Belum tuntas dunia ini menghadapi Pandemi Covid, lagi-lagi, sebuah virus baru kembali ditemukan di China. Virus baru ini memiliki nama Langya Henipavirus, atau dikenal juga sebagai Virus Langya atau LayV. Virus ini ditemukan di Provinsi Shandonng dan Henan, China Timur, dan sejauh ini dilaporkan telah menginfeksi sekitar 35 orang.
Apakah Virus Langya ini, dan apakah virus ini dapat menyebabkan fatalitas pada penderitanya?
Meskipun namanya baru kita dengar, sebenarnya Virus Langya telah terdeteksi cukup lama, yaitu sekitar akhir tahun 2018 lalu. Meskipun demikian, baru di bulan Agustus 2022 inilah Virus Langya secara resmi diidentifikasi oleh para ilmuwan, berdasarkan kasus-kasus infeksi yang menyeruak muncul.
Virus Langya sendiri merupakan salah satu jenis dari Zoonosis Henipavirus, yang masih satu spesies dengan Virus Nipah dan Virus Hendra, yang baru-baru ini juga menjadi pembicaraan hangat di dunia penyakit infeksi. Henipavirus sendiri merupakan genus dari negative-strand RNA virus pada family Paramyxoviridae, ordo Mononegavirales, yang terdiri dari lima spesies.
Sama seperti virus zoonosis lainnya, Virus Langya juga ditransmisikan dari hewan ke manusia. Sebuah studi pernah dilakukan untuk mendeteksi Virus Langya pada sekelompok hewan. Dari studi tersebut, ditemukan bahwa Virus Langya terdeteksi pada sekitar 27% tikus yang menjadi sampel, atau sekitar 262 tikus. Selain tikus, Virus Langya juga ditemukan terdeteksi pada beberapa anjing dan kambing.
Bagaimana awal kisah merebaknya Virus Langya ini?
Pemberitaan wabah ini dimulai ketika sekelompok petani dan pekerja pabrik dari Provinsi Shandonng dan Henan di China Timur mengeluhkan demam, nyeri kepala, nyeri badan, serta beberapa gejala lainnya yang serupa. Proses identifikasi patogen penyebab dilakukan melalui proses swab tenggorokan para penderita, dan kemudian dari hasil swab tersebut menunjukkan keberadaan Virus Langya.
Dari para penderita yang telah terkonfirmasi terinfeksi Virus Langya, telah dilakukan pelacakan kontak erat dan pemeriksaan swab pada para kontak erat tersebut. Hasilnya, tidak ada di antara kontak erat tersebut yang terinfeksi Virus Langya. Temuan tersebut mengarah ke hipotesa sementara bahwa Virus Langya ‘hanya’ menular dari hewan ke manusia, dan belum adanya bukti penularan antara manusia ke manusia. Meskipun demikian, Centers for Disease Control (CDC) memperingatkan masyarakat untuk tidak lengah, mengingat bahwa jumlah kontak erat tersebut masih sangat kecil untuk mengkonfirmasi tidak adanya transmisi antara manusia ke manusia. Selain itu, perlu diingat bahwa beberapa penyakit yang pernah menjadi wabah pada awalnya juga ‘hanya’ ditransmisikan dari hewan ke manusia.
Apakah gejala yang dialami oleh penderita yang terinfeksi Virus Langya?
Sebelum mengalami gejala, sebagaimana penyakit infeksi lainnya, Virus Langya juga mengalami masa inkubasi. Perkiraan masa inkubasi Virus Langya adalah sama seperti masa inkubasi Henipavirus lainnya, yaitu sekitar beberapa hari hingga dua bulan, tergantung pada rute penularan yang terjadi.
Berdasarkan publikasi yang diterbitkan pada New England Journal of Medicine (NEJM), penderita yang terinfeksi Virus Langya mayoritas mengeluhkan gejala berupa demam, kelelahan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, mual, muntah, serta penurunan nafsu makan. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, penderita juga mengalami penurunan angka leukosit (leukopenia).
Sejauh ini, belum ditemukan adanya fatalitas pada semua kasus Virus Langya. Meskipun demikian, virus ini tidak dapat disepelekan mengingat gejalanya yang cukup berat, serta sampai saat ini masih belum ditemukan pengobatan definitif ataupun vaksin untuk virus tersebut.
Nah, pertanyaan yang mungkin muncul adalah, ‘mengapa banyak virus baru yang muncul di China?’
Dicky Budiman selaku Epidemiolog dari Griffith University Australia menyebutkan bahwa wilayah dataran China merupakan wilayah tropis yang memiliki banyak hutan liar, yang dihuni oleh para hewan liar yang berpotensi membawa virus. Sampai saat ini, pengetahuan terkait penyakit infeksi pada hewan liar masih sangat terbatas, dan diperkirakan terdapat ratusan ribu hingga jutaan virus yang mungkin belum kita ketahui dapat terjadi pada hewan liar. Selain itu, menyebarnya infeksi dari virus baru juga tak lepas dari kebiasaan penduduk China yang gemar mengkonsumsi hewan liar, yang sangat berpotensi membawa penyakit. Penularan sendiri berpotensi terjadi selama proses penangkapan hewan, pemasakan hewan, ataupun saat mengkonsumsi hewan, terutama apabila proses pemasakan tidak dilakukan dengan sempurna/matang.
Di luar banyaknya virus baru yang terdeteksi dari China, Dicky Budiman menyampaikan bahwa China memiliki kemampuan yang cukup mumpuni dalam upaya deteksi dan surveillance potensi virus baru. Hal tersebut patut disyukuri karena surveillance merupakan salah satu faktor vital dalam upaya pencegahan kejadian dan perburukan wabah/pandemi.
Bagaimana kita harus menyikapi penyakit-penyakit ‘baru’ yang muncul di antara kita?
Penyakit-penyakit ‘baru’ ini umum dikenal sebagai emerging disease di dunia kedokteran. Emerging disease sendiri merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh pathogen yang memasuki suatu wilayah geografis baru, di mana penyakit ini memperluas jangkauan inang pembawanya melalui proses transmisi, yang dapat terjadi melalui transmisi sesama hewan liar, dari hewan liar ke hewan peliharaan, sesama hewan peliharaan, atau dari hewan liar ataupun hewan peliharaan ke manusia. Semua metode transmisi tersebut merupakan buah dari kombinasi dan interaksi dari berbagai proses, di antaranya adalah proses globalisasi, perubahan gaya hidup, serta proses urbanisasi yang dapat berdampak pada adanya deforestasi besar-besaran, yang pada akhirnya dapat mengubah rute pola migrasi hewan liar. Pada akhirnya, kondisi tersebut meningkatkan potensi kontak yang lebih tinggi antara hewan liar dengan hewan peliharaan dan manusia.
Emerging disease tidak hanya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus, justru, sebagian besar emerging disease yang ‘besar’ –misalnya, Tuberculosis, Kolera, dan Malaria- disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Pada awalnya –alias sebelum merebak di masyarakat-, semua emerging disease tersebut belum ‘beradaptasi dengan baik’ pada manusia, dan hanya muncul secara sporadis pada wabah lokal. Meskipun demikian, virus memiliki kemampuan mutasi yang memungkinkannya ‘beradaptasi’ dengan manusia, sehingga pada akhirnya transmisi antara manusia ke manusia pun dapat terjadi. Hal tersebut sayangnya didukung oleh faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, tingginya mobilitas penduduk, sanitasi yang tidak baik, serta sistem pelayanan kesehatan yang belum baik dan merata di semua daerah.
Pandemi Covid yang saat ini masih kita alami pada akhirnya telah menunjukkan ‘ketidaksiapan’ dunia untuk menghadapi pandemi. Masih jelas seharusnya di ingatan kita, bagaimana temuan kasus pertama Covid di China mengarah pada temuan ratusan kasus Covid, kemudian ribuan, dan pada akhirnya jutaan kasus Covid di seluruh dunia. Pandemi Covid ini seharusnya merupakan pelajaran yang sangat mahal akan pentingnya ketahanan sistem kesehatan, serta perancangan strategi yang efektif untuk menangani suatu wabah secara global, di mana, penanganan wabah tidak hanya perlu memperhatikan aspek perawatan, namun juga berfokus pada aspek pencegahan dan penguatan pengetahuan pada tenaga kesehatan, Pemerintah, serta semua lapisan masyarakat yang terlibat.
Stay safe and healthy, semuanya!
***