Life Reinsurance
Mengenal Gerd
GERD alias
Gastroesophageal reflux disease bukanlah kondisi yang asing bagi kita. GERD merupakan salah satu bentuk dari gangguan fungsi pencernaan, yang ditandai dengan adanya refluks asam lambung, yang terjadi secara berulang dan untuk jangka waktu yang panjang. Refluks asam lambung sendiri merupakan kondisi yang terjadi ketika cairan asam lambung mengalir naik melalui kerongkongan.
Refluks asam lambung pada dasarnya merupakan hal yang ‘fisiologis/normal/wajar’, di mana kondisi tersebut dapat terjadi sesekali pada orang yang sehat pada kondisi tertentu. Meskipun demikian, apabila refluks asam lambung sering terjadi –sekitar 2 – 3 kali dalam seminggu-, refluks asam lambung tersebut dapat menyebabkan perlukaan pada dinding lambung dan kerongkongan, sehingga, kondisi tersebut sudah bukanlah hal yang normal dan telah dapat dikategorikan sebagai GERD.
Sumber foto: www.freepik.com
Refluks asam lambung seharusnya merupakan kondisi yang ‘wajar’ terjadi, apabila
sphincter esofagus –alias cincin otot yang membatasi lambung dan kerongkongan- dapat menutup dengan sempurna. Saat kita menelan makanan,
sphincter esofagus secara otomatis akan membuka untuk memberikan jalan agar makanan dapat masuk ke dalam lambung. Setelah makanan masuk ke dalam lambung,
sphincter esofagus akan kembali menutup, agar makanan tidak naik kembali ke kerongkongan dan asam lambung yang muncul akibat
trigger makanan tidak dapat naik ke kerongkongan.
Sayangnya, pada sebagian orang,
sphincter esofagus tidak dapat menutup dengan sempurna, sehingga, asam lambung dapat naik ke kerongkongan. Proses refluks asam lambung ini dapat menyebabkan iritasi dan mengikis lapisan dinding lambung dan kerongkongan. Iritasi dan perlukaan inilah yang menyebabkan penderita GERD dapat mengalami sensasi nyeri ulu hati, terbakar pada kerongkongan, terbakar pada dada (
heartburn), serta rasa asam pada mulut. Bahkan, pada sebagian orang,
sphincter esofagus dapat melemah dan bahkan dapat terbuka tanpa adanya
trigger makanan. Inilah yang menyebabkan penderita GERD dapat mengalami serangan GERD bahkan di luar waktu makan, misalnya, pada saat tidur atau beraktivitas seperti biasa.
GERD dapat terjadi pada semua kalangan, meskipun demikian, berdasarkan data yang ada, GERD lebih berpotensi terjadi pada orang-orang yang memiliki berat badan berlebih (
overweight atau obesitas), perokok aktif, wanita hamil, orang yang mengkonsumsi obat-obatan tertentu (misalnya, antibiotik, NSAIDs, dan steroid), orang gemar melakukan
binge eating (makan dalam jumlah sangat banyak pada satu waktu), serta orang yang gemar mengkonsumsi makanan yang dapat memicu asam lambung, seperti makanan pedas, makanan asam, makanan berlemak, makanan yang digoreng, dan minuman yang mengandung alkohol.
Sumber foto: www.freepik.com
Selain dari faktor-faktor tersebut, berdasarkan sebuah studi yang mempelajari hubungan GERD dengan faktor psikososial pada tahun 2015, risiko terjadinya GERD juga dapat meningkat pada orang yang mengalami gangguan kecemasan/
anxiety dan depresi. Studi tersebut menyatakan bahwa kecemasan dan ketidakstabilan psikologis pada penderita
anxiety dan depresi memicu munculnya asam lambung, refluks asam lambung, serta
heartburn dan nyeri perut bagian atas. Penderita GERD dengan komorbid gangguan
anxiety dan depresi juga disebutkan memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan penderita GERD yang tidak memiliki komorbid tersebut.
Sulit memang bagi penderita GERD untuk menghindari terjadinya kekambuhan. Oleh karena itu, penderita GERD harus memahami faktor risiko yang dia miliki, serta berusaha untuk mengendalikannya. Misalnya, seorang penderita GERD telah mengetahui bahwa GERD-nya dapat kambuh apabila dirinya mengkonsumsi makanan pedas. Oleh karena itu, sebaiknya sebisa mungkin dirinya menghindari untuk mengkonsumsi makanan pedas.
Apabila dicurigai bahwa kita menderita GERD, akan sangat direkomendasikan kita untuk melakukan konsultasi kepada dokter serta melakukan pemeriksaan yang dapat mengkonfirmasi kecurigaan tersebut. Salah satu pemeriksaan yang paling sering direkomendasikan oleh dokter adalah endoskopi, di mana, pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara memasukkan sebuah tabung lentur yang dilengkapi oleh kamera kecil ke dalam kerongkongan. Melalui pemeriksaan endoskopi tersebut, dokter dapat melihat kondisi esofagus, lambung, serta duodenum. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi adanya pengikisan serta peradangan pada bagian-bagian tersebut, yang memang dapat disebabkan oleh refluks asam lambung.
Selain melihat kondisi kerongkongan, lambung, serta duodenum, dokter juga umumnya akan mengambil sampel untuk mendeteksi adanya
Barret’s Esophagus, yang merupakan kondisi di mana terjadi kerusakan pada sel-sel esofagus akibat paparan asam lambung secara terus-menerus pada esofagus.
Barrett’s Esophagus merupakan salah satu kondisi yang diklasifikasikan sebagai kondisi pre-kanker, dan apabila dibiarkan tanpa penanganan yang adekuat, kondisi ini dapat berkembang menjadi kanker esofagus. Kondisi tersebut dapat terjadi pada 10 – 15% penderita GERD, terutama yang telah mengalaminya selama lebih dari 8 tahun.
Pengobatan GERD dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi jumlah asam yang dihasilkan oleh lambung. Beberapa obat yang umumnya diresepkan oleh dokter di antaranya adalah antasida, H-2
receptor blocker,
Proton Pump Inhibitor, serta Baclofen. Antasida bekerja dengan menetralisir cairan asam pada lambung melalui bantuan kimia alkali. Sifat basa dari antasida akan meningkatkan pH pada lambung, sekaligus dapat mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut pada lapisan lambung akibat paparan asam. Meskipun demikian, konsumsi antasida tidak dapat memulihkan kondisi kerongkongan yang terlanjur mengalami peradangan akibat refluks asam lambung.
H-2
receptor blocker bekerja dengan menghambat kerja sel-sel penghasil asam lambung, sehingga, produksi asam lambung pun dapat terhambat. Onset kerja dari H-2
receptor blocker memang tidak secepat antasida. Meskipun demikian, efek dari H-2
receptor blocker dapat terasa hingga selama 12 jam. Beberapa contoh dari obat golongan H-2
receptor blocker di antaranya adalah Ranitidine, Cimetidine, Famotidine, dan Nizatidine. Konsumsi H-2
receptor blocker tidak boleh berlebihan dan harus dilakukan dalam pengawasan dokter, karena, konsumsi H-2
receptor blocker dalam jangka panjang berpotensi menurunkan kadar Vitamin B12 dalam tubuh, serta dapat membuat tulang kita menjadi rapuh.
Serupa dengan H-2
receptor blocker namun memiliki kekuatan yang lebih
potent,
Proton Pump Inhibitor (PPI) juga bekerja dengan menghambat produksi asam lambung. Selain itu, konsumsi PPI juga dapat membantu pemulihan kerongkongan yang telah mengalami iritasi dan peradangan akibat paparan asam lambung secara terus-menerus. Beberapa contoh dari obat yang termasuk golongan PPI di antaranya adalah Lansoprazole, Pantoprazole, dan Omeprazole.
Baclofen merupakan salah satu obat yang dapat membantu meredakan gejala GERD dengan mengurangi frekuensi terbukanya
sphincter esofagus. Meskipun demikian, konsumsi Baclofen tidak dapat dilakukan secara sembarangan karena obat ini dapat menyebabkan beberapa efek samping seperti mual, muntah, serta rasa kelelahan yang berat.
Apabila penderita GERD juga mengalami gangguan
anxiety atau depresi, pengobatan yang dilakukannya dapat dikombinasikan dengan pengobatan untuk gangguan
anxiety atau depresinya, yang dapat meliputi psikoterapi, hipnoterapi, konsumsi
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), Benzodiazepine, serta
Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI).
Apabila konsumsi obat-obatan tidak lagi dapat meredakan GERD, dokter mungkin akan merekomendasikan penderita GERD untuk menjalani tindakan pembedahan seperti fundoplikasi dan LINX. Prosedur fundoplikasi dilakukan dengan mengikat bagian atas lambung atau bagian bawah
sphincter esofagus. Tindakan ini bertujuan untuk mengencangkan otot pada sphincter esofagus, demi mencegah terjadinya refluks asam lambung. Prosedur fundoplikasi dilakukan dengan memberikan
general anesthesia kepada pasien untuk membuat pasien tetap merasa nyaman. Meskipun demikian, waktu pemulihan pasien dari tindakan ini relatif cepat, yaitu dalam 1 – 3 minggu setelah tindakan.
Berbeda dari prosedur fundoplikasi, prosedur LINX memanfaatkan penggunaan cincin yang dililitkan pada perbatasan antara area kerongkongan dan lambung. Daya magnetik dari cincin tersebut diharapkan dapat menguatkan
sphincter esofagus, sehingga tidak mudah longgar dan dapat mencegah terjadinya refluks asam lambung.
Sumber foto: https://www.ucihealth.org/medical-services/esophageal-disease/gerd/linx-treatment-for-gerd
Dikutip dari
American College of Gastroenterology, hal yang tak kalah penting dari pengobatan serta tindakan untuk mengobati GERD adalah memperbaiki pola hidup kita. GERD memang tidak dapat disembuhkan secara total, namun, masih dapat dikendalikan faktor risiko serta potensi kekambuhannya. Beberapa pola hidup sehat yang dapat kita terapkan adalah mengkonsumsi makanan sehat, menghindari makanan yang iritatif terhadap lambung (misalnya, makanan pedas, makanan asam, makanan berlemak, kopi, teh, dan alkohol), menghentikan kebiasaan merokok, berolahraga teratur, mengendalikan berat badan, serta melakukan meditasi dan teknik relaksasi. Selain itu, penderita GERD juga sangat direkomendasikan untuk memperbaiki pola makannya, misalnya, memberikan waktu jeda 2 – 3 jam antara makan dan tidur, tidak langsung berbaring setelah makan, serta mengkonsumsi makanan dalam jumlah tidak banyak namun sering. Tidak lupa, penderita GERD juga disarankan untuk selalu berjaga-jaga dan membawa obat-obatan yang biasa dikonsumsi, sehingga, apabila terjadi kekambuhan, kondisinya tersebut dapat segera tertangani.
Stay safe and healthy, semuanya!