04 January 2021 3087
Life Reinsurance

Mengenal Mutasi VUI-202012/01

Ditemukannya mutasi genetik terbaru dari SARS-CoV-2 di Inggris baru-baru ini kembali membuat dunia gempar. Pasalnya, mutasi SARS-CoV-2 yang dinamai VUI-202012/01 –VUI merujuk kepada istilah Varian Under Investigation- ini disebut-sebut memiliki kemampuan penularan yang lebih tinggi dari varian-varian SARS-CoV-2 sebelumnya. Bagaimana mutasi virus tersebut dapat terjadi dan bagaimana dampaknya pada kondisi pandemi yang telah berlangsung selama lebih dari setahun ini?

1

Sumber foto: www.freepik.com
 
Adanya temuan VUI-202012/01 ini telah dilaporkan secara resmi oleh otoritas kesehatan Inggris kepada WHO. Dilansir dari situs resmi pemerintah Inggris, Professor Chris Whitty selaku Chief Medical Officer for England menyampaikan bahwa mutasi genetik baru tersebut ditemukan melalui Public Health England’s genomic surveillance. Varian VUI-202012/01 pertama kali diidentifikasi pada bulan September 2020 oleh tim COVID-19 Genomics UK Consortium (COG-UK) pada seorang pasien COVID-19 dengan gangguan sistem imun. Komorbid pada pasien tersebut disinyalir mendorong bentuk adaptif dari mutasi SARS-CoV-2. Per- 22 Desember 2020, VIU-202012/01 disebut telah menyumbang setidaknya 1,484 kasus COVID-19 di Inggris. Selain itu, VIU-202012/01 juga disebut telah ditemukan pada kasus COVID-19 di Afrika Selatan, Italia, dan Australia, yang mana para penderitanya disebut memiliki riwayat perjalanan ke Inggris.

Mutasi alias perubahan genetik pada dasarnya terjadi secara alami pada semua virus, termasuk SARS-CoV-2. Mutasi genetik ini terjadi pada saat virus bereplikasi dan bersirkulasi di dalam populasi manusia. Dalam kasus Coronavirus, mutasi ini terakumulasi pada tingkat sekitar 1 – 2 basa mutasi per-bulan secara global. Akibat dari proses mutasi ini, ribuan mutasi telah muncul dalam genom SARS-CoV-2 terhitung sejak virus ini pertama kali muncul di akhir tahun 2019.

Dilansir dari studi yang bertajuk ‘Preliminary Genomic Characterization of An Emergent SARS-CoV-2 Lineage in The UK Defined by Novel Set of Spike Mutation’, VIU-202012/01 disebut muncul sebagai akibat dari adanya mutasi pada protein spike dari SARS-CoV-2. Sebagaimana yang telah kita ketahui, protein spike merupakan bagian dari virus yang berperan penting dalam proses infeksi inang. Oleh karena itu, adanya mutasi pada protein spike disinyalir dapat mempengaruhi kemampuan SARS-CoV-2 dalam menginfeksi inang.

2

Sumber foto: www.freepik.com
 
Selain itu, studi di atas juga menyebutkan bahwa VIU-202012/01 membawa 17 mutasi sekaligus, di mana tiga di antaranya merupakan mutasi utama yang berpotensi untuk meningkatkan kemampuan penularan dan infeksi VIU-202012/01. Mutasi utama yang pertama disebut sebagai S N501Y. Mutasi tipe ini menyebabkan terjadinya sequence asam amino yang memiliki peranan untuk berikatan dengan inang. Adanya mutasi tersebut membuat VIU-202012/01 lebih mudah masuk ke dalam sel inang dan meningkatkan afinitas (kemampuan berikatan) VIU-202012/01 dengan reseptor ACE2 milik inangnya. Kedua hal inilah yang disinyalir membuat VIU-202012/01 memiliki kemampuan penularan yang lebih tinggi.

Mutasi utama yang kedua disebut sebagai S 69-70del. Mutasi tipe ini menyebabkan hilangnya (delesi) asam amino pada urutan ke-69 dan 70 pada protein spike. Mutasi tipe ini disebut mampu meningkatkan afinitas VIU-202012/01 pada inang sekaligus mampu membuatnya ‘menghindari’ sistem pertahanan tubuh inang, termasuk di dalamnya pada saat pemberian vaksinasi (vaccine escape), pada beberapa kasus mutasi tipe serupa sebelumnya.
Mutasi utama yang terakhir disebut sebagai S P681H. Mutasi tipe ini memiliki peranan dalam biological significance dari protein inti VIU-202012/01, yang menyebabkan VIU-202012/01 memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam penularan.

 
Sebelum ditemukannya VIU-202012/01, adanya mutasi genetik pada SARS-CoV-2 dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan. Pasalnya, varian-varian SARS-CoV-2 dari mutasi tersebut sejauh ini belum terbukti memberikan dampak seperti peningkatan kemampuan transmisi, peningkatan angka mortalitas, peningkatan tingkat keparahan penyakit, atau mempengaruhi respon pengobatan yang diberikan pada penderitanya. Namun, berdasarkan data yang dihimpun dari beberapa sumber, VIU-202012/01 disebut merupakan pemeran penting dibalik terjadinya lonjakan kasus baru COVID-19 di Inggris pada beberapa minggu ke belakang.

3

Sumber foto: www.freepik.com
 
Professor Wendy Barclay dari New and Emerging Respiratory Virus Threats Advisory Group (NERVTAG) memberikan pernyataan bahwa VIU-202012/01 berbeda dari varian mutasi SARS-CoV-2 sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan VIU-202012/01 memiliki mekanisme yang berbeda dalam proses masuknya ke dalam sel inang. Hal tersebut disebut membuat beberapa kelompok seperti anak-anak dan lansia menjadi lebih rentan untuk terpapar COVID-19.

Pernyataan dari Professor Wendy Barclay tersebut selaras dengan laporan resmi dari European Center of Disease Control & Prevention, yang menyatakan bahwa VUI-202012/01 disebut banyak ditemukan di daerah Kent, Inggris, terutama pada usia anak-anak dan dewasa muda (di bawah 60 tahun). Selain itu, VIU-202012/01 disebut juga mendominasi kasus COVID-19 di Wales, terutama pada usia anak-anak dan dewasa muda.

Temuan senada juga dikemukakan oleh Neil Ferguson, seorang ahli epidemiologi di Imperial College London. Neil menyatakan bahwa VIU-202012/01 memang cenderung lebih mampu untuk menginfeksi anak-anak, jika dibandingkan dengan varian SARS-CoV-2 lainnya. Namun, fakta tersebut tidak serta merta membuat VIU-202012/01 menjadi letal pada penderita COVID-19.

Selain lebih rentan terjadi pada anak-anak dan lansia, VIU-202012/01 disebut memiliki kecepatan penularan yang sangat tinggi. Berdasarkan data pada situs resmi pemerintah Inggris, disebutkan bahwa SARS-CoV-2 varian lama disebut mampu menyebabkan penambahan 20,000 kasus COVID-19 dalam kurun waktu 24 jam. Sementara, VIU-202012/01 hanya membutuhkan waktu 14 jam saja untuk bisa menyebabkan penambahan 20,000 kasus COVID-19. Hal tersebut membuktikan bahwa VIU-202012/01 memiliki kecepatan penularan yang lebih cepat –sekitar 1.7 kali lebih cepat- dari SARS-CoV-2 varian lama.

Selain dari kecepatan penularannya, hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah apakah vaksin yang saat ini dikembangkan juga memiliki kemampuan untuk ‘menjinakkan’ VIU-202012/01. Hingga saat ini, belum ada bukti empiris bahwa VIU-202012/01 atau mutasi SARS-CoV-2 lainnya mampu menghindari vaksin (vaccine escape) yang saat ini tengah dalam proses pengembangan tahap akhir. Namun, berdasarkan penelitian secara in silico, VIU-202012/01 yang memiliki mutasi N501Y dan Y145del disebut tidak dapat dikenali oleh vaksin. Mengingat bahwa saat ini belum semua vaksin selesai dikembangkan dan diberikan kepada publik secara luas, hal ini tentunya masih sebatas hipotesis dan asumsi belaka. Namun, jika ke depannya terdapat contoh kegagalan vaksin atau kejadian infeksi ulang setelah pemberian vaksin, maka hal ini harus dijadikan prioritas utama untuk proses sekuensing berulang.

Hingga saat ini, 17 mutasi unik dari VUI-202012/01 belum ditemukan dalam 125 database sekuen genom SARS-CoV-2 di Indonesia. Walaupun demikian, hal tersebut tidak seharusnya membuat kita lengah, terutama dengan mengingat potensi peningkatan penularan yang diakibatkan oleh VIU-202012/01. Pemerintah Indonesia pun saat ini tengah mematangkan kebijakan untuk pelarangan masuknya WNA ke Indonesia, yang rencananya akan diterapkan pada tanggal 1 – 14 Januari 2021. Walaupun demikian, dengan mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pintu Indonesia masih terbuka untuk kedatangan WNA dan pelancong dari luar negeri, kita tentunya harus semakin meningkatkan kewaspadaan diri dan lingkungan kita dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang ada.

Selain itu, pemerintah dan pihak terkait juga sepatutnya menambah genomics sequencing di Indonesia, mengingat bahwa hingga saat ini Indonesia hanya memiliki 125 database genom SARS-CoV-2, sementara, per- 21 Desember 2020, Inggris memiliki 125,631 sekuen genom SARS-CoV-2 dan dengan intensif mengawasi 10 mutasi utamanya. Jangan sampai, VIU-202012/01 tidak terdeteksi di Indonesia hanya karena sistem surveilen genomika di Indonesia yang belum memadai. Selain itu, kombinasi deteksi PCR juga harus dikombinasikan di antara 3 gen yang ada (S, Orf, dan N) agar dapat membantu deteksi dari potensi varian baru yang ada.
 
 
***
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id