21 December 2022 12232
Life Reinsurance

Gonorrhea Superbug

Gonorrhea merupakan salah satu infeksi menular seksual, yang dapat dialami oleh baik pria maupun wanita. Yang menjadi concern terkini dari public health atas penyakit ini adalah upaya pencegahan dan upaya pengobatan yang efektif, sehingga penyakit ini tidak menimbulkan komplikasi atau dampak yang berkepanjangan bagi penderita dan orang-orang sekitarnya. Upaya pengobatan Gonorrhea yang efektif akhir-akhir ini menemui tantangan, lantaran kemunculan resistensi Neisseria gonorrhoeae –selaku bakteri penyebab Gonorrhea-, terhadap beberapa agen anti-mikroba yang selama ini umum dipakai dalam pengobatan Gonorrhea. Fenomena tersebut dikenal sebagai ‘Gonorrhea Superbug’.

Kali ini, kita akan membahas tentang bagaimana fenomena ‘Gonorrhea Superbug’ dapat terjadi, dan bagaimana kita dapat mengatasi dampak dari fenomena tersebut. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh tentang ‘Gonorrhea Superbug’, ada baiknya jika kita membahas tentang Gonorrhea secara umum terlebih dahulu.

Gonorrhea merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri bernama Neisseria gonorrhoeae. Selain Gonorrhea, N. gonorrhoeae juga dapat menjadi agen penyebab dari beberapa sindroma klinis yang bersifat Gonorrhea-related, seperti urethritis, cervicitis, bacteremia, arthritis, dan lain sebagainya. N. gonorrhoeae merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual terbanyak kedua di dunia, yang telah menyebabkan dampak morbiditas yang sangat tinggi dan dampak finansial yang berat pada dunia. Pada tahun 2012, World Health Organization (WHO) mengestimasikan adanya 78 juta kasus Gonorrhea baru pada kelompok usia remaja dan dewasa (15 – 49 tahun), dengan global incidence rate sebesar 19 per 1,000 wanita dan 24 per 1,000 pria.

Sebagaimana infeksi menular seksual lainnya, penularan Gonorrhea umumnya terjadi melalui hubungan seksual, baik itu hubungan seksual yang melalui vaginal, anal, maupun oral. Mekanisme transmisi Gonorrhea terjadi akibat adanya kontak fisik dengan permukaan mukosa dari individu yang terinfeksi. Oleh karena dapat ditransmisikan melalui kontak seksual, faktor risiko Gonorrhea dapat meningkat apabila hubungan seksual dilakukan secara non-monogami (berganti-ganti pasangan) dan tidak menggunakan kondom sebagai pengaman.

Selain ditularkan melalui hubungan seksual, pada beberapa kasus, Gonorrhea bisa didapatkan secara kongenital, yaitu, pada kondisi di mana Gonorrhea ditransmisikan dari Ibu kepada bayinya. Penularan dapat terjadi pada proses kelahiran, dan bayi yang terinfeksi dapat mengalami gangguan penglihatan berupa kemerahan pada mata dan keluarnya nanah dari mata. Kondisi tersebut dikenal sebagai Conjunctivitis Gonorrhea.

Diagnosis Gonorrhea dilakukan melalui proses deteksi atas keberadaan dari N. gonorrhoeae. Deteksi dapat dilakukan melalui kultur dan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) pada saluran genitourinaria. Kultur memerlukan spesimen dari swab urethra (pada pria) atau swab endo-cervix (pada wanita). Sementara itu, NAAT memungkinkan untuk dilakukan pada lebih banyak jenis spesimen, seperti urethra, endo-cervix, vagina, dan urine.

Fase penyakit Gonorrhea dapat dikategorikan menjadi beberapa fase, yaitu fase infeksi asymptomatic, fase infeksi local symptomatic, fase infeksi lokal dengan komplikasi, dan fase infeksi sistemik. Sebagian penderita Gonorrhea dapat mengalami fase infeksi asymptomatic yang cukup panjang, bahkan beberapa di antaranya tidak mengalami fase symptomatic sama sekali. Gejala pada penderita pria dapat terjadi pada 1 – 30 hari setelah terinfeksi, dengan rerata gejala mulai muncul pada hari ke-2 hingga hari ke-5 setelah infeksi. Sementara itu, penderita wanita lebih cenderung tidak mengalami gejala, atau gejala yang dialami relatif ‘menyaru’ dengan gejala penyakit lainnya.

Masyarakat mungkin selama ini mengenal Gonorrhea sebagai ‘penyakit kencing nanah’, karena memang, salah satu gejala yang paling sering dialami oleh pria penderita Gonorrhea adalah keluarnya nanah dari penis. Selain itu, pria penderita Gonorrhea juga sering mengeluhkan nyeri pada penis, yang semakin memberat saat buang air kecil. Sementara itu, Gonorrhea pada wanita umumnya menyebabkan gejala yang kurang spesifik, seperti munculnya keputihan secara terus menerus, serta munculnya perdarahan pervaginam di luar periode menstruasi. Selain itu, wanita penderita Gonorrhea tidak jarang mengalami komplikasi berupa Pelvic Inflammatory Disease (PID) yang dapat menyebabkan perlukaan pada Fallopian Tube, dan pada akhirnya dapat menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik. Potensi komplikasi inilah yang harus dicegah oleh pengobatan yang cepat, tepat, dan adekuat.

Dikarenakan Gonorrhea disebabkan oleh infeksi bakteri, pengobatan utama Gonorrhea dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti Sulfanilamide, Penicillin, Tetracycline, Fluoroquinolone, dan Cephalosporin. Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan dual-antibiotik yang mengkombinasikan penggunaan Cephalosporin dan Azithromycin, untuk meningkatkan efektivitas pengobatan. Selain kepada penderita, observasi juga direkomendasikan untuk dilakukan kepada partner seksual dari penderita. Observasi dapat dilakukan selama 60 hari, dan presumptive dual treatment dapat diberikan dengan pertimbangan tertentu, misalnya, apabila hubungan seksual dilakukan tanpa pengaman. Abstinensi hubungan seksual tanpa proteksi juga direkomendasikan untuk dihindari selama tujuh hari setelah selesai terapi dan hilangnya gejala.

Pengobatan yang efektif sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan penularan lebih lanjut. Sayangnya, pengobatan Gonorrhea di masa kini menjadi cukup menantang lantaran peningkatan kemampuan dan resistensi dari mikroorganisme secara progresif terhadap agen anti-mikroba. Resistensi mikroorganisme penyebab Gonorrhea merupakan suatu rangkaian perjalanan yang panjang, di mana, pada awalnya, Gonorrhea merupakan infeksi menular seksual yang relatif mudah untuk diterapi karena bakteri N. gonorrhoeae pada dasarnya termasuk ke dalam bakteri yang relatif sensitif terhadap anti-mikroba, jika dibandingkan dengan bakteri gram negatif lainnya. Meskipun demikian, lambat laun, muncul beberapa ‘new strains’ yang resisten terhadap regimen pengobatan umum Gonorrhea.

Pada tahun 1985, terjadi peningkatan Plasmid-mediated resistance to Tetracycline, yang menyebabkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan untuk tidak lagi menggunakan Tetracycline sebagai pengobatan Gonorrhea. Menyusul pada tahun 1987, terjadi peningkatan Plasmid-mediated resistance to Penicillin (Penicillinase-producing N. gonorrhoeae [PPNG]), yang menyebabkan dunia medis terpaksa meninggalkan Penicillin dosis tunggal dari regimen pengobatan Gonorrhea. Selain itu, prevalensi Chromosomally-mediated resistance to Fluoroquinolone (Fluoroquinolone-resistant N. gonorrhoeae [QRNG]) yang meningkat juga menyebabkan Fluoroquinolone tidak lagi digunakan sebagai terapi Gonorrhea pada tahun 2007. Puncaknya adalah kondisi di mana terjadi kemunculan Cephalosporin-resistant gonorrhea, di mana sebelumnya Cephalosporin merupakan pilihan terapi yang sangat efektif sekaligus well-tolerable bagi penderita Gonorrhea.

Kembali kepada ‘Gonorrhea Superbug’

Pada dasarnya, ‘Gonorrhea Superbug’ atau ‘Super Gonorrhea’ merupakan extensively drug-resistant Gonorrhea yang memiliki high-level resistance terhadap treatment yang direkomendasikan untuk Gonorrhea. Potensi resistensi dicurigai apabila adanya potensi kegagalan terapi, yang ditandai oleh tidak membaiknya gejala yang dialami oleh penderita setelah menjalani terapi dan melakukan abstinensi hubungan seksual selama 3 – 5 hari. Selain itu, potensi kegagalan terapi juga dapat dipertimbangkan apabila penderita dengan test-of-cure positif (kultur positif ? 72 jam atau NAAT positif ? 7 hari setelah terapi). Apabila dicurigai terjadi kegagalan terapi, pengobatan tambahan dapat dilakukan dengan memberikan kombinasi Ceftriaxone 250 mg IM dan Azithromycin 1 g oral. Pengobatan tersebut juga dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi terjadinya reinfeksi selama proses pengobatan, yang sayangnya cukup sering terjadi pada kasus Gonorrhea.

Secara umum, kejadian resistensi Gonorrhea ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu, akses yang terlampau luas terhadap anti-mikroba, penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau berlebihan, suboptimal quality of antibiotics, mutasi genetik yang melekat pada mikroorganisme yang berkontribusi terhadap perkembangan pola resistensi pada N. gonorrhoeae, serta adanya infeksi extra-genital –misalnya, infeksi pada anorektal atau faring-, yang dapat menyebabkan terjadinya interaksi dan pertukaran materi genetik antara N. gonorrhoeae dengan mikroorganisme lainnya.

Segala kejadian resistensi tersebut pada akhirnya menyebabkan sangat terbatasnya pilihan terapi bagi masyarakat. The Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP) yang merupakan sistem surveillance sentinel nasional telah melakukan monitoring atas tren kepekaan anti-mikroba strain N. gonorrhoeae sejak tahun 1986, dan data dari GISP tersebut telah dimanfaatkan oleh CDC untuk membuat revisi pedoman terapi Gonorrhea pada tahun 1989, 1993, 1998, 2002, 2006, dan 2014.

Kita harus memahami bahwa resistensi mikroorganisme dan kemunculan berbagai macam ‘superbug’ merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari di dunia medis. Dalam hal ini, resistensi N. gonorrhoeae terhadap Cephalosporin dan anti-mikroba lainnya mungkin akan terus terjadi. Upaya yang penting untuk dilakukan adalah melakukan pendekatan yang komprehensif melalui penurunan insidensi Gonorrhea, dan melakukan surveillance yang meluas untuk merumuskan rekomendasi terapi yang terus terbaharukan. Kultur terhadap mikroorganisme juga semakin direkomendasikan pada kondisi ini, untuk memastikan sensitivitas anti-mikroba yang akan kita berikan.

Pencegahan akan selalu lebih baik ketimbang mengobati. Oleh karena itu, ketimbang dipusingkan oleh pilihan pengobatan Gonorrhea yang semakin menyempit, kita sebaiknya mengupayakan diri untuk terhindar dari Gonorrhea. Hendaknya kita mengupayakan untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko, yang mana merupakan metode transimisi utama dari Gonorrhea. Selain itu, pada dewasa yang telah aktif secara seksual direkomendasikan untuk melalukan screening secara rutin, terutama apabila dinilai mereka memiliki risiko yang cukup tinggi untuk terinfeksi Gonorrhea.
 
 
Stay safe and healthy, semuanya!
 
 
***
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id