10 April 2023 10169
Life Reinsurance

Tuberculosis pada Anak

Telah terkendalinya kondisi dan penyebaran COVID-19 di Indonesia tidak berarti Indonesia telah bebas dari seluruh penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi yang tercatat peningkatan insidensinya adalah Tuberculosis (TBC). Sepanjang periode 1 Januari – 1 November 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mencatat insidensi TBC sebanyak 503,712 kasus, dengan 61,594 di antaranya adalah kasus TBC pada anak. Kejadian TBC pada anak merupakan hal yang harus kita waspadai, mengingat, pada penyakit infeksi, dampak negatif pada kesehatan tidak hanya terjadi pada fase infeksi akut saja, melainkan, umumnya penyakit infeksi dapat menyebabkan long term effect pada penderitanya.
 
Sebelum secara spesifik membahas tentang TBC pada anak, yuk kita refresh bersama pengetahuan kita tentang TBC itu sendiri!
 
Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium tuberculosis. Bakteri yang masuk ke dalam family Mycobacteriaceae juga dikenal sebagai Koch’s bacillus, lantaran pertama kali teridentifikasi keberadaannya pada 24 Maret 1882 oleh seorang ilmuwan penerima Nobel Prize dalam Bidang Fisiologi dan Kedokteran yang bernama Robert Koch. Beliau merupakan seorang ilmuwan asal Jerman yang secara spesifik meneliti bakteri dan kuman penyebab penyakit infeksi. Pada sekitar tahun tersebut memang marak ditemukan kasus TBC di Eropa, yang bahkan memiliki fatalitas cukup tinggi, yaitu menyebabkan kematian pada satu dari tujuh penderitanya.
 
Penularan TBC terjadi melalui percikan droplet, yang dapat terjadi sewaktu penderita TBC mengeluarkan semburan air liur saat batuk, bersin, berbicara, tertawa, ataupun bernyanyi. Meskipun cara penularannya mirip dengan penyakit Influenza atau COVID-19, penularan TBC tidak terjadi semudah dan secepat itu. Dibutuhkan kontak yang intens dan relatif lama (minimal beberapa jam) dengan penderita TBC untuk kita dapat tertular infeksi tersebut.
 
Meskipun merupakan salah satu dari penyakit paru-paru, penderita TBC tidak selalu menunjukkan gejala pernafasan atau bahkan gejala lainnya. Oleh karena itu, berdasarkan ada atau tidaknya gejala, penyakit TBC dapat dikelompokkan sebagai TBC aktif dan TBC laten. Pada kasus TBC aktif, penderita secara nyata tampak mengalami gejala-gejala seperti batuk kronis (lebih dari tiga minggu), batuk dengan lendir yang banyak, batuk yang mengandung darah, nyeri dada, penurunan berat badan, kelelahan, demam, berkeringat di malam hari, badan panas dingin, dan penurunan selera makan. Penderita TBC aktif ini lah yang dapat menularkan penyakitnya kepada orang-orang yang berada di sekitarnya. Sementara itu, pada TBC laten, bakteri berada dalam kondisi tidak aktif dan penderitanya umumnya tidak menunjukkan gejala apapun. Penderita TBC laten juga umumnya tidak dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain. Meskipun demikian, penderita TBC laten tetap harus mendapatkan pengobatan, agar penyakitnya tidak berkembang menjadi TBC aktif.
 
Penegakkan diagnosis TBC dapat dilakukan melalui beberapa langkah. Yang pertama, dokter akan melakukan anamnesa alias menggali gejala, riwayat penyakit, dan riwayat kontak pasien dengan orang yang terduga menderita TBC. Pasien dengan gejala mengarah ke TBC yang memiliki riwayat kontak dengan orang terduga TBC memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk juga menderita TBC. Oleh karena itu, selanjutnya dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan seperti Tes Mantoux, Tes Dahak, dan Rontgen Thorax untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis TBC.
 
Tes Mantoux yang dikenal juga sebagai Tuberculin Skin Test (TST) merupakan metode diagnosis TBC yang paling umum dilakukan. Dokter akan menyuntikkan zat tuberculin pada lapisan bawah kulit lengan pasien, untuk kemudian diamati kembali reaksinya setelah 48 – 72 jam. Apabila terdapat benjolan merah pada area suntikan, maka pasien akan dinyatakan sebagai positif TBC.
 
Selain Tes Mantoux, dokter juga dapat melakukan pemeriksaan Tes Dahak. Pasien akan diminta mengeluarkan dahaknya pada pagi hari dan pada waktu selain pagi hari. Sampel dahak tersebut akan diuji untuk mengkonfirmasi keberadaan dari bakteri Mycobacterium tuberculosis. Selain dapat mengkonfirmasi diagnosis TBC, Tes Dahak juga dapat dilakukan untuk menguji resistensi TBC pasien terhadap obat tertentu. Melalui pemeriksaan tersebut, dokter dapat merekomendasikan obat yang paling tepat dan ampuh bagi pasien.
 
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan Rontgen Thorax, di mana, dokter akan melihat gambaran kondisi paru-paru dan limfonodi sekitarnya pada hasil rontgen pasien. Pada penderita TBC, paru-paru pasien umumnya akan diselimuti bintik dan berkas putih, serta umumnya akan ditemukan keberadaan limfonodi yang membesar di sekitar area paru.
 
Semua orang berisiko tertular TBC, meskipun demikian, terhadap beberapa kelompok yang memiliki faktor risiko lebih tinggi untuk menderita TBC, yaitu, bayi atau anak yang sistem imunnya masih berkembang, orang lanjut usia yang sistem imunnya telah menurun, penderita immune-compromised akibat penyakit tertentu atau konsumsi obat tertentu, orang yang tinggal bersama penderita TBC, atau orang yang berpergian ke daerah endemi TBC.
 
Dikarenakan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, pengobatan TBC akan melibatkan penggunaan obat antibiotik. Meskipun demikian, dalam penatalaksanaan TBC, tipe dari TBC itu sendiri perlu diperhatikan, seperti apakah penderita menderita TBC aktif atau TBC laten. Penderita TBC aktif akan diminta meminum obat selama 6 – 9 bulan. Lama pengobatan tersebut bergantung pada usia pasien, kondisi kesehatan pasien, dan potensi adanya resistensi obat. Obat-obatan yang umum digunakan antara lain Isoniazid, Rifampicin, Ethambutol, dan Pyrazinamide. Pada kasus penderita TBC yang mengalami resistensi obat, dokter akan memberikan kombinasi antibiotik Fluoroquinolones dan obat suntik yang umumnya diberikan selama 20 – 30 bulan. Sementara itu, pada penderita TBC laten, dokter juga tetap akan meresepkan beberapa obat yang bertujuan untuk mencegah perkembangan penyakit menjadi TBC aktif.
 
Penderita TBC umumnya akan merasakan perbaikan gejala dan kondisi setelah beberapa minggu pengobatan. Meskipun demikian, penderita tetap harus menyelesaikan pengobatannya sampai selesai dan tidak diperbolehkan untuk menghentikan pengobatan, meskipun kondisinya telah membaik. Penghentian pengobatan dapat menyebabkan resistensi pada bakteri yang masih hidup, dan justru akan menyebab penyakitnya akan semakin sulit dan lama diobati. Selain itu, perlu menjadi catatan bahwa obat-obatan TBC juga mungkin akan memberikan beberapa efek samping seperti perubahan warna urine, mual, muntah, penurunan nafsu makan, atau penglihatan kabur. Apabila mengalami gejala-gejala tersebut, penderita disarankan untuk tidak menghentikan pengobatan dan berkonsultasi kepada dokter apabila dinilai perlu.
 
Pengobatan TBC harus dilakukan dengan adekuat mengingat potensi TBC untuk menyebabkan komplikasi pada tubuh, apabila tidak segera diobati. Infeksi yang disebabkan oleh TBC dapat menyerang organ dan bagian tubuh lainnya seperti otak, kelenjar getah bening, sistem saraf pusat, jantung, dan tulang belakang. Beberapa komplikasi TBC yang perlu diwaspadai di antaranya adalah nyeri punggung dan tulang belakang, kerusakan sendi (terutama sendi pinggul dan lutut), pembengkakan selaput otak (meninges), gangguan fungsi liver dan ginjal, peradangan dan penumpukan cairan pada lapisan paru, serta cardiac tamponade.
 
Mencegah selalu lebih baik ketimbang mengobati. Ketimbang mengobati penyakit TBC, tentu lebih baik kita berupaya mencegah terinfeksi penyakit TBC, bukan? Selain menghindari kontak dengan penderita TBC, kita juga dapat mengupayakan pencegahan penyakit TBC melalui pemberian vaksin/imunisasi. Vaksin yang diperuntukkan bagi pencegahan TBC dikenal sebagai Vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Vaksin tersebut berasal dari Mycobacterium tuberculosis yang telah dilemahkan. Penyuntikan Vaksin BCG akan membantu tubuh mengenal bakteri TBC, dan membentuk kekebalan terhadap bakteri tersebut.
 
Vaksin BCG merupakan salah satu jenis vaksin yang wajib diberikan pada anak. Sesuai dengan jadwal imunisasi yang dikeluarkan oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), jadwal penyuntikan vaksin BCG bisa dilakukan dari bayi baru lahir sampai berusia satu bulan. Bahkan, untuk daerah endemi TBC, bayi yang belum mendapatkan vaksinasi BCG sampai usia tiga bulan, disarankan untuk melakukan Tes Mantoux/Tuberculin dahulu sebelum menerima Vaksin BCG. Vaksin BCG relatif aman dan jarang menimbulkan efek samping berat. Efek samping yang biasa terjadi adalah nyeri di area suntikan, bisul/benjolan di bekas suntikan, dan kulit area suntikan yang terlihat kering atau bersisik.
 
Nah, kita kembali ke Tuberculosis pada anak, yaa…
 
Telah disampaikan sebelumnya bahwa selama 1 Januari – 1 November 2022, Kemenkes mencatat adanya 61,594 kasus TBC pada kelompok anak di Indonesia. Dari kasus tersebut, 34,615 di antaranya adalah anak berusia 0 – 5 tahun dan 26,979 lainnya adalah anak berusia 5 – 14 tahun. Sementara itu, hingga Februari 2023 kemarin tercatat telah terjadi penambahan kasus TBC pada anak yaitu sebanyak 18,144 kasus.
 
Salah satu dugaan Kemenkes terkait peningkatan kasus TBC pada anak adalah pemberlakuan kebijakan pembatasan mobilitas selama Pandemi COVID-19 kemarin. Perlu diingat bahwa anak dapat tertular TBC dari orang dewasa, namun penderita TBC anak tidak dapat menularkan infeksinya ke orang dewasa atau anak lainnya. Hal tersebut lantaran anak cenderung memiliki lebih sedikit bakteri dalam sekresi lendirnya. Oleh karena itu, Kemenkes menduga peningkatan kasus TBC anak ini lantaran meningkatnya intensitas kontak anak dengan orang dewasa di rumah/sekitarnya, yang disinyalir merupakan penderita TBC. Selain itu, penurunan cakupan Vaksin BCG selama Pandemi COVID-19 juga disinyalir berperan dalam peningkatan kasus TBC pada anak.
 
Penyakit TBC pada anak sayangnya cenderung lebih sulit terdeteksi lantaran gejala yang dialami anak umumnya tidak terlalu spesifik. Padahal, yang patut dikhawatirkan dari kejadian TBC pada anak adalah potensi komplikasinya, di mana, anak berusia kurang dari lima tahun yang menderita TBC berpotensi untuk mengalami Miliary Tuberculosis atau Meningitis Tuberculosis yang dapat berakibat fatal. Selain itu, anak yang menderita TBC juga berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan dan morbiditas lainnya seperti mudah lelah, keterbatasan kemampuan beraktivitas, dan gangguan performa di sekolah/pelajaran. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mampu secara dini mendeteksi kemungkinan anak terinfeksi TBC melalui kriteria berikut:
 
  • Riwayat kontak erat dengan orang dewasa yang menderita TBC
  • Sering mengalami demam, atau durasi yang lama saat mengalami demam (lebih dari dua minggu)
  • Penurunan nafsu makan
  • Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, atau berat badan tidak naik selama dua bulan berturut-turut
  • Batuk terus menerus (lebih dari tiga minggu), walaupun telah diobati
  • Badan anak tampak lemas dan tidak aktif
  • Berkeringat saat malam
  • Adanya pembengkakan kelenjar getah bening

Apabila orangtua mendapati beberapa gejala TBC pada anak di atas, sangat direkomendasikan untuk segera memeriksakan anak ke dokter. Pemeriksaan TBC pada anak sedikit berbeda dengan dewasa. Tes dahak (sputum test) yang biasanya dilakukan pada pasien dewasa cenderung menimbulkan hasil negatif palsu pada anak. Hal tersebut lantaran anak cenderung kesulitan dalam mengeluarkan dahak yang akan digunakan sebagai sampel tes, terutama anak-anak yang berusia sangat muda. Diagnosis TBC anak umumnya dilakukan melalui Tes Mantoux/Tuberculin yang berdasarkan data yang ada lebih sensitif pada anak.
 
Untuk pengobatan TBC pada anak dibuat dalam bentuk FDC (Fix Dose Combination) untuk mempermudah dalam konsumsi. Dosisnya sudah ditentukan, dan banyaknya yang dikonsumsi disesuaikan dengan berat badan anak. Anak-anak dengan TBC laten biasanya akan menerima pengobatan dengan Isoniazid – Rifapentine selama 12 minggu. Obat alternatif yang mungkin dokter berikan untuk mengatasi TBC laten pada anak adalah Rifampin selama empat bulan, atau Isoniazid selama sembilan bulan. Jika TBC laten telah berkembang menjadi TBC aktif, anak harus menjalani pengobatan selama 6 – 9 bulan. Obat TBC yang biasanya dokter berikan adalah Isoniazid dan Rifampicin. Penting untuk diingat bahwa anak harus mengkonsumsi obat sampai habis dan sesuai dengan resep dokter. Jika tidak, anak berisiko mengalami kekambuhan ketika sudah beranjak dewasa, serta berpotensi mengalami resistensi obat.
 
Penyakit TBC di Indonesia memang menempati peringkat ketiga tertinggi setelah India dan China, dengan jumlah kasus mencapai 824 ribu dengan kematian sebanyak 93 ribu per-tahun (11 kematian per-jam). Dr. drh. Didik Budijanto, M. Kes selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes RI menyampaikan bahwa berdasarkan Global TB Report 2021, kasus TBC yang berhasil diidentifikasi, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional hanya 49% (393,323 kasus). Sehingga, masih terdapat sekitar 500 ribuan penderita yang belum diobati, dan sangat berpotensi menularkan ke orang-orang lain di sekitarnya.
 
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin turut menyampaikan concern atas kasus TBC di Indonesia. Menkes Budi meminta agar setidaknya 90% dari potensi 824 ribu kasus tersebut dapat terdeteksi selambat-lambatnya pada tahun 2024. Menkes menyampaikan bahwa Indonesia perlu mempergiat kembali strategi surveillance TBC, sebagaimana sebelumnya telah dilakukan selama Pandemi COVID-19. Menkes Budi menyampaikan harapannya agar Kemenkes dan Dinas Kesehatan dapat bekerja sama dengan seluruh asosiasi dan instansi terkait untuk memprioritaskan idenfitikasi dan penatalaksanaan kasus TBC di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia dapat mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030, dengan target incidence rate sebesar 65/100,000 penduduk, dengan angka kematian 6/100,000 penduduk. Untuk mendukung target eliminasi tersebut, perlu adanya peningkatan dan pembaharuan manajemen program TBC bagi tenaga kesehatan, termasuk di antaranya dokter, perawat, bidan, mahasiswa kedokteran, dan pihak-pihak terkait lainnya.
 
Nah, bagaimana teman-teman, sudah lebih memahami potensi bahaya TBC pada anak, kan? Yuk, kita bersama lebih menjaga kesehatan kita dan juga keluarga kita agar terhindar dari TBC dan penyakit-penyakit lainnya.
 
Stay safe and healthy, semuanya!
 

Author

dr. Laras Prabandini Sasongko, AAAIJ

Email: laras@indonesiare.co.id