17 January 2022 12490
Life Reinsurance

Spinal Cord Injury

Meninggalnya Laura Anna – seorang selebgram berusia 21 tahun- membuat spinal cord injury menjadi salah satu top keyword di Google Search. Laura Anna memang telah menderita spinal cord injury selama kurang lebih dua tahun terakhir ini, sejak dirinya mengalami kecelakaan mobil pada akhir 2019 lalu. Nah, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan spinal cord injury, dan apakah selain dapat menyebabkan kelumpuhan, spinal cord injury juga dapat menyebabkan kematian?
 
Sebelum memahami tentang spinal cord injury, ada baiknya jika kita memahami tentang sistem saraf pusat alias central nervous system (CNS) terlebih dahulu.

Spinal1Sumber foto: www.msdmanuals.com

CNS terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Spinal cord itu sendiri merupakan jaringan lunak yang dikelilingi oleh tulang belakang (vertebrae). Spinal cord memanjang dari otak bagian bawah, serta berisikan sekumpulan sel-sel saraf (traktus) yang akan menuju ke berbagai bagian tubuh. Ujung pangkal dari spinal cord akan berakhir sedikit di atas pinggang kita, tepatnya pada area yang disebut sebagai conus medullary. Di bawah daerah inilah terdapat sekumpulan nerve roots yang dikenal sebagai cauda equine.
 
Traktus pada spinal cord berperan sebagai pembawa sinyal pesan antara otak dan bagian tubuh lainnya. Traktus sendiri terdiri dari sel motoris dan sel sensoris. Sel motoris akan membawa pesan sinyal dari otak yang nantinya akan mengendalikan pergerakkan otot. Sementara itu, sel sensoris akan membawa pesan sinyal yang terkait dengan sensasi suhu (panas dan dingin), sentuhan, tekanan, nyeri, dan posisi dari bagian tubuh lainnya menuju otak.
 
Nah, apa yang sebenarnya terjadi apabila seseorang mengalami spinal cord injury?

spinal2Sumber foto: www.escif.org/spinal-cord-injury

Karena spinal cord sangat erat dengan fungsi motoris dan sensoris, pada saat terjadi spinal cord injury, kedua fungsi itulah yang paling besar terdampak. Adapun seberapa luas dan berat dampak yang ada sangat bergantung terhadap lokasi dari terjadinya cedera. Pada kasus spinal cord injury, kerusakan dan gangguan tidak hanya terjadi pada area yang mengalami cedera, namun juga dapat terjadi pada otot serta saraf yang berada di bawah lokasi cedera.
 
Dalam hal gangguan motoris, sebagian besar penderita spinal cord injury memang akan mengalami keterbatasan pergerakan anggota gerak –alias kelumpuhan atau paralysis-. Pada kasus paralysis, seorang penderita spinal cord injury dapat mengalami kondisi yang dinamakan paraplegia dan tetraplegia. Paraplegia merujuk kepada ketidakmampuan penderita untuk menggerakkan anggota tubuh bagian bawahnya (kedua tungkai dan kaki). Sementara itu, tetraplegia merujuk kepada ketidakmampuan penderita untuk menggerakkan seluruh anggota geraknya (atas dan bawah, termasuk kedua lengan, kedua tangan, kedua tungkai, dan kedua kaki). Baik paraplegia maupun tetraplegia sendiri dapat bersifat complete maupun incomplete, di mana, pada kondisi incomplete, penderita masih dapat memiliki sebagian fungsi motoris dan sensoris dari bagian tubuhnya.
Dalam hal gangguan sensoris, penderita spinal cord injury dapat mengalami paresis, yaitu kehilangan kemampuan untuk merasakan sensasi suhu, sentuhan, tekanan, nyeri, dan posisi dari bagian-bagian tubuh yang terdampak cedera. Sebagai contoh, penderita spinal cord injury pada thoracic spine tidak akan dapat merasakan sensasi sentuhan ataupun nyeri pada bagian dada dan perutnya.

Apakah penderita spinal cord injury ‘hanya’ mengalami gangguan pada fungsi motoris dan sensorisnya saja?

spinal3Sumber foto: www.freepik.com

 
Sayangnya tidak. Baik gangguan motoris dan sensoris dapat menimbulkan beberapa komplikasi dan gangguan kesehatan lainnya, yang bahkan dapat menyebabkan penyakit kronis atau bahkan fatalitas. Seperti misalnya, gangguan motoris yang dialami oleh penderita spinal cord injury tentunya akan membatasi pergerakkan serta aktivitasnya. Hal ini menyebabkan penderita akan terbaring dalam waktu yang cukup lama, dan tentunya sulit untuk melakukan exercise atau olah raga. Kondisi imobilitas penderita spinal cord injury dapat menimbulkan komplikasi berupa ulkus decubitus, yang merupakan perlukaan yang muncul apabila seseorang terlalu lama berbaring. Perlukaan ini berpotensi menimbulkan infeksi yang meluas –bahkan sepsis-, apabila tidak segera diberikan penanganan.
 
Selain dari ulkus decubitus, imobilitas penderita juga dapat mengakibatkan penderita mengalami obesitas, terutama apabila imobilitasnya itu tidak diimbangi dengan pola hidup sehat lainnya yang memungkinkan. Dari obesitas tersebut, tentunya penderita akan memiliki risiko yang cukup tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular, seperti diabetes mellitus.
 
Gangguan motoris juga tidak hanya dapat diartikan dari gangguan pada otot anggota gerak, melainkan, gangguan motoris juga dapat meliputi gangguan otot pernafasan. Dalam kasus spinal cord injury, tidak jarang penderita mengalami gangguan pernafasan karena otot-otot area dada dan perutnya tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga mengganggu proses pertukaran udara (menarik dan menghembuskan nafas). Hal ini dapat menyebabkan penderita mengalami sesak nafas, dan tidak jarang dapat menimbulkan terjadi gagal pernafasan.
 
Penderita spinal cord injury juga rentan mengalami gangguan berkemih dan pencernaan. Gangguan berkemih dan pencernaan ini diakibatkan oleh kerusakan pada sel saraf yang berperan sebagai pembawa pesan dari otak ke sistem urinary dan sistem pencernaan. Akibatnya, penderita spinal cord injury tidak dapat mengendalikan keinginan buang air kecil maupun besarnya. Apabila terjadi secara berkelanjutan, gangguan kendali tersebut dapat menyebabkan penderita mengalami gangguan saluran kemih –termasuk di antaranya infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, dan gangguan fungsi ginjal- serta gangguan pencernaan –seperti konstipasi dan hemorrhoid-.
 
Komplikasi dari spinal cord injury yang dapat berakibat cukup fatal adalah deep vein thrombosis dan pulmonary embolism. Deep vein thrombosis (DVT) adalah penggumpalan darah pada satu atau lebih pembuluh darah vena dalam. Pada saat kita mengalami cedera, darah akan menggumpal sebagai upaya untuk menghentikan perdarahan. Pada kasus DVT, penggumpalan darah juga terjadi di pembuluh darah vena dalam, yang dapat mengakibatkan aliran darah menjadi tersumbat. Gumpalan darah ini dapat ‘lolos’ dan ‘hanyut’ di aliran darah, bahkan dapat mengarah serta menyumbat pembuluh darah paru-paru. Akibatnya, penderita akan mengalami sesak nafas dan bahkan fatalitas dapat terjadi.
 
Spinal cord injury yang diderita oleh Laura Anna merupakan akibat dari kecelakaan mobil yang dialaminya. Namun, apakah memang spinal cord injury hanya dapat disebabkan oleh kecelakaan mobil/kendaraan bermotor saja?

spinal4Sumber foto: www.freepik.com

 
Sebagian besar penyebab kasus spinal cord injury memang adalah adanya trauma, baik itu yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat olahraga, ataupun kekerasan fisik lainnya. Namun, pada dasarnya, spinal cord injury dapat diakibatkan oleh kondisi apapun yang dapat menyebabkan cedera/perlukaan pada spinal cord, ligament, ataupun spinal column disc. Beberapa kondisi non-traumatic yang dapat menyebabkan spinal cord injury di antaranya adalah arthritis, osteoporosis, kanker, infeksi spinal cord, atau disc generation of the spine.
 
Apabila kita mengalami kecelakaan atau gejala yang mengarah ke spinal cord injury, sebaiknya kita segera berkonsultasi dengan dokter dan melakukan pemeriksaan yang dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis spinal cord injury. Metode diagnosis pertama tentulah dengan melakukan anamnesa serta evaluasi klinis, berdasarkan keluhan, gejala, serta riwayat cedera atau aktivitas yang dialami dan dilakukan oleh penderita. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan neurologi klinis yang meliputi tes kekuatan otot dan tes sensoris tubuh. Sebagai pemeriksaan penunjang, dokter akan melakukan pemeriksaan X-rays, CT Scan, atau MRI untuk melihat kondisi spinal cord, tulang belakang, serta otak. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter biasanya akan bersifat serial, yang artinya akan dilakukan sebanyak beberapa kali, dengan tujuan untuk mengevaluasi perkembangan penyakit dan kondisi dari pasien tersebut. Pemeriksaan serial itulah yang nantinya akan berperan banyak dalam menentukan prognosis dari penderita spinal cord injury.
 
Apakah yang dapat dilakukan untuk mengobati spinal cord injury?
Sayangnya, hingga saat ini belum ada pengobatan, perawatan, atau terapi apapun di dunia medis yang mampu mengembalikan fungsi spinal cord yang telah rusak. Oleh karena itu, penderita spinal cord injury umumnya masih berpotensi mengalami gangguan motoris dan sensoris di sepanjang usianya. Meskipun demikian, beberapa metode perawatan seperti rehabilitasi, pengobatan dan suplementasi sistem saraf, serta prosthesis diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi yang masih ada pada penderita.
 
Selain itu, hal yang tak kalah pentingnya dalam perawatan penderita spinal cord injury adalah dengan turut memperhatikan dan memberikan support terhadap kondisi mental dari penderita. Tidak jarang, penderita spinal cord injury dapat mengalami depresi ataupun anxiety, akibat cedera, gangguan kesehatan, serta ketidakmampuan yang mereka alami. Oleh karena itu, peranan konsultasi psikolog/psikiater dan psikoterapi sangat penting di sini, untuk tetap memberikan dukungan kepada penderita, agar tetap bersemangat dalam menjalani perawatan dan kehidupannya.
 
Kita memang tidak dapat menghindari terjadinya penyakit ataupun musibah. Namun tentunya, kita dapat berupaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan seperti dengan berhati-hati dalam mengemudikan kendaraan, tetap berada dalam batas aman kecepatan, fokus dalam berkendara, tidak menggunakan handphone atau gadget lainnya saat berkendara, serta tidak berkendara saat dalam pengaruh alkohol, obat, atau substansi terlarang lainnya.
 
Selain itu, apabila kita menemui orang yang mengalami kecelakaan, kita dapat berupaya untuk mengurangi risiko terjadinya spinal cord injury dengan melakukan langkah-langkah berikut ini:
  • Segera menghubungi paramedis saat melihat kejadian kecelakaan
  • Tidak memindahkan atau menggerakkan korban sebelum paramedis tiba di lokasi kecelakaan
  • Meletakkan handuk tebal di kedua sisi leher korban, atau menjaga posisi kepala dan leher korban, hingga paramedis tiba di lokasi kecelakaan
  • Apabila memungkinkan, kita dapat berupaya untuk menghentikan perdarahan, tanpa menggerakkan kepala dan leher korban
Nah, selalu berhati-hati, ya, saat di jalan.
Stay safe and healthy, semuanya!
 
***
 
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id