Life Reinsurance
Peranan Vitamin D dalam Imunitas
Pandemi COVID-19 yang masih terus melonjak di setiap harinya membuat kekhawatiran mendalam pada benak masyarakat. Berbagai cara dan upaya pun dilakukan masyarakat untuk bisa memperkuat ‘bentengnya’ agar dapat terhindar dari infeksi COVID-19. Salah satu upaya yang akhir-akhir ini merebak di tengah masyarakat adalah mengkonsumsi Vitamin D dalam dosis tinggi, yang mana ditujukan untuk meningkatkan imunitas mereka, sehingga mereka dapat terhindar dari infeksi COVID-19.
Nah, apakah benar bahwa Vitamin D dapat melindungi kita dari infeksi COVID-19?
Sumber: www.freepik.com
Vitamin D merupakan vitamin yang banyak berperan dalam kesehatan tulang dan
homeostasis kalsium. Selain itu, Vitamin D juga disebut memiliki peranan penting dalam proteksi tubuh kita dari berbagai penyakit infeksi saluran pernafasan, seperti
influenza dan
tuberculosis paru.
Sebuah studi meta analisis yang dilakukan oleh Nnoaham et al. mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kadar Vitamin D3 rendah, memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit
tuberculosis. Serta, apabila orang tersebut terinfeksi penyakit
tuberculosis, kemungkinan orang tersebut untuk mengalami gejala/gangguan kesehatan yang berat atau bahkan fatalitas juga meningkat, jika dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar Vitamin D3 cukup.
Sebuah studi meta analisis serupa dari Zhou et al. juga menunjukkan adanya keterkaitan antara defisiensi Vitamin D dengan risiko seseorang terinfeksi
community-acquired-pneumonia (CAP). Studi tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami defisiensi Vitamin D berpotensi 1.65 kali lebih tinggi untuk terinfeksi CAP.
Masih senada dengan dua studi di atas, sebuah studi meta analisis dari Bergman et al. juga menunjukkan potensi Vitamin D sebagai profilaksis dari infeksi paru dan saluran pernafasan. Walaupun demikian, studi ini menunjukkan bahwa fungsi protektif Vitamin D lebih signifikan jika pemberian Vitamin D dilakukan secara rutin dengan dosis harian, ketimbang dilakukan secara insidental dengan dosis
bolus besar di sekali pemberian.
Sumber foto: www.freepik.com
Beberapa studi telah dilakukan di berbagai belahan dunia untuk membuktikan hubungan antara kadar Vitamin D dengan potensi infeksi dan mortalitas COVID-19, di antaranya adalah di Perancis, Italia, dan Spanyol. Hasil dari studi-studi tersebut menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada kelompok studi yang mengalami defisiensi vitamin D. Hipotesis sementara dari studi-studi tersebut mengarah kepada potensi peranan Vitamin D dalam proses penghambatan ekspresi dan pengurangan transkripsi dari beberapa
cytokine pro-inflamasi. Selain itu, disebutkan pula adanya potensi peranan Vitamin D dalam peningkatan
cytokine T-helper yang memiliki fungsi anti-inflamasi.
Selain sebagai
regulator imun, Vitamin D3 juga diduga dapat berperan sebagai anti-virus dan anti-inflamasi. Untuk potensi anti-virus sendiri dilakukan melalui peningkatan regulasi
peptide anti-mikrobial, sementara, untuk potensi anti-inflamasi dilakukan melalui interaksi Vitamin D dengan
protein angiotensin-converting-enzyme-2 (ACE2) selaku reseptor masuknya SARS-CoV-2 (Virus Covid).
Fungsi protektif Vitamin D juga turut menjadi tema dari tema studi yang dilakukan oleh Alipio et al. Studi ini dilakukan kepada 212 pasien COVID-19 yang dirawat di RS, dengan tujuan melihat korelasi antara kadar kecukupan Vitamin D dalam tubuhnya dengan derajat keparahan penyakit yang dideritanya. Berdasarkan data yang ada, rerata kadar Vitamin D pada pasien bergejala ringan adalah 31.2 µg/ml, pada pasien bergejala sedang adalah 27,4 µg/ml, dan pada pasien bergejala berat adalah 21,2 µg/ml.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa 55 pasien memiliki kadar Vitamin D normal dalam tubuhnya, dan mayoritas di antara mereka (85.5%) mengalami COVID-19 dengan gejala ringan. Pada 80 pasien ditemukan adanya insufisiensi Vitamin D dan sebagian dari mereka (43.8%) mengalami COVID-19 dengan gejala sedang. Sementara itu, pada 77 pasien ditemukan adanya defisiensi Vitamin D dan sebagian dari mereka (40.3%) mengalami COVID-19 dengan gejala berat. Dengan temuan-temuan tersebut, studi ini menyimpulkan bahwa memang terdapat keterkaitan antara kadar Vitamin D yang ada dengan derajat keparahan/klinis seseorang saat terinfeksi COVID-19. Walaupun demikian, tim peneliti sendiri mengungkapkan bahwa studi ini memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah terbatasnya jumlah pasien yang diteliti, sehingga, studi ini selayaknya dikonfirmasi kembali melalui studi klinis dengan sampel yang lebih besar dan bersifat
randomized.
Sumber foto: www.freepik.com
Senada dengan studi yang dilakukan oleh Alipio et al., sebuah studi kohort retrospektif yang dilakukan di Indonesia terhadap 780 pasien COVID-19 menunjukkan adanya keterkaitan antara kadar Vitamin D dengan mortalitas pasien COVID-19. Berdasarkan kesimpulan studi, pasien dengan defisiensi Vitamin D berisiko 10.12 kali lipat mengalami risiko kematian, jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar Vitamin D normal.
Jika memang Vitamin D dianggap memiliki efek protektif, seberapa banyakkah keperluan kita akan Vitamin D?
Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan tubuh kita untuk memproduksi Vitamin D3 akan semakin berkurang. Terlebih, jika kita tinggal di negara yang memiliki musim dingin, di mana sangat sedikit sinar matahari yang dapat kita terima. Penurunan eksposur sinar matahari memang dapat meningkatkan potensi kita untuk mengalami insufisiensi dan defisiensi Vitamin D. Oleh karena itu, kita sangat disarankan untuk memastikan kecukupan harian Vitamin D kita melalui mengkonsumsi makanan yang kaya akan Vitamin D, seperti daging sapi, hati sapi, ikan, telur, dan susu.
Permasalahannya, bagaimana jika makanan dan minuman yang kita konsumsi belum dapat mencukupi kebutuhan harian kita akan Vitamin D?
Berdasarkan tinjauan naratif yang dipublikasikan oleh Grant et al., suplementasi Vitamin D3 dapat diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi Vitamin D dalam tubuh. Pada studi tersebut, diberikan suplementasi Vitamin D3 dengan dosis 10,000 IU per-harinya selama satu bulan, dan selanjutnya diberikan dengan dosis 5,000 IU per-harinya. Studi tersebut menunjukkan bahwa pemberian Vitamin D3 dalam dosis tersebut berhasil meningkatkan konsentrasi Vitamin D hingga menjadi 40 – 60 µg/ml.
Jika menilik fenomena yang ada di masyarakat, nampaknya masyarakat banyak mengacu pada studi ini, di mana, pemberian Vitamin D3 dengan dosis tinggi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi Vitamin D dalam tubuh, yang mana, diharapkan bisa meningkatkan imunitas dirinya. Walaupun demikian, studi
randomized-controlled-trial (RCT) yang dilakukan oleh
National Heart, Lung, and Blood Institute (NHBLI) menunjukkan bahwa dalam tujuan penurunan mortalitas pasien, pemberian Vitamin D3 dalam dosis tinggi tidak memberikan dampak yang signifikan, jika dibandingkan dengan pemberian
placebo. Terlebih lagi, pemberian Vitamin D3 dalam dosis tinggi yang disertai dengan pemberian suplemen kalsium ternyata malahan dapat meningkatkan risiko terjadinya
hyperkalemia pada pasien, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan jantung. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian Vitamin D3 memang baik untuk dilakukan, sepanjang pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan harian personal, sesuai dengan rekomendasi dokter, dan tidak melebihi batas
toxicity-nya.
Sumber: www.alodokter.com
Bagaimana dengan fenomena konsumsi suplemen Vitamin D dosis tinggi yang saat ini merebak di masyarakat?
Walaupun beberapa studi menunjukkan adanya potensi efek protektif dari Vitamin D, suplementasi Vitamin D dalam dosis tinggi pada dasarnya masih menunjukkan hasil yang inkonklusif. Sehingga, dalam hal ini pemberian Vitamin D dalam dosis tinggi hanya direkomendasikan untuk diberikan pada orang-orang dengan kondisi khusus –misalnya, ibu hamil dan penderita
autoimmune-, serta harus diberikan atas rekomendasi dan di bawah pengawasan dokter yang meresepkannya.
Para dokter serta asosiasi kesehatan sangat tidak menyarankan untuk mengkonsumsi Vitamin D dalam dosis tinggi, apalagi jika dilakukan dengan dosis lebih dari 4,000 IU per-harinya.
Over-consumption dari Vitamin D berpotensi untuk menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti nyeri kepala, nyeri perut, telinga berdenging, melemahnya otot tubuh, hingga gangguan dan gagal fungsi ginjal. Belum lagi, jika Vitamin D dosis tinggi tersebut dikonsumsi oleh orang dengan penyakit komorbid atau orang yang kebetulan sedang mengkonsumsi obat atau suplemen lain, yang mana, Vitamin D dosis tinggi justru bisa memberikan dampak yang merugikan pada dua kondisi tersebut.
Selain itu, berdasarkan beberapa studi yang ada bahkan menunjukkan bahwa konsumsi Vitamin D dosis tinggi dalam jangka panjang malahan dapat menyebabkan hiperkalsemia yang dapat menyebabkan gangguan tulang, jantung, serta ginjal. Oleh karena itu, sangat tidak disarankan untuk mengkonsumsi Vitamin D dosis tinggi, apabila anda belum berkonsultasi dengan dokter.
Pun dalam hal pencegahan infeksi COVID-19, pemberian suplemen Vitamin D dosis tinggi masih perlu ditelaah kembali dalam studi dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan durasi pengamatan yang lebih lama, sebelum kita bisa menarik kesimpulan pasti bahwa memang pemberian Vitamin D dosis tinggi benar-benar bisa memberikan manfaat bagi kesehatan kita. Karena, dalam konsumsi dan tindakan apapun, kita harus selalu mempertimbangkan aspek
risk and benefit-nya. Jangan sampai, ‘hanya’ karena ingin menghindarkan diri dari infeksi COVID-19, kita malahan abai terhadap kesehatan organ tubuh kita ya. Ingatlah, upaya yang telah terbukti untuk menghindarkan kita dari infeksi COVID-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan konsisten.
Sebagai tambahan, tingkatkanlah imunmu dengan menerapkan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi makanan yang kaya akan nutrisi, vitamin, dan mineral, memperhatikan kecukupan air, beristirahat dengan cukup, serta rutin berolah raga sesuai dengan kapasitas tubuh kita masing-masing. Bila memang dinilai perlu, kita dapat mengkonsumsi suplemen atau vitamin sesuai dosis harian dan sesuai anjuran dokter.
Always stay safe and healthy.
***