15 February 2022 3761
Life Reinsurance

Bahaya Strobo Bagi Kesehatan

Bagi yang saat ini sudah mulai melakukan aktivitas work from office (WFO), tentunya sudah mulai akrab kembali dengan kemacetan di jalanan Ibukota dan sekitarnya, terutama pada saat jam berangkat dan pulang kerja. Di saat lelah dan terjebak kemacetan, tidak jarang tiba-tiba datang kendaraan yang ‘meminta didahulukan’ dengan menggunakan lampu strobo dan sirine, yang menyilaukan dan bersuara nyaring. Kejadian yang tidak jarang ini tentunya dapat dianggap sebagai gangguan oleh pengendara lainnya. Namun, tahukah kalian, kalau lampu strobo yang berada pada kendaraan itu bukan hanya mengganggu kenyamanan berkendara, tapi juga dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan?

Yas
Sumber foto: www.freepik.com
 
Lampu strobo dikenal juga sebagai lampu rotator, karena lampu ini mengeluarkan warna yang berpendar dan berputar. Lampu strobo umumnya dipasang di kendaraan yang merupakan fasilitas umum –seperti ambulans, mobil polisi, atau mobil pemadam kebakaran- bersamaan dengan sirine, yang bertujuan agar kendaraan lainnya dapat mengetahui keberadaan kendaraan ini dan dapat memberikan prioritas jalan kepada kendaraan ini. Meskipun demikian, sayangnya, lampu strobo justru sering dipasang dan disalahgunakan oleh kendaraan lain yang sebenarnya bukan merupakan ‘kendaraan prioritas’. Dalam hal ini, tentunya penggunaan strobo akan mengganggu bagi pengendara lainnya.

Hal pertama yang mengganggu dari lampu strobe tentu adalah warnanya. Lampu dari strobo umumnya mengeluarkan warna merah, biru, atau kuning. Lampu strobo ini akan berpendar dan berputar-putar, sehingga membuat pengendara lain yang melihatnya menjadi tidak nyaman, baik itu jika dilihat secara langsung maupun melalui kaca spion. Lampu strobo umumnya akan berpendar dan berputar dengan cepat, dan itu menyebabkan intensitas cahaya yang keluar dari lampu strobo akan menjadi fluktuatif, tinggi, rendah, tinggi lagi, rendah lagi, dan seterusnya dalam waktu yang sangat cepat. Intensitas cahaya yang fluktuatif ini akan membuat pupil dari pengendara lain yang melihatnya menjadi terkontraksi dan terdilatasi secara cepat.

Pada kasus di mana paparan tidak terjadi secara terus menerus, memang, kemungkinan besar tidak akan terjadi dampak buruk yang permanen pada mata. Meskipun demikian, paparan lampu strobo ini tetap akan menimbulkan ketidaknyamanan serta kelelahan pada mata, sehingga mata harus diistirahatkan. Berdasarkan studi yang ada, dalam kasus paparan seperti lampu strobo ini, mata membutuhkan waktu setidaknya selama 12 menit untuk recovery dari ketidaknyamanan serta kelelahan yang ditimbulkan. Permasalahannya adalah, apabila kita sedang mengendarai kendaraan, bagaimana caranya kita untuk mengistirahatkan mata kita selama 12 menit?

Sebuah studi terkait dengan lampu strobo pernah dilakukan di India pada tahun 2017. Studi tersebut menyatakan bahwa mata manusia memiliki kemampuan untuk mempertahankan visual pada mata selama 0.1 – 0.4 detik, bahkan setelah visual itu berlalu. Lampu strobo memiliki pendar cahaya yang sangat cepat, dan inilah yang dapat menyebabkan dampak ‘strobbling damage’ pada tubuh manusia.
Bentuk pertama dari ‘strobbling damage’ adalah munculnya migrain. Migrain adalah nyeri kepala yang terasa berdenyut, dan umumnya hanya terjadi pada salah satu sisi kepala saja. Lampu yang berpendar dengan frekuensi mencapai 100 Hz akan berpotensi menimbulkan migrain, terutama pada orang yang memang memiliki riwayat migrain atau hipersensitivitas terhadap cahaya. Selain dari migrain, tidak jarang paparan lampu strobo juga memicu terjadinya vertigo, yang ditandai dengan sensasi pusing dan berputar, yang dapat mempengaruhi keseimbangan serta disorientasi dari penderitanya.

Bentuk kedua dari ‘strobbing damage’ adalah terpicunya rasa kelelahan dan kecemasan. Studi ini menyebutkan bahwa flashing light dengan frekuensi mencapai 120 Hz dapat menyebabkan dampak buruk bagi kondisi emosi seseorang, yang umumnya akan tampak dalam bentuk kelelahan, kecemasan, atau disorientasi. Walaupun gangguan emosi ini bukan merupakan gangguan fisik, tetap saja, penderitanya harus segera beristirahat dan memulihkan dirinya dalam situasi yang tenang dan nyaman, hingga emosinya dapat kembali stabil.

Bentuk ketiga dari ‘strobbing damage’ adalah photosensitive epileptic, dan ini mungkin adalah bentuk ‘strobbing damage’ yang paling berbahaya. Seperti yang telah kita ketahui, epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh pola aktivitas elektrik otak yang berlebihan. Apabila muncul suatu trigger, penderita epilepsi dapat mengalami kejang, baik pada seluruh maupun sebagian tubuhnya. Lampu strobo yang memang berpendar secara cepatnya tentunya akan turut merangsang peningkatan aktivitas elektrik pada otak. Pada penderita epilepsi –terutama yang sensitif terhadap cahaya-, tentunya lampu strobo ini dapat menjadi trigger yang memicu kekambuhan epilepsi mereka. Tidak jarang, penderita epilepsi dapat kambuh saat melihat lampu strobo, terutama apabila menerima paparan dalam waktu yang cukup lama, atau memang kondisi kesehatannya sedang kurang baik.

Bentuk keempat dari ‘strobbing damage’ adalah attention dispersion alias teralihkannya fokus seseorang. Sorot lampu strobo tentunya memang diperuntukkan untuk ‘menarik perhatian’ pengendara lainnya. Meskipun demikian, lampu strobo akan membuat pengendara lainnya menjadi tidak fokus untuk berkendara, yang tentunya dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan yang membahayakan pengendara tersebut dan pengendara lainnya.

Yas1
Sumber foto: www.freepik.com

Bentuk kelima dari ‘strobbing damage’ adalah terpicunya perilaku autisme pada penderitanya. Autisme sendiri merupakan kondisi di mana seseorang memiliki isu yang kompleks pada sistem sarafnya, yang membuat orang tersebut memiliki kesulitan untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta melakukan aktivitas sosial motorik. Kondisi autisme sebenarnya manageable dengan terapi yang adekuat, sehingga penderitanya dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang sekitarnya, meskipun mungkin tidak maksimal. Nah, berdasarkan studi ini, ternyata lampu strobo disebut dapat memicu keluarnya ‘perilaku khas autisme’ pada penderita autisme, seperti misalnya, penderita tiba-tiba menolak untuk berkomunikasi dengan orang sekitarnya karena merasa ‘terganggu atau terancam’ dengan cahaya berpendar dari lampu strobo.

Bentuk keenam dan terakhir dari ‘strobbing damage’ adalah terjadinya akselerasi penuaan jaringan retina pada orang yang menerima paparan lampu strobo dalam waktu yang lama. Penuaan jaringan retina ini tentunya akan menyebabkan dampak buruk pada fungsi penglihatan, bahkan, dapat menyebabkan orang kehilangan fungsi penglihatannya secara total dan permanen.

Nah, bagaimana? Ternyata, lampu strobo itu selain mengganggu, juga bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan kita kan? Itulah alasannya, mengapa penggunaan lampu strobo diatur oleh Undang-Undang. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa lampu strobo alias rotator tidak dapat digunakan oleh sembarang pengendara. Pada UU tersebut dinyatakan bahwa lampu strobo yang menandakan ‘kendaraan prioritas’ terdiri dari tiga warna, yaitu, biru, merah, dan kuning.

Lampu strobo biru diperuntukkan bagi kendaraan Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), dan kendaraan ini diperbolehkan menggunakan sirine. Lampu strobo merah diperuntukkan bagi ambulans, kendaraan Palang Merah Indonesia (PMI), kendaraan pengangkut jenazah, pemadam kebakaran, mobil tahanan, dan kendaraan pengawal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kendaraan dengan lampu strobo merah juga diperbolehkan menggunakan sirine. Sementara itu, lampu strobo kuning diperuntukkan bagi kendaraan patroli jalan tol, kendaraan pengawasan sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), kendaraan perawatan dan pembersihan fasilitas umum, kendaraan derek, serta kendaraan angkutan barang khusus. Untuk kendaraan yang menggunakan lampu strobo kuning, tidak diperkenankan untuk menggunakan sirine.
Bagaimana apabila ternyata yang menggunakan lampu strobo bukan merupakan salah satu dari kendaraan di atas?

Lampu strobo memiliki warna yang mencolok, terutama jika disertai dengan bunyi sirine. Saat melihat kendaraan dengan lampu strobo, pengendara lain tentu akan menoleh dan teralihkan konsentrasinya, karena mengira ada suatu ‘kondisi urgent’. Pengendara kendaraan pribadi atau kendaraan non-prioritas lainnya tentunya tidak ‘berhak’ untuk menggunakan lampu strobo dan sirine pada kendaraannya, terutama apabila penggunaan tersebut dilakukan untuk memperoleh ‘privilege’ di jalanan, seperti dibukakan jalan untuk melintasi kemacetan. Sikap arogan seperti ini tentunya akan sangat mengganggu kenyamanan pengendara lainnya, bahkan dapat juga menjadi faktor penyebab kecelakaan lalu lintas. 

Jika bertemu dengan pengendara pengguna lampu strobo yang sebenarnya bukan merupakan ‘kendaraan prioritas’, sebenarnya kita tidak memiliki kewajiban untuk ‘mengalah’ dan memberi jalan. Bahkan, berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 287 Ayat 4, penyalah guna lampu strobo justru dapat dikenai sanksi pidana berupa kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp. 250,000. Meskipun demikian, pada saat kita berkendara, kita harus mengutamakan keselamatan kita. Tidak jarang, pengendara pengguna lampu strobo sangat ‘ngoyo’ untuk diberi jalan dan memaksa kita menepi. Ketimbang mempertahankan posisi namun justru dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan mata kita, mungkin ada baiknya kita yang ‘mengalah’, sembari mendoakan agar pengendara tersebut diberikan hidayah untuk segera kembali ke jalan yang benar. Ingat, yang waras biasanya lebih pengalah, hehe...

Stay safe and healthy, semuanya!
  
***
 
 
 
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id