksi risiko).
Perusahaan Asuransi selaku Penanggung hendaknya hanya menerima premi atau kontribusi, apabila telah dapat memastikan bahwa permohonan asuransi Tertanggung atau Peserta telah diterima berdasarkan ketentuan underwriting yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi. Hal penting yang menjadi concern dari ditetapkannya SEOJK PAYDI ini adalah adanya poin yang menyatakan bahwa periode tunggu (waiting period) pada PAYDI, hanya dapat diberlakukan kepada Tertanggung atau Peserta, apabila Tertanggung atau Peserta telah memilih untuk tidak melakukan pemeriksaan kesehatan (medical check-up), sesuai dengan ketentuan underwriting, dan telah memahami konsekuensi dari diberlakukannya masa tunggu pada polis asuransinya.
Menilik kebijakan terkait waiting period pada SEOJK PAYDI tersebut, dan melihat reaksi industri terhadapnya, tentunya akan membuat kita menjadi bertanya-tanya: seberapa pentingkah peranan ketentuan waiting period pada polis asuransi? Serta, seberapa besarkah dampaknya apabila ketentuan waiting period tersebut dihapuskan dari polis asuransi?
Untuk dapat menjawab kedua pertanyaan tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami konsep peralihan risiko dari Tertanggung ke Perusahaan Asuransi.
Waiting Period dalam Polis Asuransi
Kita tentunya telah memahami bahwa ketika Perusahaan Asuransi selaku Penanggung menyetujui pengajuan polis dan menerima pembayaran premi dari seorang Tertanggung, maka, Perusahaan Asuransi tersebut telah mengikatkan dirinya, bersedia, dan berkomitmen untuk menerima peralihan risiko yang mungkin dan berpotensi terjadi pada Tertanggung. Dalam hal Asuransi Jiwa, apabila Tertanggung mengalami suatu risiko baik itu risiko kematian, kecelakaan, ketidakmampuan, ataupun penyakit tertentu, maka, Perusahaan Asuransi berkewajiban untuk membayarkan sejumlah manfaat kepada Tertanggung tersebut atau Pemegang Polisnya, sesuai dengan kesepakatan yang tercantum pada polis asuransi.
Nah, apabila kita akan menerima peralihan risiko dari pihak lainnya, tentunya, kita harus mengetahui betul risiko apa yang akan kita tanggung, dan seberapa besar kemungkinan risiko tersebut akan terjadi, bukan?
Hal yang sama juga berlaku bagi Perusahaan Asuransi. Untuk dapat memutuskan apakah suatu pengajuan asuransi dapat diterima atau tidak, Perusahaan Asuransi akan melakukan proses underwriting, yang di dalamnya akan meliputi proses risk identification, risk assessment, dan penetapan keputusan underwriting. Adapun proses underwriting yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi, dapat dilakukan dengan ataupun tanpa pemeriksaan kesehatan (medical check-up), sesuai dengan ketentuan underwriting yang berlaku pada masing-masing perusahaan. Seluruh rangkaian proses underwriting dimaksudkan agar Tertanggung mendapat kesempatan melakukan disclosure atas semua risiko yang ada pada dirinya, dan sebaliknya, Perusahaan Asuransi juga berkesempatan untuk menilai risiko pada Tertanggung dan memutuskan akan menerima risiko tersebut atau tidak.
Mungkin banyak yang mengira kalau dengan melakukan pemeriksaan kesehatan, Perusahaan Asuransi seharusnya sudah memahami betul risiko apa saja yang ada pada Tertanggung. Sayangnya, hal tersebut tidak selalu terjadi.
Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya, baik dari segi jenis pemeriksaan, waktu, biaya, maupun potensi fraud yang dapat dilakukan oleh calon Tertanggung. Misalnya, apabila seorang calon Tertanggung memiliki riwayat penyakit jantung namun pemeriksaan kesehatan yang dilakukannya ‘hanya’ pemeriksaan fisik dan pemeriksaan urine, maka, belum tentu riwayat penyakit jantungnya dapat terlihat oleh underwriter dan menjadi bagian dari proses seleksi risiko. Di sisi lain, pemeriksaan kesehatan yang sangat komprehensif, meskipun memiliki maksud yang baik, dikhawatirkan justru akan membebani calon Tertanggung.
Segala keterbatasan yang ada pada pemeriksaan kesehatan, membuat Perusahaan Asuransi belum tentu dapat selalu ‘menangkap’ seluruh potensi risiko yang ada pada seorang calon Tertanggung. Hal tersebut dapat diperparah apabila adanya intensi non-disclosure dari Tertanggung, di mana, Tertanggung dengan sengaja ‘menyembunyikan’ atau tidak menginformasikan riwayat penyakitnya, agar hal tersebut tidak diketahui oleh underwriter dan tidak mempersulit proses pengajuan asuransinya.
Adanya potensi risiko yang belum dapat ‘tertangkap’ oleh pemeriksaan kesehatan, serta adanya potensi fraud dan non-disclosure dari Tertanggung, membuat Perusahaan Asuransi harus memberlakukan ketentuan-ketentuan lainnya, yang diharapkan dapat membantu memagari potensi risiko yang ada dan belum ‘tertangkap’. Penerapan ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa risiko yang menjadi liabilitas dari Perusahaan Asuransi, hanyalah risiko yang telah diungkapkan oleh Tertanggung, serta telah dinilai dan disetujui oleh Perusahaan Asuransi.
Salah satu ‘pagar’ yang diberlakukan oleh Perusahaan Asuransi adalah ketentuan waiting period, di mana, ketentuan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa klaim yang terjadi terlalu dini pada awal pertanggungan asuransi, tidak menjadi liabilitas dari Perusahaan Asuransi selaku Penanggung. Hal tersebut lantaran klaim yang terjadi terlalu dini (early claim) dikhawatirkan merupakan risiko yang memang sudah terjadi sebelum polis dimulai (pre-existing condition), yang dikhawatirkan merupakan suatu indikasi ‘kesengajaan’ dari Tertanggung yang membeli polis asuransi karena menyadari risiko yang ada pada dirinya (anti-seleksi).
Ketentuan waiting period pada dasarnya merupakan suatu win-win solution, yang memastikan bahwa risiko yang merupakan bagian dari pre-existing condition tidak akan menjadi liabilitas dari Penanggung, dan di sisi lain, Tertanggung pun tidak terbebani dalam proses pengajuan polis dan seleksi risiko. Hal ini tentu diharapkan tidak yang memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan, baik itu Tertanggung maupun Penanggung. Hal ini penting, mengingat, dalam suatu pertanggungan dan kontrak asuransi diperlukan good-will dari semua pihak yang terkait.
Bagaimana support Indonesia Re kepada ceding companies dalam menyikapi SEOJK PAYDI?
Untuk menyikapi diberlakukannya SEOJK PAYDI ini, Indonesia Re telah melakukan berbagai analisa, simulasi data, serta diskusi, baik itu diskusi internal, maupun diskusi eksternal dengan berbagai ceding companies, partner retrosesi, asosiasi, bahkan OJK. Meskipun secara umum Indonesia Re selaku partner reasuransi Indonesia yang kredibel akan berupaya memberikan support terbaik kepada para ceding companies, sampai saat ini masih belum dapat dirumuskan secara firm dan mendetail bagaimana bentuk dari support tersebut.
Hal pertama yang menjadi kendala adalah upaya mitigasi yang akan dilakukan sebagai ‘subsitusi’ atas adanya opsi penghapusan ketentuan waiting period. Sebagian besar pelaku Industri Asuransi Indonesia telah menyepakati perlunya pemberlakuan pemeriksaan kesehatan sebagai suatu mandatory enrollment bagi calon Tertanggung yang memilih untuk tidak menerapkan ketentuan waiting period pada polis asuransinya. Sayangnya, sampai saat ini masih belum disepakati cakupan pemeriksaan kesehatan yang harus dilakukan, apakah harus dilakukan pemeriksaan kesehatan yang sangat komprehensif untuk mengeliminasi sebanyak mungkin potensi risiko yang ada, atau dapat dilakukan pemeriksaan kesehatan yang sederhana, yang lebih merupakan ‘syarat peluruh’ pemberlakuan ketentuan waiting period pada polis asuransi Tertanggung.
Apapun opsi pemeriksaan kesehatan yang diambil, tentu harus melalui proses kajian yang mendalam, agar pemberlakuan SEOJK PAYDI ini tetap pada hakikat pembuatannya, yakni untuk memberikan perlindungan asuransi yang optimal bagi Tertanggung, tanpa membebani Tertanggung dalam proses pengajuan polisnya.
Hal kedua yang turut menjadi kendala dalam perumusan upaya mitigasi adalah adanya keterbatasan Indonesia Re dalam pemberian support kepada ceding companies. PAYDI merupakan produk asuransi yang dapat memberikan manfaat besar kepada Pemegang Polis atau Tertanggungnya. Keterbatasan Indonesia Re ini akan sangat terlihat pada polis asuransi dengan nilai yang sangat besar. Oleh karena itu, dalam perumusan upaya mitigasi risiko, Indonesia Re juga sangat perlu untuk berdiskusi dengan partner retrosesi.
Dalam diskusi dengan partner retrosesi, hal pertama yang menjadi kendala adalah tidak umumnya praktik ‘penghapusan’ ketentuan waiting period ini pada suatu polis asuransi di Industri Asuransi secara global. Meskipun demikian, partner retrosesi yang menjalankan bisnisnya di Indonesia, tentu juga diharuskan untuk comply dengan peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh OJK selaku regulator di Indonesia. Oleh karena itu, partner retrosesi pun membutuhkan waktu untuk melakukan analisa serta diskusi juga, sebelum memutuskan support apakah yang dapat diberikan kepada Indonesia Re dan Industri Asuransi Indonesia.
Indonesia Re akan selalu menyambut ajakan diskusi dari ceding companies dan Industri Asuransi secara umum dengan tangan terbuka. Adapun langkah pertama Indonesia Re dalam memberikan support kepada ceding companies dalam menyikapi SEOJK PAYDI ini adalah dengan memintakan data produk yang berpotensi terdampak SEOJK PAYDI tersebut, serta data business experience yang ada pada masing-masing ceding companies.
Pengumpulan data dan informasi ini selayaknya dipahami, karena setiap ceding companies memiliki profil, karakteristik, serta portofolio bisnis yang berbeda di Indonesia Re. Sehingga, solusi dan upaya mitigasi risiko yang akan ditawarkan oleh Indonesia Re tentunya tidak dapat bersifat general, dan lebih bersifat customized, agar solusi dan upaya mitigasi risiko tersebut dapat bermanfaat secara optimal bagi para ceding companies. Hal ini diharapkan, Indonesia Re dapat memberikan support terbaik, agar para ceding companies selaku mitra bisnis Indonesia Re, dapat comply terhadap SEOJK PAYDI yang telah ditetapkan, namun juga tetap dapat melakukan proses seleksi risiko dengan baik dan prudent, serta tetap competitive di market.
Akhir kata, Indonesia Re menyampaikan terima kasih atas kerja sama dan support yang selama ini dijalin dan diberikan oleh ceding companies. Indonesia Re akan senantiasa berkomitmen dan berupaya, agar dapat memberikan pelayanan terbaik dan solusi berkelas internasional kepada ceding companies selaku mitra bisnis.
Stay safe and healthy, semuanya! J