Life Reinsurance
Telaah Penggunaan Azithromycin dalam Pengobatan COVID-19
Peningkatan kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia masih terus terjadi. Sayangnya, banyaknya jumlah penderita COVID-19 yang bergejala dan membutuhkan perawatan di RS/fasilitas kesehatan belum diimbangi oleh mumpuninya kapasitas di fasilitas kesehatan serta jumlah tenaga kesehatan yang ada. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus mencari solusi, yaitu, dengan menyediakan pelayanan
telemedicine bagi penderita COVID-19, dan dengan memberikan paket perawatan isolasi mandiri (isoman) yang terdiri dari obat-obatan dan vitamin kepada penderita COVID-19 yang akan melakukan isoman.
Sumber foto: www.freepik.com
Dilansir dari
website Sehat Negeriku dari Kemenkes, pelayanan
telemedicine bisa didapatkan oleh penderita COVID-19 yang melakukan pemeriksaan
swab PCR/antigen di laboratorium yang telah terafiliasi dengan sistem
New All Record (NAR) Kementerian Kesehatan. Jika pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil positif, maka, data orang terkonfirmasi tersebut akan langsung masuk ke dalam
database Kementerian Kesehatan (NAR) dan dirinya telah
eligible untuk menggunakan layanan
telemedicine gratis dari Kemenkes.
Selanjutnya, orang terkonfirmasi akan menerima pesan Whatsapp dari Kemenkes RI yang berisikan
link untuk dapat melakukan telekonsultasi dengan dokter di salah satu dari 11
platform layanan
telemedicine yang telah bekerja sama dengan Kemenkes, yaitu Alodokter, GetWell, Good Doctor, Halodoc, KlikDokter, KlinikGo, Link Sehat, Milvik Dokter, ProSehat, SehatQ, dan YesDok. Setelah melakukan telekonsultasi dengan dokter di aplikasi
telemedicine tersebut, penderita COVID-19 akan menerima paket obat dan/atau vitamin dari Apotek Kimia Farma, yang akan dikirimkan oleh ekspedisi SiCepat, langsung ke alamat rumah orang terkonfirmasi.
Masih dilansir dari
website Sehat Negeriku dari Kemenkes, terdapat dua jenis paket perawatan isoman yang bisa didapatkan oleh penderita COVID-19 secara cuma-cuma. Paket yang pertama adalah Paket A, yang mana diperuntukkan bagi penderita tanpa gejala/orang tanpa gejala (OTG). Paket A tersebut terdiri dari Multivitamin C, D, E, dan Zinc yang dapat dikonsumsi sebanyak satu kali sehari selama 10 hari. Sementara, paket yang kedua adalah Paket B, yang diperuntukkan bagi penderita bergejala ringan dan berisi Multivitamin C, D, E, dan Zinc, Azithromycin 500 mg, Oseltamivir 75 mg, dan Paracetamol 500 mg.
Pemberian layanan
telemedicine gratis dari Kemenkes tersebut tentunya patut diapresiasi sebagai tindakan mitigasi yang sigap dalam menghadapi fakta menipisnya kapasitas RS/fasilitas kesehatan di Indonesia. Sayangnya, penyertaan Azithromycin dan Oseltamivir dalam paket isoman tersebut menuai kritik dari kalangan medis. Pasalnya, WHO saja telah menyatakan bahwa Azithromycin dan Oseltamivir tidak tepat untuk dimasukkan ke dalam regimen standar pengobatan COVID-19. Lantas, mengapa Kemenkes justru memasukkan kedua obat tersebut ke dalam paket isoman?
Sumber foto: www.freepik.com
Azithromycin merupakan antibiotik golongan makrolida yang dapat bekerja pada bakteri gram positif dan gram negatif. Azithromycin bekerja dengan cara mengikat
sub-unit 50s dari ribosom bakteri, sehingga dapat menghambat aktivitas translasi mRNA. Dengan demikian, sintesis protein akan terganggu dan pertumbuhan bakteri dapat terhambat. Pada umumnya, Azithromycin diberikan untuk pengobatan infeksi bakteri yang disebabkan oleh H. influenza, M. catarrhalis, S. pneumonia, C. pneumonia, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, atau Staphylococcus agalactiae.
Dengan melihat deskripsi singkat tentang Azithromycin tersebut, sudah jelas bahwa Azithromycin adalah obat golongan antibiotik yang digunakan dalam pengobatan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Padahal, COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2, sehingga, tentunya dapat dipahami bahwa penggunaan Azithromycin dalam pengobatan COVID-19 tidaklah tepat apabila penderita COVID-19 tersebut tidak mengalami infeksi bakteri sekunder.
Beberapa studi telah dilakukan terkait dengan penggunaan Azithromycin dalam pengobatan COVID-19. Salah satunya adalah studi yang bertajuk
Azithromycin for Community Treatment of Suspected COVID-19 in People at Increased Risk of an Adverse Clinical Course in the UK (PRINCIPLE): A Randomized, Controlled, Open-label, Adaptive Platform Trial, yang telah dipublikasikan di
The Lancet dan dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan efek pemberian Azithromycin pada penderita COVID-19 yang sedang dirawat inap di beberapa RS di UK.
Studi tersebut dilakukan pada 2265 pasien rawat inap pada beberapa RS di UK, dengan periode pengamatan dari bulan Mei hingga September 2020. Pasien yang tergabung dalam studi tersebut telah memenuhi beberapa kriteria yang ditetapkan oleh penelitian, seperti berusia lebih dari 50 tahun, telah menderita COVID-19 selama kurang dari 14 hari, dan memiliki setidaknya satu penyakit komorbid. Dari 2265 pasien tersebut, 540 di antaranya mendapat Azithromycin 500 mg selama tiga hari, sebagai tambahan dari pengobatan standar yang mereka terima di RS. Sementara pasien lainnya hanya menerima pengobatan standar tanpa penambahan Azithromycin, sesuai dengan regimen yang ditetapkan di RS.
Sumber foto: www.freepik.com
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, seluruh pasien yang telah menerima Azithromycin sebagai pengobatan tambahan ternyata tidak mengalami pemulihan yang lebih cepat, jika dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima Azithromycin. Selain itu, tidak didapatkan juga perbedaan pada lama rawat inap antara pasien yang menerima Azithromycin dengan yang tidak. Temuan studi tersebut membuktikan hipotesis dari para ahli, bahwa, penggunaan Azithromycin tidak memberikan efek positif pada pengobatan pasien COVID-19 yang tidak mengalami infeksi bakteri sekunder.
Selain dari tidak signifikannya efek Azithromycin pada pasien COVID-19, pemberian Azithromycin yang tidak tepat indikasi pun dikhawatirkan malah berpotensi memicu potensi adanya resistensi bakteri di kemudian hari. Kekhawatiran tersebut diungkapkan oleh Profesor dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM selaku Ketua Satgas COVID-19 IDI, di mana, jika konsumsi Azithromycin dilakukan secara sembarangan, tidak tepat indikasi, dan dalam dosis yang terlalu banyak, maka akan muncul resistensi terhadap bakteri. Bakteri yang terlalu sering mendapatkan Azithromycin akan menjadi resisten terhadap obat tersebut, sehingga, infeksi yang mereka sebabkan akan semakin sulit untuk diatasi.
Selain dari potensi resistensi bakteri, hal yang tak kalah penting adalah potensi efek samping yang mungkin muncul dari konsumsi Azithromycin. Beberapa efek samping yang mungkin muncul di antaranya adalah mual, muntah, nyeri kepala, aritmia jantung, pembengkakan kulit dan tubuh, gangguan pernafasan, rasa kelelahan yang berat, serta kelemahan otot. Oleh karena itu, pemberian Azithromycin memang harus diberikan oleh dan dalam pengawasan dokter, yang mana tentunya diharapkan telah mempertimbangkan aspek
risk and benefit dari peresepan Azithromycin tersebut.
Dengan mempertimbangkan hasil studi serta data klinis yang ada, beberapa waktu lalu telah diluncurkan Revisi Protokol Tata Laksana COVID-19 yang disusun oleh lima organisasi profesi kedokteran di Indonesia, yaitu, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Revisi Protokol tersebut menyatakan bahwa pemberian Azithromycin dan Oseltamivir masih dapat diberikan pada penderita COVID-19, hanya saja, pemberiannya bersifat tambahan apabila memang terdapat indikasi pemberian yang sesuai, dan obat-obatan tersebut bukan merupakan pengobatan dasar/rutin. Misalnya, pemberian Azithromycin hanya diberikan pada penderita COVID-19 yang telah terbukti mengalami infeksi bakteri sekunder. Sedangkan, pemberian Oseltamivir hanya diberikan pada penderita COVID-19 yang juga mengalami ko-infeksi Influenza.
Walaupun telah mendapat pertentangan dari berbagai kalangan, hingga saat ini, Kemenkes menyatakan bahwa mereka masih menyertakan Azithromycin dan Oseltamivir dalam paket isoman gratis yang mereka berikan. Pasalnya, Kemenkes masih menganggap bahwa regimen pengobatan ini masih dinilai efektif untuk mengobati COVID-19. Selain itu, peluncuran Revisi Protokol Tata Laksana COVID-19 oleh lima organisasi profesi kedokteran tersebut masih sangat baru, sehingga, Kemenkes membutuhkan waktu untuk dapat mengadopsi protokol yang baru dalam sistem pelayanan kesehatan mereka.
Nah, bagaimana masyarakat harus menyikapi adanya Azithromycin dan Oseltamivir dalam paket isoman yang mereka terima?
Tentunya, masyarakat harus memahami dengan betul kondisi yang sedang mereka alami. Termasuk, apabila mereka menerima obat dan vitamin dalam paket isoman. Pastikan bahwa konsumsi obat dan vitamin tersebut memang diperlukan dan telah sesuai dengan kondisi mereka. Prof. Zubairi bahkan menghimbau masyarakat untuk menghentikan konsumsi Azithromycin apabila mereka tidak mengalami infeksi bakteri sekunder namun sudah terlanjur mengkonsumsinya.
Selain itu, sangat dihimbau agar masyarakat tidak sembarangan dalam membeli dan menyetok obat dan vitamin. Karena, selain dapat membahayakan kesehatan, pembelian dan penyetokan yang berlebihan dapat memicu kelangkaan obat, sehingga, orang yang benar-benar membutuhkan obat tersebut dapat kesulitan untuk memperolehnya.
Stay safe and healthy, semuanya!
***