24 May 2023
6200
Life Reinsurance
Marburg Virus Disease
Pada tanggal 13 Februari 2023 lalu, Ministry of Health and Social Welfare of Equatorial Guinea mendeklarasikan adanya wabah dari Marburg Virus Disease, setelah mencurigai adanya demam berdarah misterius yang memiliki fatalitas tinggi di sepanjang Januari – Februari 2023. Pada tanggal 12 Februari 2023, salah seorang penderita demam berdarah misterius tersebut dinyatakan positif terinfeksi Marburg Virus Disease melalui pemeriksaan real-time polymerase chain reaction (RT-PCR) yang dilakukan di Institute Pasteur in Dakar, Senegal. Hingga tanggal 11 April 2023, Equatorial Guinea telah mengkonfirmasi 15 kasus Marburg Virus Disease dengan 23 kasus lainnya masih berstatus ‘probable’. Dari kasus-kasus tersebut, 11 penderita terkonfirmasi Marburg Virus Disease dinyatakan meninggal dunia, dan seluruh penderita berstatus ‘probable’ juga dinyatakan meninggal dunia. Kejadian tersebut menunjukkan fatalitas Marburg Virus Disease yang sangat tinggi, yakni berada di kisaran 78 – 88%.
Apakah yang dimaksud dengan Marburg Virus Disease, dan mengapa penyakit tersebut memiliki fatalitas yang sangat tinggi?
Marburg Virus Disease (MVD) atau Penyakit Virus Marburg adalah penyakit yang disebabkan oleh Virus Marburg dan merupakan salah satu penyakit demam berdarah yang relatif langka. Virus Marburg sendiri termasuk ke dalam jenis virus RNA Zoonosis alias virus yang dibawa dan ditransmisikan oleh hewan. Virus Marburg merupakan anggota dari famili Filovirus, yang di dalamnya juga termasuk Virus Ebola. Inang reservoir atau hewan pembawa Virus Marburg adalah kelelawar dengan tipe Rousettus aegyptiacus (kelelawar buah) yang berasal dari Afrika.
Meskipun baru ramai terdengar namanya pada akhir-akhir ini, Marburg Virus Disease sebenarnya bukan merupakan ‘penyakit baru’. Marburg Virus Disease pertama kali teridentifikasi pada tahun 1967 melalui dua wabah besar yang terjadi di Jerman dan Serbia. Konon, wabah tersebut dicetuskan oleh penelitian yang dilakukan oleh sebuah laboratorium atas monyet dari Uganda yang terinfeksi. Sejak tahun 1967 tersebut, tercatat telah teridentifikasi 593 kasus Marburg Virus Disease yang ditemukan di Angola (376 kasus), Kongo (154 kasus), Jerman (29 kasus), dan beberapa kota-kota lainnya.
Awal mula penderita terinfeksi Virus Marburg terjadi akibat adanya eksposur langsung penderita dengan kelelawar Rousettus aegyptiacus, misalnya saat penderita berada terlalu lama di area tambang atau gua yang merupakan sarang dari kelelawar tersebut. Selanjutnya, infeksi dapat terjadi dengan penularan antar manusia melalui kontak langsung, misalnya, melalui kontak langsung dengan kulit atau selaput lendir pada hidung dan mulut dengan penderita, kontak dengan darah atau cairan tubuh penderita (misalnya, ludah, keringat, urine, feses, air ketuban, air susu ibu (ASI), atau cairan kelamin), serta kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi cairan tubuh penderita.
Selain melalui riwayat kontak, riwayat berpergian, dan gejala-gejala yang dialami oleh penderita, penegakkan diagnosis Marburg Virus Disease utamanya dilakukan melalui pemeriksaan RT-PCR. Selain itu, penegakkan diagnosis juga dapat dilakukan melalui pemeriksaan antibody-capture enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), tes deteksi antigen capture, serum neutralization, electron microscopy, serta isolasi virus melalui kultur sel.
Sebagaimana penyakit infeksi lainnya, Marburg Virus Disease juga memiliki masa inkubasi, yaitu masa yang terhitung sejak terjadi paparan infeksi hingga saat penderita pertama kali mengalami gejala. Masa inkubasi Marburg Virus Disease berkisar antara 2 – 21 hari. Setelah melewati masa inkubasi, penderita Marburg Virus Disease umumnya akan mengalami gejala yang berupa demam tinggi, menggigil, nyeri kepala, nyeri otot, ruam maculopapular yang umumnya muncul di area dada, perut, dan punggung, nyeri perut, mual dan muntah, diare, serta nyeri tenggorokan. Apabila penderita tidak mendapatkan penanganan yang segera dan adekuat, penderita dapat mengalami gejala yang lebih berat atau bahkan komplikasi seperti penurunan berat badan yang signifikan, radang pankreas, gangguan fungsi liver yang menyebabkan jaundice, gagal liver, disfungsi multi-organ, perdarahan masif, syok, serta penurunan kesadaran. Pada kasus di mana terjadi fatalitas, kematian umumnya terjadi pada hari ke-8 atau 9 setelah terjadi pendarahan masif dan syok pada penderita.
Penanganan Marburg Virus Disease dapat dikatakan serupa dengan penyakit infeksi virus dan demam berdarah lainnya. Sampai saat ini, masih belum ada obat atau regimen khusus bagi pengobatan Marburg Virus Disease, selain pengobatan yang bersifat simptomatik dan supportive, seperti meredakan gejala yang muncul, menjaga keseimbangan elektrolit, memastikan asupan nutrisi, mempertahankan stabilitas tanda vital tubuh, serta mencegah terjadinya komplikasi.
Pencegahan selalu lebih baik ketimbang mengobati. Dengan melihat fatalitas Marburg Virus Disease yang sangat tinggi, akan lebih baik jika kita mampu untuk mengindari paparan Virus Marburg agar dapat terhindar dari potensi infeksi Marburg Virus Disease. Sebagaimana penyakit infeksi yang menyebabkan wabah, pengendalian Marburg Virus Disease dilakukan melalui berbagai intervensi, yang meliputi isolasi, surveillance, identifikasi kasus aktif, investigasi kasus, contact tracing, optimalisasi peranan laboratorium, serta prosedur pemakaman korban yang tepat.
Tindakan pencegahan utama dari Marburg Virus Disease tentunya adalah menghindari kontak dengan kelelawar Rousettus aegyptiacus selaku hewan inang dari Virus Marburg serta menghindari kontak dengan penderita Marburg Virus Disease atau orang yang berisiko tinggi terinfeksi Marburg Virus Disease. Tindakan pencegahan juga dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging atau makanan mentah saat mengunjungi daerah yang marak terjadi Marburg Virus Disease.
Terkait dengan pencegahan melalui vaksinasi, saat ini, vaksin yang diperuntukkan bagi pencegahan Marburg Virus Disease masih dalam tahap pengembangan. Dua di antara beberapa kandidat vaksin tersebut masih dalam tahap uji klinis fase I, yaitu Vaksin Strain Sabin dan Vaksin Janssen.
Sampai saat ini, Marburg Virus Disease memang masih belum teridentifikasi di Indonesia. Kementerian Kesehatan telah melakukan rapid risk assessment atas Marburg Virus Disease pada tanggal 20 Februari 2023, dengan kemungkinan adanya importasi kasus Marburg Virus Disease di Indonesia adalah rendah. Meskipun demikian, Kementerian Kesehatan tetap menghimbau Pemerintah dan masyarakat untuk mewaspadai potensi paparan penyakit tersebut, dengan menghindari berpergian ke negara yang sedang marak mengalami kejadian Marburg Virus Disease.
Hal yang tak kalah penting adalah intensi kita untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya terkait Marburg Virus Disease ataupun penyakit-penyakit lainnya, demi mengupayakan pencegahan dan perlindungan diri kita dan keluarga dari penyakit-penyakit yang semakin beraneka ragam ke depannya. Community engagement adalah kunci dari pengendalian transmisi Marburg Virus Disease ataupun penyakit-penyakit infeksi lainnya. Meningkatkan awareness masyarakat akan dampak dan bahaya dari penyakit-penyakit tersebut dapat mencegah perluasan penularan penyakit infeksi, yang tentunya pada akhirnya akan mengurangi beban pada sistem kesehatan nasional dan meningkatkan ketahanan kesehatan nasional.
Stay safe and healthy, semuanya!