Life Reinsurance
Tentang Varian Mutasi B 117 Yang hadir di Indonesia
Bertepatan dengan satu tahun hadirnya COVID-19 di Indonesia, Dante Saksono Harbuwono selaku Wakil Menteri Kesehatan menyampaikan bahwa varian mutasi B.1.1.7 dari SARS-CoV-2 telah teridentifikasi di Indonesia. Varian tersebut ditemukan pada dua orang wanita yang merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Karawang, yang sebelumnya bekerja di Arab Saudi.
Kedua TKI tersebut tiba dengan dua pesawat yang berbeda pada hari yang berbeda (28 Januari dan 31 Januari 2021) di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka terkonfirmasi COVID-19 melalui pemeriksaan skrining yang dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta sebagai protokol standar atas pendatang dari luar negeri. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, mereka berdua dinyatakan terkonfirmasi positif COVID-19. Saat ini, kedua TKI tersebut telah selesai menjalani isolasi dan telah dinyatakan negatif COVID-19 berdasarkan hasil pemeriksaan PCR yang terbaru.
Sebenarnya, apa sih varian B.1.1.7 yang dianggap mengkhawatirkan ini?
Sebelum membahas tentang varian B.1.1.7, ada baiknya kita kembali menyamakan persepsi kita tentang mutasi. Pada dasarnya, mutasi dapat terjadi pada semua jenis virus. Mutasi sendiri merupakan suatu mekanisme bertahan hidup dari virus, untuk bisa mempertahankan keberlangsungan dan eksistensi hidupnya. Setiap manusia memiliki sistem kekebalan tubuh yang berbeda. Jadi, ketika suatu virus bertransmisi dari satu orang ke orang yang lain, virus tersebut akan mengahadapi sistem kekebalan tubuh yang berbeda. Untuk menghadapinya, virus tersebut akan berusaha untuk ‘menyesuaikan diri’ dengan memodifikasi genomika tubuhnya. Nah, modifikasi inilah yang sebenarnya merupakan cikal bakal dari mutasi virus.
Jika menilik penjelasan di atas, mutasi pada virus sebenarnya merupakan hal yang ‘biasa’ terjadi. Namun, mutasi tersebut menjadi mengkhawatirkan jika mampu meng
upgrade cara kerja virus. Misalnya, si virus menjadi lebih mudah menular, lebih infeksius, lebih mudah bereplikasi, lebih banyak menyerang organ, lebih kebal terhadap vaksinasi, atau bisa menyebabkan dirinya tidak terdeteksi oleh alat pemeriksaan.
Untuk varian B.1.1.7 sendiri pertama kali teridentifikasi di UK pada 20 September 2020. Varian tersebut awalnya dinamakan VOC N501Y.V1. Hingga Februari 2021 ini, varian B.1.1.7 tercatat telah menyebar di 93 negara di seluruh dunia, termasuk Singapore dan India.
Dikutip dari
New and Emerging Respiratory Virus Threats Advisory Group (NERVTAG) tentang varian B.1.1.7 yang merupakan varian COVID-19 terbaru.
Variant of concern (VOC) B.1.1.7 dinyatakan berpotensi memiliki korelasi dengan peningkatan jumlah kasus harian COVID-19 di UK, terutama untuk kasus yang bergejala. Selain itu, juga terdapat dugaan adanya korelasi B.1.1.7 dengan peningkatan kasus kematian harian akibat COVID-19 di UK. Namun, hingga saat ini belum dapat dipastikan apakah memang varian B.1.1.7-lah yang menyebabkan peningkatan kasus kematian tersebut.
Senada dengan NERVTAG,
Centre of Mathematical Modelling of Infectious Disease (CMMID) juga melakukan studi yang menunjukkan hasil bahwa penambahan keberadaan varian B.1.1.7 sebanding dengan penambahan kasus COVID-19 di UK. CMMID juga merilis pernyataan bahwa varian B.1.1.7 ini memiliki kemampuan transmisi lebih cepat sekitar 50 – 74% dari varian sebelumnya.
Hal lain yang dikhawatirkan adalah apakah varian B.1.1.7 ini dapat terdeteksi melalui pemeriksaan PCR yang selama ini menjadi
gold standard dari penegakkan diagnosis COVID-19. Berdasarkan studi yang ada, varian B.1.1.7 ini sering menimbulkan hasil negatif palsu jika alat PCR menggunakan gen S (
spike). Namun, varian B.1.1.7 ini masih dapat terdeteksi jika alat PCR tersebut menggunakan gen Orf, N, M, dan RdRp. Selain itu, varian B.1.1.7 juga masih dapat terdeteksi melalui pemeriksaan
swab antigen. Hal tersebut dikarenakan pemeriksaan
swab antigen tidak mendeteksi bagian
spike dari virus, melainkan mendeteksi protein dari bagian nukleokapsid virus.
Bagaimana dengan gejala yang disebabkan oleh varian B.1.1.7?
Sejauh ini, penderita COVID-19 dengan varian B.1.1.7 masih melaporkan gejala dan keluhan yang sama dengan penderita COVID-19 varian lainnya. Namun, beberapa studi yang dilakukan di UK menyatakan bahwa hampir semua penderita COVID-19 dengan varian B.1.1.7 mengalami kelelahan pada masa awal penyakit. Kelelahan tersebut juga dikatakan disertai dengan rasa pusing, mual, serta nyeri pada otot dan sendi.
Bagaimana dengan vaksin? Apakah vaksin-vaksin yang ada saat ini masih efektif untuk menghadapi varian B.1.1.7?
Sumber foto:
www.cbc.ca/radio/whitecoat/how-the-vaccines-we-have-and-the-ones-coming-next-stack-up-against-covid-19-variants-1.5905708
Beberapa vaksin di dunia –di antaranya adalah Moderna, AstraZeneca, Johnson & Johnson, dan Novavax- telah mempublikasikan hasil uji klinis mereka terkait efektivitas vaksin yang mereka kembangkan terhadap varian B.1.1.7 dan beberapa varian baru lainnya. Hasil uji klinis tersebut menyatakan bahwa efektivitas vaksin masih relatif baik jika menghadapi varian B.1.1.7, namun, efektivitas vaksin tersebut turun saat menghadapi varian B.1.351 yang merupakan varian SARS-CoV-2 baru di Afrika Selatan.
Sementara itu, Sinovac juga telah mengeluarkan pernyataan bahwa vaksin yang mereka kembangkan juga memiliki efektivitas yang baik dalam menghadapi varian B.1.1.7. Namun, hingga saat ini, Sinovac masih belum mempublikasikan hasil uji klinis yang melandasi pernyataan mereka.
Nah, sekarang kan varian B.1.1.7 sudah ‘hadir’ di Indonesia. Bagaimana cara kita menyikapinya?
Yang pertama yang harus kita ingat adalah kita harus menghindari untuk terpapar oleh semua varian dari SARS-CoV-2, bukan hanya varian B.1.1.7 saja. Karena, tentunya kita tidak dapat memilih kan, akan terinfeksi virus yang mana? Cara yang paling efektif untuk mencegah penularan adalah dengan melakukan protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai lengah, karena kita tidak tahu pasti kapan kita dapat terpapar. Ingat, semakin luas dan cepat penularan, semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya mutasi virus.
Yang kedua, kita juga harus mengingat bahwa masih ada banyak mutasi dan kandidat mutasinya yang mengancam kita. Saat ini, mungkin vaksin yang telah ada masih dapat efektif menghadapi varian B.1.1.7. Namun, bagaimana jika varian B.1.351 yang dikatakan lebih ‘kebal’ terhadap vaksin ikut hadir di Indonesia? Inilah pentingnya kita kembali ke point pertama, yaitu konsisten menerapkan protokol kesehatan.
Yang ketiga, tentunya ini merupakan alasan kuat untuk semakin memperkuat surveilens genomika di Indonesia, sehingga, Indonesia dapat lebih cepat mendapatkan informasi jika ada varian yang mengkhawatirkan hadir di Indonesia serta lebih tanggap dalam melakukan protokol penanganannya. Tidak lupa untuk senantiasa menggiatkan
contact tracing kembali, sehingga laju transmisi dapat selalu terpantau dan terkendali.
***