Saat ini, Indonesia sudah mulai membuka diri terhadap penerapan ‘The New Normal’ di dalam kehidupan sehari-hari. Terlepas dari apakah sudah layak atau belumnya Indonesia untuk mewacanakan dan menerapkan gaya hidup tersebut, seharusnya hal itu tidak menurunkan tingkat kewaspadaan kita akan transmisi COVID-19 yang masih belum dapat dikendalikan ini. Pasalnya, banyak masyarakat yang merasa bahwa dengan diterapkannya ‘The New Normal’ di Indonesia, transmisi COVID-19 di Indonesia sudah terkendali dan masyarakat dapat menjalani kehidupannya seperti sebelum masa pandemi. Padahal, pada kenyataannya, jumlah penambahan kasus COVID-19 baru di Indonesia setiap harinya masih konsisten di angka 1000-an kasus perhari.
Sumber foto: merdeka.com
Banyak masyarakat yang belum memahami esensi dari ‘new normal’. ‘New normal’ bukanlah ‘era normal’ yang hadir setelah kejadian pandemi. ‘New normal’ seharusnya merujuk kepada gaya hidup dan perilaku yang seharusnya kita adaptasi dan terapkan dalam seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari, yang bertujuan untuk mencegah transmisi COVID-19. ‘New normal’ ini bukanlah normal seperti masa pre-pandemi. ‘New normal’ juga seharusnya tidak diartikan menjadi ‘sekedar’ menggunakan masker saat berada di luar tempat tinggal kita. Namun juga turut menerapkan perilaku-perilaku yang dapat mencegah transmisi COVID-19 seperti physical distancing dan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).
Terkait dengan penggunaan masker bagi masyarakat luas, pada tanggal 5 Juni 2020, World Health Organization (WHO) telah mengeluarkan interim guidance terbaru terkait penggunaan masker dalam penanganan pandemi COVID-19. Interim guidance tersebut merupakan versi perbaruan dari interim guidance sebelumnya yang diterbitkan oleh WHO pada April 2020. Pada versi sebelumnya, WHO masih belum merekomendasikan masker bedah untuk digunakan oleh seluruh masyarakat. Hal tersebut direkomendasikan dengan turut mempertimbangkan keterbatasan dari ketersediaan masker bedah itu sendiri, yang mana ketersediaan dari masker bedah lebih diprioritaskan untuk digunakan tenaga kesehatan serta orang-orang lain yang lebih berisiko untuk tertular COVID-19 jika dibandingkan dengan masyarakat luas pada umumnya.
Pada interim guidance terbaru ini, WHO akhirnya merevisi rekomendasi yang mereka keluarkan sebelumnya dan merekomendasikan seluruh masyarakat untuk turut menggunakan masker dalam rangka mencegah transmisi COVID-19. Lebih tepatnya, mereka merekomendasikan penggunaan masker bedah, jika hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan. Rekomendasi terbaru tersebut dibuat dengan mempertimbangkan efektivitas dari masker bedah untuk menyaring partikel berukuran sangat kecil seperti virus, sudah maraknya terjadi transmisi lokal di berbagai negara, serta turut didukung oleh ketersediaan masker bedah yang sudah sudah dapat dibilang cukup aman bagi seluruh masyarakat.
Sumber foto: kompas.com
Pada interim guidance tersebut juga disampaikan bahwa transmisi COVID-19 dapat terjadi melalui dua rute, yaitu melalui droplet saluran pernafasan dan kontak dengan benda yang terkontaminasi. Droplet saluran pernafasan merupakan percikan yang dihasilkan dari hidung atau mulut orang yang terinfeksi pada saat orang yang bersangkutan batuk atau bersin. Orang-orang yang berada cukup dekat (sekitar satu meter) dari orang yang terinfeksi tersebut akan berisiko terekspos oleh droplet tersebut. Selain itu, droplet juga dapat turut hinggap pada permukaan sekitar, yang mana dapat ‘terbawa’ oleh orang lain yang menyentuh permukaan tersebut.
Risiko terkena percikan droplet secara langsung dapat kita hindari dengan cara menggunakan masker. Nah, untuk menghindari risiko terkena percikan droplet yang telah hinggap di permukaan benda, kita harus rutin melakukan cuci tangan agar tangan yang berpotensi ‘membawa’ percikan droplet sudah dibersihkan sebelum kita menyentuh mata, hidung, ataupun mulut dengan tangan tersebut. Inilah pentingnya bagi kita untuk tidak sekedar menggunakan masker saja, namun juga menyertainya dengan melakukan tindakan preventif lainnya seperti physical distancing dan PHBS.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang merasa bahwa dengan menggunakan masker saja, mereka pasti aman dari ancaman COVID-19. Sudah-menggunakan-masker dijadikan masyarakat sebagai justifikasi untuk tidak mengindahkan anjuran untuk menerapkan perilaku yang sebenarnya masuk dalam anjuran ‘new normal’, seperti tidak berkumpul dalam kerumunan atau tidak keluar rumah untuk aktivitas yang tidak memiliki urgensi. Hal tersebut dapat dipantau dengan jelas di berbagai daerah, tak terkecuali di Ibukota. Lihat saja, segera setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta dialihkan menjadi PSBB transisi, masyarakat tanpa membuang waktu langsung beranjak keluar rumah, untuk pergi ke pusat perbelanjaan, untuk berolahraga di gelanggang olahraga, untuk menikmati santapan di restoran, seolah lupa bahwa saat ini hakikatnya Indonesia dan seluruh dunia masih berada dalam ancaman pandemi.
Sumber foto: sanglahhospitalbali.com
Segala keriaan masyarakat untuk menyambut PSBB transisi dilakukan dengan justifikasi bahwa mereka toh telah menggunakan masker saat beraktivitas di luar. Masker sudah dianggap masyarakat sebagai benteng pertahanan yang kokoh untung menghalau COVID-19. Tingkat kesadaran masyarakat untuk menggunakan masker saat ini memang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Namun, perlu dilakukan sosialisasi lebih lanjut bahwa ‘hanya’ dengan menggunakan masker, tidak lantas berarti kita pasti aman dari ancaman COVID-19. Penggunaan masker tidak seharusnya menimbulkan semacam ‘rasa aman palsu’ bagi penggunanya, karena seharusnya penggunanya juga turut tertib dalam melaksanakan aturan-aturan lain seperti menerapkan physical distancing dan PHBS. Apalagi, jika ditilik lebih dalam lagi, sebenarnya belum semua orang memahami hakikat dan aturan yang benar dari penggunaan masker.
Akar masalah dari hal ini sebenarnya terletak pada belum pahamnya masyarakat Indonesia akan hakikat dan esensi dari suatu tindakan dan peraturan. Masyarakat Indonesia cenderung patuh pada suatu peraturan, semata hanya karena ada elemen sanksi dalam aturan tersebut. Misalnya, orang-orang cenderung patuh pada aturan penggunaan masker, hanya karena takut akan sanksi atau denda jika tidak menggunakan masker. Namun, dalam penggunaan masker itu sendiri tidak mereka lakukan dengan benar, misalnya, penggunaan masker hanya dikaitkan di telinga namun tidak menutupi mulut dan hidung, atau, menggunakan masker hanya saat berada di dekat petugas, namun saat berada di tempat tertutup seperti kantor, mereka tidak menggunakan masker. Padahal, esensi dari penggunaan masker ini adalah mencegah transmisi via droplet saat kita berada di dekat orang lain.
Sumber foto: indonesiabaik.id
Selain itu, saat ini juga marak terlihat penggunaan alat lain yang nampaknya dapat menjadi ‘subsitusi’ dari masker, seperti penggunaan face shield. Banyak orang yang lebih memilih menggunakan face shield ketimbang masker, karena merasa lebih nyaman menggunakan face shield ketimbang masker. Misalnya, karena dengan menggunakan masker dirinya jadi merasa sulit bernafas, atau dengan menggunakan masker, wajahnya jadi tidak sepenuhnya terlihat dan penggunaan make up-nya pun menjadi sia-sia ????. Namun, yang tidak disadari adalah penggunaan face shield hanya bermanfaat apabila digunakan Bersama dengan masker. Penggunaan face shield saja tanpa penggunaan masker tidak efektif dalam pencegahan COVID-19, karena face shield saja tidak dapat melindungi area wajah kita dari droplet-droplet yang berukuran sangat kecil.
Akhir kata, kita harus mengingat kembali bahwa ‘the new normal’ ini bukan sekedar menggunakan pelindung wajah. Namun kita juga harus menyadari, kapanpun dan di manapun, kita dapat berisiko untuk tertular atau menularkan infeksi dari dan kepada orang lain. Mari kita saling menjaga dengan menjadi lebih waspada!
***